JAKA Utama dianggap "orang udik" ketika memasuki Stadion 10
Nopember, Surabaya. Mungkin tak seorang pun dari 8000 penonton
petang itu berani meramalkan bahwa kesebelasan dari Lampung itu
akan menang. Ternyata tuan rumah NIAC Mitra kalah 2-1, suatu
kejutan dalam kompetisi Galatama.
Hari itu, 29 Maret, pertama kali kornpetisi Galatama berlangsung
di situ. Bahwa ada 8000 penonton dalam stadion yang berkapasitas
35.000 itu, penyelenggara menganggapnya sudah sukses. Kompetisi
bond yang amatir biasanya di situ ditonton ratusan orang saja.
Mitra sebenarnya tergolong kuat dalam kompetisi Galatama. Pasar
tarohan tinggi untuk kesebelasan Surabaya ini, yang didukung
para pemain top seperti Yusuf Malle, Dullah Rahim, Joko Malis,
Sunardi dan Riono Asnan. Mitra memang membikin prestasi dalam 4
pertandingan sebelumnya (melawan Indonesia Muda 1-1, Tunas Inti
1-0, Sari Bumi Raya 4-1 dan Tidar Sakti 3-2).
Nama-nama beken tidak dijumpai dalam barisan Jaka Utama.
Satu-satunya yang bisa diunggulkannya ialah pelatihnya, Jacob
Sihasale, bekas pemain nasional tahun 1960-an.
Di stadion Abubakrin, Magelang, Jaka Utama yang tadinya menang
di Surabaya telah dikalahkan oleh Tidar Sakti 0-1. Kemenangan
Tidar Sakti ini juga mengejutkan, mengingat ia pada 2
pertandingan sebelurnnya kalah di kandang sendiri dalam
melawan NIAC Mitra 2-3 dan Pardedetex 0-1.
"Kebocoran" stadion ternyata masih nenjadi penyakit dalam
kompetisi Galatama. Buktinya, penyelenggara di Magelang
menjumpai banyak karcis palsu beredar. Pemasukannya jauh di
bawah jumlah penonton. Hal "kebocoran" ini selalu menimbulkan
kecurigaan antara sesama klub. Seyogianya klub tuan rumah
mendapat 65%, sedang klub tamu menerima 25% dari seluruh
pendapatan. Sisanya 10% untuk PSSI. Prosentase pembagian ini
sukar dilaksanakan. Terhitung akhir pekan lalu, atas persetujuan
semua anggota Galatama, bagian 25% untuk klub tamu itu
ditiadakan, sedang klub tuan rumah saja menerima pendapatan.
Yang 10% ntuk PSSI itu pun boleh ditiadakan bila terjadi
kerugian tuan rumah dalam menyelenggarakan pertandingan.
What-What
Pardedetex ternyata masih belum beruntung. Ia dipukul lagi pekan
lalu. Terakhir ini Mitra mengalahkannya 2-0. Dari 6 kali
pertandingan, Pardedetex baru mencatat 2 kali kemenangan yaitu
melawan BBSA 5-0, dan Tidar Sakti 1-0. Padahal Pardedetex yang
sudah banyak memiliki pemain beken diperkuat lagi oleh 2 pemain
Exeter City dari Inggeris, yaitu Steve Tombs (21 tahun) dan
Paul Smythe (19 tahun).
Rupanya kedua pemain tamu itu belum serasi dengan Zulham Effendi
dkk. Misalnya, pernah dalam melawan Mitra pemain bule itu tampak
bingung. "Maju ke depan, Steve," teriak rekan pribuminya. "What,
What?" sahut sang tamu. Seusai pertandingan itu boss T.D.
Pardede memberi komentar: "Tunggulah sampai mereka sudah senafas
dalam tim."
Di Inggeris, Exeter City terdaftar dalam Divisi III -- tidak
unggul. Tapi, menurut Johny Pardede yang mengurus kedatangan
dua tamu itu, "Tombs dan Smythe adalah pemain berbakat."
Keduanya dikontrak untuk 6 bulan, tapi belum diketahui berapa
besarnya.
Di stadion Pajajaran, Bogor, tuan rumah Perkesa 78 mengalahkan
Jaka Utama 4-1. Sewajarnya Perkesa menang. Tapi mengejutkan
adalah di stadion Menteng, Jayakarta lawan Indonesia Muda
berakhir 0-0 entah Jayakarta sedang sial karena Iswadi Idris
dkk memiliki 5 peluang untuk mencetak gol, entah pula IM
bertambah kuat. Yang jelas ialah 7000 karcis terjual --
menghasilkan Rp 6 juta.
Belum semua klub yang berjumlah 14 itu saling bertemu. Sampai
pekan lalu, baru NIAC Mitra yang bermain 7 kali, terakhir
melawan Arseto 0-0. Lainnya baru turun 6, 4, 3, 2. Adalah BBSA
yang belum pernah menang maupun seri. Setelah Pardedetex
mencukurnya di Menteng, Tunas Inti dan Cahaya Kita pula
menyikatnya. BBSA berada di urutan bawah buat sementara, dan
masih mencoba mencari pemain baru di Bali, Pasuruan, Semarang
dan kota lain. Cuma Hartono dan Slamet Pramono, keduanya bekas
pemain Persebaya, yang beken di BBSA.
Dari segi penyelenggaraan, peristiwa kurang sedap baru terjadi
di Bogor, ketika Perkesa 78 melawan Warna Agung. Pada menit
ke-62, pemain belakang Warna Agung menyentuh bola yang
seharusnya mendapat hukuman penalti. Wasit Sudarso Hardjowasito
tidak meniup penalti. Penonton marah sekali. Hampir terjadi
perkelahian sesudah usai pertandingan. Wasit terpaksa segera
diamankan oleh Acub Zainal, boss Perkesa. Di luar stadion, bis
Warna Agung menjadi sasaran lemparan batu hingga asisten pelatih
Frans Yo berkata "Mungkin tim lain akan berfikir dua kali untuk
main di sini."
Juga ketika Tidar Sakti melawan Indonesia Muda (1-1), di stadion
Abubakrin, penonton ikut mewarnai pertandingan dengan kericuhan.
Mereka menganggap wasit Sanusi dari Cirebon berat sebelah dan
merugikan tuan rumah. Kedua gol lahir lewat penalti, dan Tidar
Sakti unggul terlebih dahulu.
Kompetisi Galatama hampir saja terhenti disebabkan PSSI
memanggil sebagian besar pemain Galatama untuk memasuki Pelatnas
mulai pekan depan. Ternyata kompromi tercapai: Kompetisi boleh
jalan terus, sedang mereka yang masuk pelatnas PSSI
diperkenankan memperkuat klub masing-masing.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini