Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tak lama kemudian, sebuah mobil meledak di Nganjuk, Jawa Timur. Dari puing-puing Suzuki Futura, selain sebuah mayat gosong, ditemukan serpihan granat, ribuan peluru standar TNI, dan segepok dokumen propaganda Laskar Jihad Ahlussunnah Wal-Jamaah. Juga sopir yang tewas, yang belakangan diketahui baru saja datang dari Maluku.
Sementara itu, di Poso, kerusuhan antar-agama yang menewaskan puluhan orang dan membuat ribuan penduduk mengungsi terpicu setelah sekelompok orang berpakaian ninja memorak-porandakan kerukunan beragama di wilayah Provinsi Sulawesi Tengah itu. Bahkan, dampaknya sempat merembet ke Makassar ketika sejumlah aktivis mahasiswa melakukan penggeledahan terhadap mereka yang bukan Islam. Di lebih timur lagi, ketegangan penduduk beragama Islam dan Kristen di Maluku juga belum mereda setelah dua tahun bertempur.
Seluruh wilayah Indonesia akan dibakar perang agama? Tampaknya, begitulah motif yang menggerakkan para penebar bom. Untungnya, di Medan, tokoh masyarakat kebanyakan tidak terpancing. Selain kerukunan sudah berlangsung lama, umumnya orang ramai curiga bahwa pemasangan bom bukanlah bermotifkan agama, melainkan merupakan ulah oknum aparat yang masih memimpikan kembalinya kejayaan masa lalu.
Kecurigaan ini ada dasarnya. Kehadiran berbagai kelompok radikal di sejumlah penganut agama di Indonesia sudah berlangsung lama, tapi mengapa kebanyakan peledakan rumah ibadah dengan bom baru berlangsung setelah orde reformasi? Juga mengapa tiba-tiba begitu banyak kegiatan provokasi berlangsung nyaris di seluruh Tanah Air, terutama di wilayah yang perbandingan penduduk dua agama berbedanya berimbang? Ditambah lagi, peledakan umumnya terjadi setelah tekanan terhadap kelompok-kelompok yang berjaya di era Orde Baru baru meningkat.
Bukan tidak mungkin para pelaku langsung teror antar-agama ini adalah kelompok radikal di penganutnya masing-masing. Namun, tanpa mendapatkan dukungan logistikseperti uang dan bomkelompok seperti ini terbukti tak melakukan kegiatan berarti di masa lampau. Bukankah kelompok teroris sehebat yang dipimpin Carlos pun tak melakukan apa-apa jika tak ada pemesannya?
Alhasil, wajar jika terbit dugaan bahwa semua aksi teror terjadi karena ada kelompok yang mengenal mereka dan tiba-tiba memasok kelompok-kelompok radikal itu dengan dana, data intelijen, serta bahan peledak. Harapannya, para korban akan bereaksi sesuai dengan garis suku, agama, ras, atau kelompok tertentu dan memicu perang saudara di Indonesia.
Untuk menangkalnya, masyarakat harus bersikap kritis dan tak mudah terprovokasi. Selain itu, aparat hukum harus terus ditekan agar berupaya lebih giat menangkap pelaku dan membongkar jaringan penyandang dana serta aktor intelektualnya. Bila kelompok pemesan teror sudah terbasmi, ancaman kehadiran kelompok radikal mudah untuk diminimalkan. Percayalah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo