Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ayahnya kuli bangunan, ibunya pembantu rumah tangga, dan salah satu kakaknya seorang montir. Tak aneh bila Xherdan Shaqiri sebenarnya cuma ingin menjadi salesman. "Menjual produk apa pun, asalkan saya bisa bertemu dengan banyak orang, menyenangkan bukan?" ungkap remaja kelahiran Gnjilane, Kosovo, ini.
Bakatnya ternyata bukan "menjual", melainkan "menendang". Dia baru saja membawa Swiss, negara tempat tinggalnya, menjadi runner-up Piala Eropa usia 21 tahun. Klubnya, FC Basel, menyematkan banderol 15 juta pound sterling atau sekitar Rp 207 miliar. Manchester United, Liverpool, Chelsea, AS Roma, Hamburg SV, dan Bayern Muenchen kini berebut memiliki playmaker berusia 19 tahun itu.
Berkah Euro U-21, yang berakhir pada Sabtu dua pekan lalu di Denmark, bukan cuma milik Shaqiri. Mata 75 orang pemandu bakat yang dikirim klub-klub Eropa terkesima oleh talenta besar yang menaburi kesebelasan muda Schweizer Nati—julukan tim Swiss. Meski memuji permainan Spanyol, yang menjadi juara setelah mengalahkan Swiss 2-0, mayoritas dari mereka lebih tertarik kepada Swiss.
"Spanyol memang kuat sebagai tim, tapi saya cuma mengamati Swiss," kata pelatih Michael Reschke, yang menjadi "mata-mata" bagi Bayer Leverkusen. "Pemandu bakat yang datang ke sini rata-rata juga terkejut oleh kualitas tim ini." Swiss makin terasa mengejutkan karena mayoritas pemain Spanyol merumput di Liga Spanyol, yang mudah dipantau, sementara sebagian besar pemain Swiss berada di bawah radar: mereka memperkuat klub-klub domestik.
Menurut mantan pelatih Swiss U-21, Bernard Challandes, kekuatan negaranya ada pada kemajemukan etnis para pemain. Pemain seperti Shaqiri, (Granit) Xhaka, dan (Admir) Mehmedi memiliki pengalaman hidup berbeda. Orang tua mereka pernah melewati masa-masa berat, sebagai pelarian atau terkena imbas perang. "Itu membuat mereka memiliki motivasi ekstra."
Dari 23 pemain yang dibawa pelatih Pierluigi Tami ke Denmark, 14 di antaranya memiliki kewarganegaraan ganda, Swiss dan negara asal orang tua mereka. Tepatnya, terdapat 11 kewarganegaraan dalam tim Swiss. Xhaka, misalnya, keturunan Albania-Kosovo dan Mehmedi lahir di Albania.
Kejuaraan Eropa usia 21 bisa menjadi cermin masa depan sebuah tim nasional. Alumnus tim Belanda yang memenangi dua kali Euro U-21, pada 2004 dan 2006, berhasil membawa tim senior ke final Piala Dunia 2010. Sedangkan pemain muda Jerman yang mengangkat trofi Euro U-21 2009 memberi pengaruh besar saat memperkuat tim senior. Meski cuma menjadi juara ketiga Piala Dunia 2010, menurut banyak pengamat, Jerman bermain lebih indah.
Pada tiga kejuaraan Euro U-21 sebelumnya, multikulturalisme menjadi isu penting. Kesebelasan Belanda dan Jerman muda dipenuhi pemain imigran. Mantan playmaker dan kapten tim Jerman U-21, Mesut Oezil dan Sami Khedira, misalnya, keturunan Turki dan Tunisia. Mereka kini tulang punggung tim Jerman senior, sama seperti mayoritas rekan setim mereka yang lahir dari keluarga imigran: Nigeria, Ghana, Brasil, Bosnia, Spanyol, dan Polandia.
Tahun ini isu itu menjadi kian penting seiring dengan pernyataan beberapa pemimpin negara besar Eropa yang ragu terhadap ide multikulturalisme. Kanselir Jerman Angela Merkel menyebutkan multikulturalisme di negaranya gagal total. Presiden Prancis Nicolas Sarkozy dan Perdana Menteri Inggris David Cameron mengatakan hal yang sama: para pendatang seharusnya hidup dengan kultur negara baru mereka. "Anda harus menerima keadaan menjadi sebuah komunitas tunggal," kata Sarkozy bulan lalu.
Fakta di lapangan berbicara lain. Etnis dan gaya hidup yang berbeda justru menciptakan keindahan di tubuh tim nasional Swiss—sama seperti Oezil memberi warna baru bagi permainan Jerman. Jawara Euro U-21, Spanyol, ternyata tak imun dari pemain naturalisasi. Penyerang cadangan Bojan Krkic berayah mantan pemain nasional Serbia. Penyerang sayap Emilio Ensue, berkulit hitam, keturunan Guinea.
Penyerang Adrian Lopez memang berhak atas gelar sepatu emas sebagai top scorer, tapi nyawa Spanyol yang sesungguhnya adalah Thiago Alcantara, sang pengatur serangan. Dia mencetak satu gol ke gawang Swiss lewat tendangan jarak jauh. Pemain berusia 20 tahun ini lahir di Italia, tapi masa kecil dan remaja dihabiskannya di Brasil, negara asal ayahnya. Sang ayah adalah Mazinho, gelandang bertahan yang membawa Brasil menjuarai Piala Dunia 1994.
Pernah mengenyam pendidikan sepak bola di Flamengo, klub ternama Brasil, Thiago melanjutkan pelajarannya di La Masia, Akademi Sepak Bola Barcelona. Dia lantas memilih Spanyol, negara asal ibunya, untuk dia bela. "Alami saja, karena saya lebih banyak berada di Spanyol," ungkap pemain yang kini diincar klub-klub besar Eropa, termasuk Chelsea dan Manchester United, itu. "Ayah sebenarnya lebih ingin saya membela Brasil."
Thiago disebut-sebut sebagai pemain yang paling layak menggantikan Xavi Hernandez sebagai pengatur serangan tim Spanyol senior. Tak aneh bila Barcelona menyematkan harga 15 juta pound sterling bagi klub yang berkehendak membeli Thiago. Konon, Thiago bakal hengkang bila Cesc Fabregas kembali ke Barcelona dari Arsenal. Sebab, Fabregas mengancam posisinya.
Sementara Spanyol mendapat berkah tak sengaja, Swiss melakukan langkah yang terencana menjaring bakat-bakat hebat dari komunitas imigrannya. Negeri arloji ini belajar dari pengalaman dengan Mladen Petric dan Ivan Rakitic. Kedua pemain itu berasal dari keluarga pengungsi Perang Balkan, awal 1990-an. Meski tumbuh di Swiss—Petric bahkan pernah memperkuat Swiss junior—keduanya memilih membela tanah leluhur mereka, Kroasia.
Aturan Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) menyebutkan seorang pemain boleh berganti kesebelasan nasional pada usia junior. Tapi, bila pernah memperkuat tim senior, meski cuma beberapa detik, ia tak boleh lagi membela tim nasional senior negara lain.
Asosiasi Sepak Bola Swiss (SFA) membuat program khusus di komunitas-komunitas imigran. Pelatih tim senior, Ottmar Hitzfeld, mendukungnya dengan cara cepat-cepat memanggil pemain moncer. Tentu saja, bakat mereka harus besar untuk masuk tim senior.
Shaqiri masuk kategori itu. Hitzfeld memanggilnya saat usia sang pemain belum genap 19 tahun. September tahun lalu, pemain bertinggi badan 169 sentimeter ini masuk sebagai pemain cadangan saat Swiss menjamu Inggris pada kualifikasi Euro 2012. Meski negaranya kalah 1-3, Shaqiri mendapat pujian dari pelatih Inggris, Fabio Capello. Pasalnya, si bogel mencetak gol fantastis: memotong bola dengan cepat.
Di Denmark, kemilau Shaqiri kian terlihat. Penampilannya yang paling cemerlang adalah ketika Swiss menang 1-0 atas tuan rumah pada babak grup. Gol semata wayang lahir dari kakinya setelah ia ber-solo run ala Diego Maradona. Sebagai pengatur serangan, umpan-umpan Shaqiri mempermudah permainan para penyerang: Innocent Emeghara (keturunan Nigeria, 1 gol), Mehmedi (Albania, 3 gol), serta Nassim Ben Khalifa (Tunisia).
Shaqiri dibawa keluarganya merantau ke Swiss saat berusia satu setengah tahun untuk menghindari Perang Balkan. Awalnya hidup miskin, kini mereka bisa tinggal di apartemen berkelas lumayan di Basel. Gaji sepak bola sang anak telah cukup untuk hidup. Salesman tak ada lagi di otak Shaqiri.
Andy Marhaendra (UEFA, AFP, Guardian)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo