ADA hadis Nabi Muhammad yang berbunyi: "Barangsiapa tertimpa
musibah pada kedua matanya (buta), dan ia sabar atas keadaan
itu, maka tidak ada tebusan lain bagi kedua mata itu kecuali
sorga".
Itu tentulah bukan anjuran agar orang buta tidak berobat.
Melainkan justru meminta perhatian akan besarnya penderitaan
orang buta, yang sampaisampai hanya sorga tebusannya.
Dan syukurlah, sekarang ini ditemukan teknik pencangkokan mata.
Masalahnya kemudian ialah untuk melaksanakan ikhtiar
pencangkokan itu, harus ada donor yang merelakan korneanya
diambil -- segera sesudah ia meninggal -- dan untuk itu sering
dijumpai halangan dari masyarakat. Misalnya mereka menganggapnya
sebagai bertentangan dengan agama.
Tetapi syukur sekali lagi, dari Yogya datang berita tentang
sebuah diskusi mengenai hal itu yang dihadiri para pemuka semua
agama -- 29 Maret kemarin, di Aula RSUP 'Dr. Sardjito'
Bulaksumur, Yogya, dalam rangka ulang tahun ke Perkumpulan
Penyantun Mata Tunanetra (PPMT)/Bank Mata Cabang Yogya. Para
pemuka itu mengambil kesimpulan: pengambilan kornea orang yang
meninggal, untuk dipindahkan ke mata pasien yang membutuhkan,
tidak dilarang agama. Syaratnya: ada keikhlasan donor (sebelum
meninggal), ada izin tertulis dari ahli waris terdekat, dan ada
saksi.
Jadi, anda boleh berwasiat kepada ahli waris (setelah
mencatatkan diri pada kantor Bank Mata): agar begitu anda
meninggal nanti kornea mata anda diambil dokter, di rumah sakit,
dalam waktu antara 3 sampai 6 jam. Kornea ini kemudian akan
disimpan dalam lemari es (suhu kira-kira 4 derajat C) untuk
dicangkokkan ke mata pasien yang memerlukan dalam waktu 48 jam.
Tidak jadi soal siapa yang akan dicangkoki kornea itu: orang
Timur ataupun Barat, yang sama-sama dewasa, dianugerahi Tuhan
kornea yang sama ukurannya: tebal 1 mm, diameter 11,5 mm, dan
melengkung dengan radius 7« mm. Dinding depan bola mata ini
bahkan bisa diawetkan: disimpan dalam serum (yang dihemolisir)
dalam jangka lebih 20 hari.
Di beberapa rumah sakit di negeri Barat, kata dr. Gunawan dari
Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM, yang juga Ketua PPMT Cabang
Yogya, setiap terdapat pasien yang diperkirakan jelas akan
meninggal, seorang dokter akan bertanya kepada keluarganya:
bolehkah memanfaatkan korneanya untuk penderita yang lain. "Tapi
di Indonesia pengambilan mata orang yang meninggal masih
merupakan soal sensitif," katanya.
Itulah pula sebab penting mengapa perkembangan Bank Mata, yang
sudah berdiri 11 tahun lalu di Indonesia, lambat sekali. Juga
Bank Mata Cabang Yogya yang baru 4 tahun. Di Yogya sendiri sudah
dilangsungkan pencangkokan kornea sebanyak 38 kali -- semuanya
di Rumah Sakit Mata Dr. Yap -- dan hanya dua buah kornea yang
disumbangkan orang kita sendiri. Sisanya? Datang dari Srilangka,
negeri Budha yang dikenal dermawan dalam menyumbang (bekas)
anggota tubuh itu. Di Yogya sendiri sekarang ini hanya tercatat
44 donor sementara yang membutuhkan, para calon pemakai, sudah
115 orang.
Tapi syukurlah dengan diskusi ini, seperti diucapkan dr. Tri
Sutartin ketua panitia HUT, "semuanya sekarang menjadi jelas"
--yakni bahwa kalau pun ada hambatan dalam memperoleh kornea,
itu bukan dari agama. Pada kesempatan itu sendiri bahkan dua
orang pemuka agama mencatatkan diri sebagai donor: Ananda Aris
Munandar (Budha), dan Oerip Hartoyo MTh (Kristen). Tapi
bagaimana persisnya pendapat para pemuka itu?
Manfaat 60%
Haji KRT Moh. Wardan Dipaningrat, Ketua Pucuk Pimpinan
Muhammadiyah Majlis Tarjih (pertimbangan hukum), juga Penghulu
Kraton Yogya, melihat kebolehan ikhtiar pencangkokan itu dari
segi perimbangan antara manfaat dan kerugiannya. Terbukti
manfaatnya untuk kemanusiaan lebih besar. Misalnya, sudah
diterangkan oleh dokter: di antara para pasien yang mendapat
kornea orang lain itu, 60% menunjukkan manfaat -- masing-masing
setelah menjalani perawatan-lanjut antara 1 bulan sampai 3«
tahun. Tapi karena adanya perimbangan antara manfaat dan
kerugian (maslahat dan mafsadat), maka bagian jenazah yang
diambil itu haruslah hanya sekedar yang diperlukan -- dan tentu
saja begitu.
Pemuka agama Katolik, Dr. J. Chr. Purwawidyana Pr. dari Seminari
Tinggi Yogya, melihat pencangkokan itu dari segi hak asasi
jenazah. Itu sudah dijelaskan oleh Paus Pius XII -- bahwa
jenazah tidak lagi memiliki hak tersebut, karena ia bukan lagi
pribadi dan karenanya bukan pula subyek hukum. Ia menjadi subyek
hukum hanya ketika masih hidup dan di waktu itulah ia berjanji
untuk merelakan korneanya setelah mati nanti. Tapi keluarga atau
kaum kerabat si donor sudah tentu harus dimintai persetujuan,
dan karena ini merupakan perbuatan cinta kasih yang luhur,
hendaknya sama sekali tidak ada unsur paksaan.
Bukankah kita malah harus berterima kasih, bila kita masih dapat
berbuat baik -- dengan menyumbangkan kornea kita yang tidak akan
kita pakai lagi kepada orang lain, walaupun kita sudah
meninggal? Demikian kata Oerip Hartoyo MTh, pemuka Kristen yang
dikenal sebagai anggota DPRD. Bukankah Yesus sendiri, dengan
kasihnya, telah meyembuhkan orang buta di Betsaida dan di
Yerikho?
Lagi pula, orang yang mendermakan angota tubuhnya sehingga
saudaranya bisa melihat, berarti telah memberi petolongan
kepada sesama makhluk yang dalam gelap gulita. Demikian
Anandari Munandar, pemuka agama Budha di Yogya. Buah karma
yang bagaimana yang akan didapat orang itu? Ia akan mencapai
'penerangan' dalam hidupnya selanjutnya, dalam perjalanannya
yang jadi cerah.
UU Pencangkokan
Dengan kata lain, bukan mendapat malapetaka karena anggota tubuh
yang ditinggalkannya sudah tidak lengkap, misalnya. Tapi
keinsafan ini memang kadang perlu ditanamkan. Hindu Dharma
misalnya, seperti dikatakan drs. Njoman Radjeg dari Parisadha
Hindu Dharma di Yogya, menghadapi kenyataan ini adanya anggapan
bahwa tidak lenghapnya tubuh wadag seseorang ketika meninggal,
akan membawa akibat cacat pada penjelmaan atau penitisannya
dalam rangkaian proses punarbhawa -- sebelum mencapai moksha.
Tapi anggapan itu sebenarnya bukan dari agama, melainkan adat,
katanya. Padahal, dengan itikad "mengabdi pembangunan Jagathita
& Moksartham," tidak ada pekerjaan yang terlarang, termasuk
pencangkokan kornea. Tapi karena masih adanya kekaburan itu,
perlulah tindakan bijak. Bahkan tokoh Parisadha ini menyarankan
untuk memasukkan soal pencangkokan itu dalam kurikulum
pendidikan agama mulai SD sampai PT.
Berapakah sebenarnya jumlah saudara kita yang buta di tanah air?
Statistik memang belum ada, seperti dikatakan dr. Gunawan. Yang
ada baru perkiraan pada seminar tunanetra di Bandung 1964, yang
menyatakan bahwa dari 100 orang penduduk, 1 orang buta. Adapun
Doeschte (tesis, 1968) menyebut tidak sebanyak itu. Hanya
berkisar pada 250 per 100.000 orang. Tapi ini pun masih lebih
tinggi dibanding, misalnya, Jepang: 50 per 100.000.
Perlunya penanggulangan para penderita itulah agaknya yang
menyebabkan diskusi tersebut, dengan semangat keagamaan,
menyarankan kepada PPMT/Bank Mata Pusat agar mengusulkan kepada
DPR pembuatan undang-undang pencangkokan kornea. Supaya
memiliki kekuatan hukum, supaya lancar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini