Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mungkin inilah kabar terbaik sepanjang hidup Sri Puspawati. Perempuan 58 tahun itu terbebas dari rutinitas cuci darah tiga kali sepekan, sekaligus tak perlu menjalani cangkok ginjal. Sebab, batu berbentuk mirip tanduk rusa (staghorn) yang memenuhi kedua ginjalnya—4 x 2,5 sentimeter persegi di ginjal kanan dan 4 x 3 sentimeter persegi di kiri—sirna sudah.
"Alhamdulillah, setelah dua kali dioperasi dokter Nur dan batunya dikeluarkan, fungsi ginjal saya kembali normal," kata Sri, warga Pesona Depok, Jawa Barat, saat ditemui Tempo di ITC Depok, Senin pekan lalu.
Dokter Nur yang dimaksud pedagang pakaian ini adalah Nur Rasyid, spesialis urologi, yang berpraktek di Rumah Sakit Asri, Jakarta. Sekali operasi, Sri hanya menghabiskan belasan juta rupiah. Ini jauh lebih murah daripada cangkok ginjal, seperti ditawarkan dokter di rumah sakit lain yang dia datangi. "Kalau mendapat donor dari salah satu anak saya, biayanya Rp 250 juta," kata ibu enam anak ini, menirukan tawaran si dokter. "Kalau mencari donor di Cina bisa mencapai Rp 500 juta."
Menurut Nur, penanganan batu ginjal Sri yang dilakukan setahun lalu adalah percutaneous nephrolithotomy (PCNL), tindakan invasif minimal di bidang urologi dengan menggunakan nephroscope—alat khusus untuk menghancurkan sekaligus mengeluarkan batu ginjal.
Cara kerjanya, alat ditusukkan dari pinggang pasien langsung menuju ke batu ginjal yang hendak dibuang. Bekas luka tindakan ini kecil, hanya sekitar 1 sentimeter. "Bandingkan dengan operasi terbuka yang bekas lukanya bisa sepanjang 20 sentimeter," kata Nur, yang juga berpraktek di Bagian Urologi RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat.
Keunggulan nefrolitotomi perkutan untuk mengangkat batu ginjal berukuran besar—lebih dari dua sentimeter, termasuk batu tanduk rusa—dibahas Nur pada saat peluncuran Asri Urology Centre di RS Asri, Kamis dua pekan lalu. Selain tingkat kesakitan yang rendah, pasien diuntungkan karena tingkat keberhasilan operasi jenis ini cukup tinggi. Menurut data internasional, dari 100 pasien yang dioperasi, 84 di antaranya mencapai angka bersih batu 100 persen melalui satu kali tindakan.
Sejatinya, menurut Nur, nefrolitotomi bukan terapi baru. Sebab, tindakan ini sudah dipraktekkan sebelum lahir teknik penghancuran batu ginjal dengan gelombang kejut (extracorporeal shock wave lithotripsy) pada pertengahan 1980-an. Dengan adanya teknik baru ini, nefrolitotomi pun ditinggalkan. Maklum, saat itu para urolog percaya bahwa semua kasus batu ginjal bisa dibereskan dengan litotripsi. Belakangan, keyakinan itu terbukti salah.
"Litotripsi punya kekurangan, antara lain angka bebas batunya lebih rendah, terutama untuk batu ginjal berukuran besar, dibanding nefrolitotomi dan operasi terbuka," kata Rochani, urolog senior dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM, yang juga kolega Nur di Asri. Ia menyebutkan teknik gelombang kejut cocok bagi pasien dengan batu ginjal berukuran kurang dari dua sentimeter.
Dengan keterbatasan litotripsi itulah, sejak pertengahan 1990-an, nefrolitotomi kembali ditekuni untuk menangani kasus batu ginjal besar, apalagi kejadiannya terus meningkat. Di RSCM, misalnya, pada 1997, cuma tiga kasus yang memerlukan nefrolitotomi, tapi angkanya melonjak hingga 148 kasus pada 2010. Sedangkan RS Asri, yang mempraktekkan teknik ini sejak 2008, telah menangani 10 pasien pada tahun itu, lalu angkanya terkerek mencapai 22 kasus pada 2010.
Kembalinya era nefrolitotomi makin mendapat tempat dengan adanya sejumlah kemajuan. Antara lain, sudut pandang lensa nefroskop ke batu ginjal yang hendak dihancurkan lebih lebar dibanding generasi awal. Diameter nefroskopnya juga kini kian kecil, bahkan kurang dari 4 milimeter—dulu 7 milimeter—sehingga luka operasi juga makin kecil. Dengan kemajuan itu, dokter kian leluasa menguras batu ginjal, sedangkan pasien kian nyaman karena luka bekas operasi makin imut.
Gangguan ginjal memang telah lama menjadi perhatian urolog, karena angka kejadiannya terbilang tinggi. Dokter Ponco Birowo, kolega Nur dan Rochani, menyebut prevalensinya 1-15 persen dari populasi. "Jadi, kalau di ruangan ini ada 100 orang, sekitar 10 orang menderita batu ginjal," katanya.
Secara gender, Ponco melanjutkan, pria 2-3 kali lebih berisiko. Risiko semakin besar jika orang tersebut jenis pekerjaannya sering terekspos panas, seperti juru masak atau pekerja di bagian mesin. Risiko juga meningkat bagi mereka dengan pekerjaan bersifat sedentari alias banyak duduk, apalagi ditambah malas minum air putih. Dari sisi usia, risiko makin gede pada usia 40 tahun ke atas. "Prevalensi makin tinggi pada orang-orang yang berat badan atau body mass index-nya berlebih," kata Ponco.
Lantaran batu ginjal berawal dari kondisi urine yang sangat pekat (supersaturasi), cara gampang untuk mencegah pembentukannya adalah minum air putih yang banyak. Dalam sehari, dianjurkan minum lebih dari dua liter air agar jumlah urine yang dikeluarkan juga lebih dari dua liter. Maklum, air dalam tubuh tak hanya keluar lewat urine, tapi juga lewat keringat, uap saat berbicara, atau saat buang air besar. "Jadi, yang dua liter itu air kencingnya. Minum airnya harus lebih banyak," kata Ponco, "Makin encer urine, makin sulit batu ginjal terbentuk."
Adapun tanda dan gejala yang muncul bagi mereka yang mengidap batu ginjal antara lain kolik dan nyeri pinggang.Nyeri tersebut menjalar ke daerah lipat paha. Namun ada juga yang sejak awal tidak ada keluhan sama sekali, dan baru ketahuan setelah batunya telanjur besar. Inilah yang dialami Sri Puspawati. Nenek tujuh cucu ini mengaku tahu ada batu tanduk rusa di ginjalnya setelah dirawat di rumah sakit lantaran perutnya mual dan kehilangan nafsu makan. Awalnya, Sri menduga penyakit tifusnya kambuh. Ternyata dugaannya salah. "Saya sempat koma dua hari gara-gara batu ginjal ini," katanya.
Untuk menyebarkan manfaat nefrolitotomi, Nur bergiat menularkan ilmunya kepada sejumlah dokter spesialis urologi dari daerah. Selama enam bulan, mereka harus menangani minimal 50 pasien dengan teknik nefrolitotomi. Namun, sebelum menusuk pinggang hingga masuk ke ginjal pasien yang sebenarnya, para dokter itu terlebih dulu dilatih dengan menusuk simulator berupa manekin sampai benar-benar mahir. "Sampai tak ada salah coblos atau terkena organ lain," kata Nur.
Dokter Indrawarman, spesialis urologi di RS Dr Sardjito Yogyakarta, adalah salah satu murid Nur. Alumnus Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada ini dinyatakan lulus dan boleh menerapkan nefrolitotomi setelah menangani 70 kasus serupa di RSCM. Metode ini mulai dipraktekkan di Sardjito sejak Mei lalu dan sudah 16 pasien ia tangani. "Kasus terbesar yang bisa saya tangani adalah pasien dengan batu ginjal berukuran enam sentimeter."
Dwi Wiyana
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo