Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Jalan Ke Arah Terang

Para tokoh agama memberikan pendapatnya mengenai pengambilan kornea orang yang meninggal. Diskusi PPMT Yogya mengusulkan DPR membuat UU pencangkokan mata konon penduduk RI 0,25% cacat buta. (ag)

14 April 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA hadis Nabi Muhammad yang berbunyi: "Barangsiapa tertimpa musibah pada kedua matanya (buta), dan ia sabar atas keadaan itu, maka tidak ada tebusan lain bagi kedua mata itu kecuali sorga". Itu tentulah bukan anjuran agar orang buta tidak berobat. Melainkan justru meminta perhatian akan besarnya penderitaan orang buta, yang sampaisampai hanya sorga tebusannya. Dan syukurlah, sekarang ini ditemukan teknik pencangkokan mata. Masalahnya kemudian ialah untuk melaksanakan ikhtiar pencangkokan itu, harus ada donor yang merelakan korneanya diambil -- segera sesudah ia meninggal -- dan untuk itu sering dijumpai halangan dari masyarakat. Misalnya mereka menganggapnya sebagai bertentangan dengan agama. Tetapi syukur sekali lagi, dari Yogya datang berita tentang sebuah diskusi mengenai hal itu yang dihadiri para pemuka semua agama -- 29 Maret kemarin, di Aula RSUP 'Dr. Sardjito' Bulaksumur, Yogya, dalam rangka ulang tahun ke Perkumpulan Penyantun Mata Tunanetra (PPMT)/Bank Mata Cabang Yogya. Para pemuka itu mengambil kesimpulan: pengambilan kornea orang yang meninggal, untuk dipindahkan ke mata pasien yang membutuhkan, tidak dilarang agama. Syaratnya: ada keikhlasan donor (sebelum meninggal), ada izin tertulis dari ahli waris terdekat, dan ada saksi. Jadi, anda boleh berwasiat kepada ahli waris (setelah mencatatkan diri pada kantor Bank Mata): agar begitu anda meninggal nanti kornea mata anda diambil dokter, di rumah sakit, dalam waktu antara 3 sampai 6 jam. Kornea ini kemudian akan disimpan dalam lemari es (suhu kira-kira 4 derajat C) untuk dicangkokkan ke mata pasien yang memerlukan dalam waktu 48 jam. Tidak jadi soal siapa yang akan dicangkoki kornea itu: orang Timur ataupun Barat, yang sama-sama dewasa, dianugerahi Tuhan kornea yang sama ukurannya: tebal 1 mm, diameter 11,5 mm, dan melengkung dengan radius 7« mm. Dinding depan bola mata ini bahkan bisa diawetkan: disimpan dalam serum (yang dihemolisir) dalam jangka lebih 20 hari. Di beberapa rumah sakit di negeri Barat, kata dr. Gunawan dari Bagian Ilmu Penyakit Mata FK UGM, yang juga Ketua PPMT Cabang Yogya, setiap terdapat pasien yang diperkirakan jelas akan meninggal, seorang dokter akan bertanya kepada keluarganya: bolehkah memanfaatkan korneanya untuk penderita yang lain. "Tapi di Indonesia pengambilan mata orang yang meninggal masih merupakan soal sensitif," katanya. Itulah pula sebab penting mengapa perkembangan Bank Mata, yang sudah berdiri 11 tahun lalu di Indonesia, lambat sekali. Juga Bank Mata Cabang Yogya yang baru 4 tahun. Di Yogya sendiri sudah dilangsungkan pencangkokan kornea sebanyak 38 kali -- semuanya di Rumah Sakit Mata Dr. Yap -- dan hanya dua buah kornea yang disumbangkan orang kita sendiri. Sisanya? Datang dari Srilangka, negeri Budha yang dikenal dermawan dalam menyumbang (bekas) anggota tubuh itu. Di Yogya sendiri sekarang ini hanya tercatat 44 donor sementara yang membutuhkan, para calon pemakai, sudah 115 orang. Tapi syukurlah dengan diskusi ini, seperti diucapkan dr. Tri Sutartin ketua panitia HUT, "semuanya sekarang menjadi jelas" --yakni bahwa kalau pun ada hambatan dalam memperoleh kornea, itu bukan dari agama. Pada kesempatan itu sendiri bahkan dua orang pemuka agama mencatatkan diri sebagai donor: Ananda Aris Munandar (Budha), dan Oerip Hartoyo MTh (Kristen). Tapi bagaimana persisnya pendapat para pemuka itu? Manfaat 60% Haji KRT Moh. Wardan Dipaningrat, Ketua Pucuk Pimpinan Muhammadiyah Majlis Tarjih (pertimbangan hukum), juga Penghulu Kraton Yogya, melihat kebolehan ikhtiar pencangkokan itu dari segi perimbangan antara manfaat dan kerugiannya. Terbukti manfaatnya untuk kemanusiaan lebih besar. Misalnya, sudah diterangkan oleh dokter: di antara para pasien yang mendapat kornea orang lain itu, 60% menunjukkan manfaat -- masing-masing setelah menjalani perawatan-lanjut antara 1 bulan sampai 3« tahun. Tapi karena adanya perimbangan antara manfaat dan kerugian (maslahat dan mafsadat), maka bagian jenazah yang diambil itu haruslah hanya sekedar yang diperlukan -- dan tentu saja begitu. Pemuka agama Katolik, Dr. J. Chr. Purwawidyana Pr. dari Seminari Tinggi Yogya, melihat pencangkokan itu dari segi hak asasi jenazah. Itu sudah dijelaskan oleh Paus Pius XII -- bahwa jenazah tidak lagi memiliki hak tersebut, karena ia bukan lagi pribadi dan karenanya bukan pula subyek hukum. Ia menjadi subyek hukum hanya ketika masih hidup dan di waktu itulah ia berjanji untuk merelakan korneanya setelah mati nanti. Tapi keluarga atau kaum kerabat si donor sudah tentu harus dimintai persetujuan, dan karena ini merupakan perbuatan cinta kasih yang luhur, hendaknya sama sekali tidak ada unsur paksaan. Bukankah kita malah harus berterima kasih, bila kita masih dapat berbuat baik -- dengan menyumbangkan kornea kita yang tidak akan kita pakai lagi kepada orang lain, walaupun kita sudah meninggal? Demikian kata Oerip Hartoyo MTh, pemuka Kristen yang dikenal sebagai anggota DPRD. Bukankah Yesus sendiri, dengan kasihnya, telah meyembuhkan orang buta di Betsaida dan di Yerikho? Lagi pula, orang yang mendermakan angota tubuhnya sehingga saudaranya bisa melihat, berarti telah memberi petolongan kepada sesama makhluk yang dalam gelap gulita. Demikian Anandari Munandar, pemuka agama Budha di Yogya. Buah karma yang bagaimana yang akan didapat orang itu? Ia akan mencapai 'penerangan' dalam hidupnya selanjutnya, dalam perjalanannya yang jadi cerah. UU Pencangkokan Dengan kata lain, bukan mendapat malapetaka karena anggota tubuh yang ditinggalkannya sudah tidak lengkap, misalnya. Tapi keinsafan ini memang kadang perlu ditanamkan. Hindu Dharma misalnya, seperti dikatakan drs. Njoman Radjeg dari Parisadha Hindu Dharma di Yogya, menghadapi kenyataan ini adanya anggapan bahwa tidak lenghapnya tubuh wadag seseorang ketika meninggal, akan membawa akibat cacat pada penjelmaan atau penitisannya dalam rangkaian proses punarbhawa -- sebelum mencapai moksha. Tapi anggapan itu sebenarnya bukan dari agama, melainkan adat, katanya. Padahal, dengan itikad "mengabdi pembangunan Jagathita & Moksartham," tidak ada pekerjaan yang terlarang, termasuk pencangkokan kornea. Tapi karena masih adanya kekaburan itu, perlulah tindakan bijak. Bahkan tokoh Parisadha ini menyarankan untuk memasukkan soal pencangkokan itu dalam kurikulum pendidikan agama mulai SD sampai PT. Berapakah sebenarnya jumlah saudara kita yang buta di tanah air? Statistik memang belum ada, seperti dikatakan dr. Gunawan. Yang ada baru perkiraan pada seminar tunanetra di Bandung 1964, yang menyatakan bahwa dari 100 orang penduduk, 1 orang buta. Adapun Doeschte (tesis, 1968) menyebut tidak sebanyak itu. Hanya berkisar pada 250 per 100.000 orang. Tapi ini pun masih lebih tinggi dibanding, misalnya, Jepang: 50 per 100.000. Perlunya penanggulangan para penderita itulah agaknya yang menyebabkan diskusi tersebut, dengan semangat keagamaan, menyarankan kepada PPMT/Bank Mata Pusat agar mengusulkan kepada DPR pembuatan undang-undang pencangkokan kornea. Supaya memiliki kekuatan hukum, supaya lancar.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus