Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Husein Ja’far al-Hadar*
Mengapa Tuhan diam melihat semua kemurkaan di dunia (termasuk disalibnya Yesus)?” Itu pertanyaan dasar Shusaku Endo, novelis Katolik terkenal asal Jepang, dalam Chinmoku (1969), yang versi Indonesianya berjudul Hening (2008). Pertanyaan itu sebenarnya bernada teologis. Namun tulisan ini tak akan membahas problem teodise yang dibahas Endo itu. Saya tertarik menjadikannya sebagai pengantar untuk menunjukkan salah satu problem dalam bahasa, yaitu ”diam”, yang kemudian (kerap) menimbulkan sederet problem rumit dalam berbagai disiplin, termasuk teologi dan agama.
Posisi bahasa memang sangat penting dan mendasar dalam proses kemunculan dan perjalanan setiap agama. Sebab, dengan bahasa, (wahyu) agama disampaikan Tuhan kepada manusia. Dan dengan kajian atasnya pula kita dapat melakukan dinamika, kontekstualisasi, dan ”penyegaran” agama melalui hermeneutika sebagai salah satu metode ijtihad.
Komaruddin Hidayat, cendekiawan muslim, meluncurkan sebuah buku berjudul Memahami Bahasa Agama, yang menjelaskan signifikansi bahasa bagi sebuah agama; tentang bagaimana satu kalimat, bahkan kata, dari Tuhan Yang Transenden itu dipahami dengan beragam makna oleh tafsiran manusia yang imanen ini dan kemudian menimbulkan berbagai problem turunan yang kerap memicu konflik antaragama atau bahkan antarmazhab.
Adapun ”diam” itu sendiri merupakan salah satu ”kosakata” dalam bahasa yang dapat menampung pesan yang sangat luas dan mendalam, melebihi cakupan kosakata lain dalam berbagai bahasa, termasuk dalam bahasa Indonesia. Begitu banyak, baik dalam catatan sejarah maupun pengalaman kita sehari-hari, saat ”diam” menjadi jawaban terbaik, paling bijak, sekaligus sangat dimengerti oleh lawan bicara. Misalnya, saat Rasul bertanya kepada putrinya (Sayyidah Fatimah) tentang lamaran Sayyidina Ali, putrinya itu ”diam”. Tapi, ”diam”-nya itulah yang justru menjadi jawaban paling bijak yang juga sangat dimengerti oleh Rasul yang kemudian bersabda, ”Diamnya (Fatimah) adalah keridhoannya (berarti iya)”. Namun, berbeda jika Fatimah menjawab dengan kata, ”Iya!” Sebab, itu sangat tak etis dan tak diplomatis karena akan menimbulkan kecemburuan dan kekecewaan lelaki muslim lain yang telah lebih dulu melamar Fatimah dan ditolaknya. ”Diam”-nya Fatimah sebagai jawaban isyarat ketundukannya pada otoritas Muhammad, baik sebagai Rasul maupun ayah. Di sanalah salah satu kekuatan ”diam” sebagai bahasa. Adapun dalam konteks keseharian, lihatlah di acara berita, khususnya infotainment, di mana ”diam” menjadi jawaban terbaik dan terbijak yang selalu dipilih oleh seorang artis atau politikus untuk menjawab pertanyaan wartawan yang dirasanya menjebak.
Merujuk analisis Ludwig Wittgenstein—tokoh filsafat bahasa asal Wina—”diam” memang bagian dari bahasa. Ia bukan ungkapan perasaan. Ia salah satu kosakata, walau tak berbentuk kata. Malah, menurut Wittgenstein, justru di sanalah kekuatan dan strategisnya posisi ”diam” sebagai bahasa. Ia menjadi salah satu—atau mungkin satu-satunya—”kosakata” yang lintas bahasa (misalnya, tak perlu diserap atau diterjemahkan untuk dipakai dalam bahasa lain). Ia juga tak terikat oleh kaidah tertentu dalam bahasa. Karena itu, maknanya menjadi sangat luas dan mendalam. Melalui bukunya yang berjudul Philosophical Investigation, Wittgenstein mengungkapkan luas dan mendalamnya makna ”diam” sebagai bahasa dengan bertanya, ”Bukankah banyak sekali pengalaman hidup yang sangat eksistensial yang tidak bisa dikemukakan dengan kata dan logika biasa, sehingga seseorang akhirnya memilih ’bahasa diam’ (language of silent)?” (Memahami Bahasa Agama, 2011, hlm 131).
Apa yang diungkapkan Wittgenstein ini dapat kita temukan rujukan faktualnya dalam dunia sufi. Para sufi memiliki pengalaman batin yang sangat sulit—bahkan mustahil—untuk diungkapkan dengan kata-kata. Mereka selalu merahasiakan (sirr) semua pengalaman batinnya, kecuali ke sesama sufi yang sudah sama-sama merasakannya. Sebagaimana juga ditegaskan oleh pepatah Arab, di situ ”diam” biasanya menjadi pilihan ”kata” bagi seorang sufi jika mereka ditanya tentang sirr-nya oleh kalangan non-sufi. Sebab, jika sirr itu dipaksakan dijelaskan dengan kata-kata, yang muncul kemudian ungkapan-ungkapan syathahat (ungkapan ekskatik yang kontroversial) yang bisa menyesatkan jika didengar atau dibaca oleh orang-orang yang belum sampai ke tahapan sufi atau malah membahayakan bagi keselamatan sufi, karena akan dianggap sesat atas kata-katanya itu.
Dengan mempertimbangkan maknanya yang begitu luas, dalam, dan melampaui kosakata lain, menurut saya, ”diam” merupakan salah satu—atau satu-satunya—kosakata yang bersifat semitransenden, bukan lagi imanen sebagaimana kosakata lainnya. Agama (Islam) sangat menganjurkannya sebagai kunci bagi keselamatan (lidah) seseorang yang dianalogikan lebih tajam daripada pedang. Endo pun menutup novelnya dengan memuat kata-kata Tuhan pada Rodrigues yang menggugat diamnya Tuhan itu dengan firman-Nya: ”Aku juga ikut menderita di sampingmu!” Itulah salah satu makna sakral ”diam” yang semitransenden itu. Bahkan Tuhan pun memilih untuk diam.
*) Direktur Lembaga Study of Philosophy, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo