Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGIATAN masyarakat di Jayapura, Sabtu pekan lalu, praktis lumpuh. Jalanan sepi. Toko-toko tutup. Sebaliknya, Stadion Olahraga Cenderawasih, tempat Kongres Nasional Papua Barat berlangsung, dipenuhi ribuan masyarakat. Yel-yel "Papua merdeka" berbarengan dengan bunyi tabuhan tifa memekak telinga.
Maklum, hari itu rakyat Papua sedang menanti keputusan penting kongres yang berlangsung sejak 29 Mei silam. "Kami ingin meluruskan sejarah integrasi bangsa Papua ke dalam Republik Indonesia," kata Theys Hiyo Eluay, salah satu pimpinan Perjuangan Rakyat Papua Barat, kepada Kristian Ansaka dari TEMPO. Semua delegasi kongres, yang mewakili 15 ribu peserta dari 14 kabupaten, sepakat untuk merdeka.
Tuntutan pisah dengan Indonesia bukan pertama kali ini disuarakan secara terbuka dan damai oleh rakyat Papua Barat. Februari 1999 lalu, sebuah delegasi beranggotakan 100 orang yang menamai diri wakil rakyat Papua pernah menyampaikan hal yang sama kepada presiden, yang ketika itu dijabat B.J. Habibie. Permintaan tersebut dijawab oleh Habibie bahwa kewenangan tersebut bukan di tangan presiden, melainkan MPR.
Di luar jalur diplomasi, perlawanan bersenjata juga tidak kunjung padam. Kelompok garis keras Organisasi Papua Merdeka (OPM) hingga kini belum meletakkan senjata. Secara berkala mereka masih melakukan aksi menculik transmigran dan menyerang patroli aparat keamanan.
Tom Beanal, Ketua Dewan Presidium Papua, menyatakan bahwa keinginan lepas dari Indonesia itu dipicu oleh perlakuan tak adil pemerintah pusat—sejak Soeharto hingga kini. Kekayaan Papua Barat—yang diperkirakan mampu menyumbangkan devisa US$ 3 miliar atau Rp 24 triliun tiap tahun, menurut para pemimpin setempat tidak sepenuhnya bisa dinikmati rakyatnya. Pendapatan asli daerah yang masuk ke kas untuk tahun 1996-1997 hanya sebesar Rp 21 miliar. Sedangkan keseluruhan anggaran belanja (APBD) provinsi ke-26 Indonesia itu tidak pernah menembus angka Rp 1 triliun.
Belum lagi pajak yang dihasilkan dari industri yang bergerak di sana. Pajak Freeport, misalnya, hanya satu persen yang mengalir ke daerah. Padahal, jumlahnya sangat besar: US$ 700 juta sampai US$ 800 juta setiap tahun. Itu pun baru empat tahun terakhir mereka terima.
Harta berlimpah ruah itu tidak mampu mengangkat kehidupan rakyat. Sebelum krisis melanda negeri ini, sekitar 427 ribu dari sekitar 2,3 juta (19 persen) penduduk berada di bawah garis kemiskinan. Perekonomian daerah, terutama sektor perdagangan, umumnya dikuasai oleh pendatang. Masih banyak dari mereka yang hanya sekadar jadi penonton dari geliat bisnis di sana.
Kekecewaan lain yang sempat terlontar adalah minimnya putra daerah yang ikut berkiprah di pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Barulah pada era Abdurrahman Wahid, putra Irian diangkat jadi menteri, yakni Freddy Numberi. Gubernur Irianjaya juga baru dijabat putra daerah setelah 30 tahun bergabung dengan Republik Indonesia.
Usaha meredam gejolak pemisahan diri yang dilakukan pemerintah pusat juga terkesan tidak serius. Undang-Undang tentang Otonomi Daerah dan Pembagian Keuangan Pusat dan Daerah (Nomor 22 dan 25 Tahun 1999), yang dianggap bisa mengakomodasi tuntutan tersebut, belum juga direalisasikan. Menurut undang-undang tersebut, daerah akan memperoleh porsi terbanyak dari hasil bumi, dari 70 persen sampai 85 persen.
Akankah Papua Barat lepas dari Indonesia? Masih terlalu dini. Untuk menjadi sebuah negara, mereka harus mendapat pengakuan dunia internasional. Dukungan itu bisa diperoleh, paling tidak, jika mereka melakukan referendum terlebih dahulu.
Tampaknya sulit. Pengakuan bahwa Papua Barat merupakan bagian dari Indonesia telah diputuskan lewat referendum pula, yang dulu disebut Penentuan Pendapat Rakyat 1969, dan telah disahkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa. Melalui Perjanjian New York 10 September 1969, Irianjaya resmi menjadi wilayah Indonesia.
Ada problem lain. "Hasil kongres pekan lalu itu tidak signifikan mewakili suara rakyat Papua Barat," kata Ryaas Rasyid, Menteri Negara Otonomi Daerah. Kongres itu, kata Ryaas, tidak menyertakan pihak prointegrasi. Meski memberi sumbangan Rp 1 miliar untuk kongres, Presiden Abdurrahman Wahid juga mengatakan keputusan kongres tidak mewakili suara rakyat Papua.
Ketua Dewan Presidium Papua, Tom Beanal, sebaliknya beranggapan kongres itu sudah mewakili semua pihak. "Kami mengundang 105 wakil pendatang dan anggota DPRD pro-otonomi," ujarnya.
Satu lagi yang juga tidak bisa dianggap remeh adalah senjata TNI. "Bila ada keputusan politik untuk bertindak secara militer, kami siap bergerak," kata Kepala Staf Teritorial TNI, Letjen Agus Widjoyo.
Johan Budi S.P., Purwani Dyah Prabandari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo