Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catatan Harian Si Boy
Sutradara: Putrama Tuta
Skenario: Priesnanda Dwisatria, Ilya Sigma
Konsultan kreatif: Joko Anwar
Pemain: Ario Bayu, Carrisa Putri, Poppy Sovia, Albert Halim, Abimana Arya Satya, Onky Alexander, Didi Petet, Btari Karlinda
Produksi: Tuta Media Corporation, Masima Contents+Channel, 700 Pictures Production
Sebuah mobil sedan melesat membelah Jakarta. Raungan dan deritan ban yang memekakkan telinga itu malah membuat Satrio, yang duduk di belakang setir, semakin bergairah. Adrenalin memuncak. Jalan-jalan di Jakarta seperti hanya milik dia dan lawannya, yang sama-sama mencoba merobek malam. Hanya dalam beberapa detik, terdengar sirene polisi yang meraung-raung. Adegan berikut: Satrio diborgol dan dia nyengir.
Adegan yang serba cepat, gesit, ribut, dan penuh keringat maskulinitas ini membuka film Catatan Harian Si Boy, debut sutradara Putrama Tuta. Tapi film ini bukan sekadar memelihara melankoli dengan mengangkat acara Radio Prambors, Catatan Si Boy, yang menjadi ikon 1980-an. Di dalam film ini, buku harian si Boy—yang menjadi narasi utama lima film Catatan Si Boy di masa lalu yang diperankan Onky Alexander—adalah peran utama.
Bagaimana sebuah buku harian bisa hidup pada 2011? Ternyata buku harian ini hidup sebagai ”penyelamat” hidup seorang perempuan, meski awalnya sang buku agak diejek protagonis kita yang ganteng, Satrio (Ario Bayu). Maklum, buku harian milik Boy alias Raden Ario Purbo Joyodiningrat itu sungguh terlihat jadul di masa revolusi blog, Twitter, dan Facebook ini. Tak aneh, saat tokoh Satrio mempertanyakan fungsi sebuah buku harian yang ditenteng Natasha (Carissa Putri), terjadi perdebatan seru. Natasha, yang sedang prihatin karena ingin ibunya sembuh—dengan cara apa pun—ngambek (dan ngambek-nya cukup lama, hingga penonton jadi jengkel pada sosok ini). Sudah bisa diduga, perdebatan dua anak muda—yang bertemu di kantor polisi—ini memercikkan rasa suka.
Satrio adalah pekerja bengkel, anak koruptor yang tak sudi menjenguk ayahnya di penjara. Bagi dia, ”keluarga”-nya adalah kawan-kawannya: bos pemilik bengkel, Nina (Poppy Sovia), yang diam-diam menyukai Satrio tapi terlalu menjaga gengsi untuk membuka hati; Andi (diperankan dengan baik oleh Abimana Arya Satya), sahabat Satrio yang selalu bertugas ”meneduhkan hati” Satrio yang mudah terbakar; dan Herry (Albert Halim), akuntan bengkel yang tampaknya diletakkan di dalam keluarga besar bengkel ini sebagai sosok komikal sebagaimana tokoh Emon dalam film Catatan Si Boy versi lalu.
Syahdan, buku harian ini ada di tangan Nuke, ibu Natasha, yang di masa mudanya pernah menjadi salah satu pacar Boy. (Bagi generasi 1980-an, pacar Boy ini buanyak sekali hingga kita semua lupa nama-namanya. Yang jelas, pacar-pacarnya itu diperankan Venna Melinda, Meriam Bellina, dan seterusnya.) Nuke sakit keras. Natasha, yang sedang belajar fashion di London, lantas terbang dan mencoba mempelajari buku harian yang siapa tahu bisa menyembuhkan hati ibunya. Adapun apa nama penyakit ibunya tak terlalu penting di sini. Bahkan kita juga tak perlu tahu wajah Nuke yang membuat repot sedunia. Yang penting: perjuangan Natasha dan Satrio serta seluruh isi bengkel adalah mencari si Boy, cowok yang dulu mengguncang Jakarta karena ganteng, kaya raya, dan rajin beribadah (ingat, itu tahun 1980-an). Siapa tahu, dengan mempertemukan dua sosok ini, ibu Natasha akan terhibur hatinya.
Nah, perjuangan mencari Boy itu ternyata sulit. Konon, Boy yang pada 1980-an adalah anak gaul itu kini telah menjadi konglomerat yang rada hermit alias jarang mau bergaul. Entah akibat keluarganya yang tewas karena kecelakaan, entah karena dia memang menjauh dari keramaian dunia. Pokoknya susahlah. Jadi, meski Satrio dan Natasha sudah melihat dia, yang sibuk berdiskusi di kantornya yang megah, pastilah pasukan bodyguard yang sebesar gajah segera menghalangi upaya Satrio.
Dalam pengejaran mencari si Boy, Satrio—karena jatuh hati pada Natasha—bersedia mengulik seluruh Jakarta menemui kawan-kawan lama Boy: dari Emon alias Eko Mondial (Didi Petet), sahabat Boy, yang di masa mudanya sangat feminin dan di masa tuanya dikenal sebagai motivator, hingga Ina (Btari Karlinda), adik Boy, yang hubungannya dekat dengan sang abang tapi sudah lama tak bertemu karena Boy memilih menjadi penyendiri. Di antara upaya itu, Satrio juga diganggu Nico (Paul Foster), pacar Natasha, yang bermulut besar dan hanya berani mematuk dari belakang.
Film ini memang harus diperlakukan sebagai sebuah hiburan dengan ”H” besar: plot yang tidak rumit, ritme yang lekas, musik yang sangat diperhitungkan (artinya: muncul di saat yang tepat), serta penyuntingan yang betul-betul rapi dan bersih. Tak ada adegan yang mubazir; tak ada ruang untuk diam-diam mengirim pesan melalui BlackBerry karena film ini sangat meringkus perhatian kita dari awal hingga akhir.
Ini bukan sebuah sekuel. Ini adalah spin-off film Catatan Si Boy yang mengambil ikon itu sebagai inspirasi dan melahirkan generasi baru yang sebetulnya sama sekali tak terkait dengan tokoh-tokoh lama itu. Hubungan antara kelompok Satrio dan kelompok Boy pada 1980-an hanyalah catatan harian—sebuah alat penggenggam waktu yang kemudian ternyata menjadi obat duka seorang pasien yang sakit. Selebihnya, Putrama Tuta, yang juga ditemani sang mentor Joko Anwar, melesat dengan cerita baru dan semangat baru. Semangat anak-anak muda yang lahir dari keluarga disfungsional dan mencoba berfungsi dengan baik dengan ”keluarga” pilihan sendiri. Itu bagian yang mengharukan di antara riuh rendah humor dan keringat lelaki dalam film ini.
Plot yang sederhana—atau tepatnya: menyederhanakan—ini memang bisa saja menimbulkan tanda tanya, misalnya: masak sih sebuah buku harian bisa membuat pasien kritis jadi ”sembuh”? Atau: bagaimana tokoh Emon yang sangat feminin di masa remaja bisa berubah habis-habisan di masa tua? Ini memang pertanyaan tak penting karena pada akhirnya ritme film yang begitu cepat dan dialog yang tangkas menggilas pertanyaan yang berkelebatan itu. Harus diingat: film ini tak ingin dianggap produk serius. Ini sebuah film anak muda yang menghibur, yang menyenangkan, dan yang ringan bak gulali: manis, meresap di lidah, dan selesai. Tak perlu dipikirkan apakah akan menjadi vitamin dalam tubuh.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo