PRAJURIT Dua Sugianto, 24, dari BataIyon 142 Garuda Putih, Jambi, tersungkur begitu memasuki finish dalam lomba mini maraton (20 km) Pijoan-Jambi 15 Januari lalu. Ia hanya menduduki tempat keempat. Tapi prestasi itu dia bayar dengan harga yang terlalu mahal. Wajah prajurit yang pantang menyerah itu pucat. Dokter jaga di garis finish mencoba menolongnya dengan membuat pernapasan buatan. Tapi Sugianto bukannya menjadi sadar kembali. Keadaannya malah menjadi semakin buruk. Dia langsung dilarikan ke rumah sakit yang terletak sekitar 300 meter dari situ. Dan itulah perjalanannya yang terakhir. Belum sempat diberi pertolongan di rumah sakit itu, sang prajurit pelari sudah menghembuskan napasnya yang terakhir. Ini adalah kesekian kalinya seorang pelari jarak jauh menemui ajal di arena. Pertengahan tahun 1982, seorang atlet - dari Jambi juga - meninggal setelah menjalani latihan menjelang Trilomba Juang Nasional yang diselenggarakan di Jakarta. Juni 1978, Nyono, anak muda kelahiran Cepu, juga meninggal. Dia rubuh dua kilometer menjelang finish lomba 17 km, menyambut ulang tahun Jakarta ke-451. Mereka adalah di antara para korban yang jatuh ketika lari jauh sebagai olah raga murah dan keras menjadi kegemaran yang luas sejak akhir takun 1970-an. Sebagaimana Sugianto, korban-korban sebelumnya tak pernah secara jelas ketahuan penyebabnya. Orang cuma bisa menduga-duga karena selama ini tak satu pun di antara korban itu yang sempat diautopsi dengan bermacam alasan. "Kalau mau diautopsi, harus ada izin dari keluarga ataupun komandan kompinya," kata dr. Hentyanto Hendardji, salah seorang pengurus PASI Jambi, kepada wartawan TEMPO, Rudy Novrianto. Dan dia pun cuma bisa menduga sebab kematian korban: ada gelembung udara di dalam pembuluh darah balik Sugianto. Dugaan itu mendapat sanggahan dari Sadoso Sumosardjuno, kepala Pusat Kesehatan Olah Raga, dokter yang sering menulis tentang bagaimana pentingnya mensuplai tubuh dengan air ketika sedang maraton. "Dari segi kedokteran olah raga, agak susah diterangkan adanya gelembung udara dalam pembuluh darah. Dari mana gelembung itu masuk?" tanyanya tanpa mengharapkan jawab. Menurut Sadoso. kematian dalam lari jarak jauh terjadi karena hilangnya cairan dalam tubuh. Seorang pelari harus menambah cairan ke dalam tubuhnya dengan minum, apalagi di daerah tropis dengan suhu udara yang tinggi dan lembab seperti Indonesia. Air yang diminum, katanya, akan menurunkan suhu tubuh yang semakin membubung dengan bertambah jauhnya seseorang berlari. "Jika tidak minum, maka suhu tubuh bisa meningkat sampai sekitar 41-420C. Dan itu dapat mengakibatkan kematian," katanya. Dia menceritakan, pelari yang kehilangan cairan tubuhnya akan terserang heat stroke keadaan ketika darah sudah mengental dan tak dapat lagi mensuplai oksigen ke otak. Dalam keadaan seperti itu, si korban tak sadarkan diri. Terkadang mengigau tak keruan. "Menghadapi hal seperti ini, dokter beradu cepat dengan panas tubuh si penderita. Kalau cepat mendapat pertolongan, pasien bisa sembuh. Terlambat sedikit, akan meninggal," kata dokter itu. Dari Jambi, d. Hentyanto menganggap bahwa Sugianto tidak kekurangan cairan karena panitia, katanya, menyediakan pos siram dan minum di jarak 6, 10 dan 14 km. Tapi dia menambahkan pula, "Panitia tidak mungkin mengawasi apakah Sugianto minum atau tidak, karena pesertanya banyak, 132 orang."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini