Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maka jangan heran bila berita tentang kemungkinan keterlibatannya dalam skandal Bank Bali mengejutkan mereka. Terutama pengaitannya dengan sejumlah nama yang dicurigai masyarakat sebagai pejabat korup karena sepak terjang, gaya hidup, dan lingkungan pergaulannya. Adakah Syahril Sabirin terjebak dalam sebuah konspirasi jahat di luar kesadarannya?
Kemungkinan ini tidaklah tertutup. Kasus Bank Bali terbukti melibatkan tidak hanya kalangan swasta, tapi juga para pejabat negara dan elite politik yang berkuasa. Kejadiannya berlangsung saat Bank Indonesia masih merupakan instansi di bawah presiden dan gubernurnya dinyatakan sebagai anggota kabinet. Karena itu, suka atau tidak, pengaruh seorang presiden kepada pemimpin BI pasti cukup besar. Wajar jika seorang pemimpin BI sulit menampik undangan pertemuan yang dilayangkan kalangan dekat kepala negara saat itu.
Dalam kerangka berpikir seperti ini, kehadiran seorang Syahril Sabirin dalam pertemuan yang diprakarsai Baramuli di Hotel Mulia, 11 Februari 1999, sebetulnya tak secara otomatis membuktikan keterlibatannya dalam konspirasi jahat Bank Bali. Namun, bantahan Gubernur BI yang diangkat di era Soehartodan dikukuhkan kembali ketika Presiden Habibie berkuasaitu membuat soal hadir-tidaknya dalam pertemuan itu menjadi penting.
Masalahnya, jika bantahan itu terbukti keliru, Syahril Sabirin akan terkena pasal berat: memberikan keterangan palsu di bawah sumpah. Selain itu, tentu juga menerbitkan kecurigaan mengapa ia merasa perlu menutupi kehadirannya di pertemuan di tempat publik itu. Jika skenario ini yang terjadi, tak ada pilihan selain Syahril Sabirin harus dicopot dari jabatannya dan dimajukan ke meja hijau. Soalnya, memberikan keterangan palsu adalah kesalahan berat bagi seorang pejabat pemerintah, apalagi menyangkut institusi yang vital dan memerlukan kredibilitas tinggi seperti BI.
Sebaliknya, jika bantahan ini benar, pemberi kesaksian kehadiran Syahril Sabirin yang harus dihukum. Kejaksaan Agung juga harus merehabilitasi nama baik penanggung jawab kebijakan moneter RI ini dan pemerintah harus menghormati Undang-Undang Bank Sentral yang mengatur wewenang pengangkatan dan pemberhentian Gubernur BI berada di Dewan Perwakilan Rakyat. Tentu dengan asumsi Syahril Sabirin tak terlibat dalam kasus Bank Bali.
Persoalannya kemudian: bagaimana cara mengatasi keadaan tidak pasti pada saat proses hukum sedang dilakukan untuk menentukan "siapa dusta di antara kita"? Terutama pada saat sekarang, ketika kedudukan rupiah begitu tak stabilnya sehingga pernyataan seorang pejabat, apalagi yang berasal dari BI, dapat memelorotkan nilai tukarnya. Padahal, perang pernyataan antara kubu BI dan pemerintah punya potensi tinggi di saat proses pencarian kepastian hukum ini sedang berlangsung. Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menangkalnya, di luar mengimbau para pejabat BI dan pemerintah agar menahan diri?
Dalam keadaan seperti ini, Dewan Perwakilan Rakyat diimbau agar turun tangan menjadi wasit yang bertumpu pada kepentingan bangsa. Siapa pun yang dalam konflik ini melakukan kegiatan yang melemahkan posisi rupiah harus ditegur, bahkan kalau perlu diberi sanksi. Bila seorang Gubernur BI atau bawahannya yang melakukan, DPR harus berani memecatnya. Sebab, tugas utama bank sentral adalah menjaga nilai tukar mata uang republik ini. Jadi, jika ada aparat BI yang hanya demi kepentingan institusi atau posisi berani mengambil risiko mengguncang kedudukan rupiah, jelas harus dianggap tak layak lagi berada di bank sentral.
Sebaliknya, jika hal serupa dilakukan pemerintahbaik oleh Presiden Abdurrahman Wahid maupun bawahannyaDPR juga harus berani memberikan teguran resmi, bahkan meminta yang bersangkutan mengundurkan diri atau meminta atasannya menjatuhkan sanksi. Sebab, jika hal ini dilakukan, akan terkesan kuat bahwa upaya pemerintah mengusut keterlibatan Syahril Sabirin dalam kasus Bank Bali lebih disebabkan oleh motif politik ketimbang upaya penegakan hukum dan pelaksanaan pembangunan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Kecurigaan terhadap motif politik ini bukannya tanpa alasan. Isu ketidaksukaan Presiden Abdurrahman Wahid kepada figur Syahril Sabirin sudah lama beredar. Sikap suka atau tidak suka ini tentu bukan dosa, tapi menjadi pelanggaran jika berkembang menjadi kegiatan yang mengganggu independensi BI seperti diatur dalam undang-undang.
Sebaliknya, naiknya harkat bank sentral menjadi lembaga independen membuat tanggung jawabnya menjadi lebih besar dan toleransi terhadap pelanggaran menjadi lebih kecil. Di era ketika seorang Gubernur BI masih menjadi anggota kabinet, kealpaan membiarkan sebuah kesalahan berlangsung karena dilakukan institusi atau individu di jajaran kekuasaan yang lebih tinggi mungkin bisa dimaklumi. Namun, di saat lembaga regulasi ini menjadi independen, kesalahan dengan membiarkan (guilty by omission) sudah menjadi cukup alasan untuk memecat seorang pejabat dari BI.
Adalah dalam konteks seperti ini Syahril Sabirin sekarang harus dinilai.
Sebab, semakin besar sebuah independensi diraih, semakin besar pula tanggung jawab yang harus dipikul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo