Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Anunya kamu

Kita semakin santai membicarakan masalah seks. kita gampang menuding remaja yang telah melakukan penyimpangan seksual. tapi lupa bahwa kita, pria & wanita dewasa telah ikut menciptakan situasi ini. (kl)

28 Januari 1984 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ke gurun engkau turut ke gunung engkau ikut ke kamar mengapa takut, sayang? SYAIR lagu Bimbo itu berubah ekor. Tercoret dengan kapur di atas papan pintu rumah kecil di Otista, Jakarta Timur. Saya tersenyum sendiri. Lampu hijau menyala. Saya tancap gas kembali, berpacu dalam hiruk-pikuk lalu lintas. Radio mobil sedang menyiarkan acara "Anunya Kamu" dari Prambors. Pernah dengar? Anda harus! Cobalah putar gelombang 666 KHz, tiap hari pukul 14.00-15.00. Judulnya saja sudah memberi konotasi tentang hal-hal yang bersangkutan dengan aurat. Acara ini merupakan tebak-tebakan sebuah kata kerja. Para pendengar boleh langsung menelepon ke studio untuk menyebut tebakannya. Penyiarnya dengan santai akan mengomentari penelepon yang salah menebak. Penelepon balas berkomentar. Senda gurau, maki, umpat, omel, ejek, rayu menjadi satu dalam ungkap-ungkapan khas remaja. Dan di antara semua itu, ungkapan-ungkapan intim yang sesekali "berbau tempat tidur" sering juga terdengar. Pada acara itulah setidak-tidaknya kita dapat secara horisontal mengamati kehidupan dan dinamika remaja. Terutama karena remaja itu sendiri tidak merasa sedang diamati. "Merangsang," tebak seorang penelepon. "Aduh, gue rangsang juga lu 'ntar," sergah penyiar. "Meraba," tebak penelepon yang lain. "Salah, Sayang. Diraba siokap, sih?" rayu penyiar. Ungkapan-ungkapan berbau seks memang sudah merupakan hal biasa di kalangan remaja. Prambors bukan satu-satunya radio di mana Anda bisa menguping pembicaraan remaja. Putar saja gelombang radio lain yang populer di kalangan mereka. Atau, kalau Anda punya pesawat CB alias KRAP, coba saja dengar jalur-jalur remaja tanpa Anda sendiri mengudarakan modulasi Anda. Perhatikan juga graffiti mereka yang tercoret pada tembok atau tertempel pada kaca mobil: Stiff Stuff, Chenk Goer, Brenk Sex, Gramm Punk. Banyak yang berkonotasi seksual. Bahkan di daerah Bintaro terlihat juga graffiti yang mengerikan: Red Penis. Dengan santainya para remaja bergurau tentang seks. Dengan santainya para remaja menuliskan graffiti tentang seks. Dengan santainya para remaja baku tukar kaset video porno. Dengan santai pulakah para remaja memerankan perilaku seks? Pertanyaan ini memang mengerikan untuk sebagian orang. Tetapi, tanpa ditanya pun kita sudah terlalu sering mendengar jawabnya. Seorang dokter dengan santainya memberi keterangan kepada wartawan bahwa banyak wanita, terutama remaja, yang datang kepadanya untuk dipulihkan selaput daranya yang telah robek karena tindak seksual. Sepasang remaja bunuh diri setelah menginap empat hari di hotel. Dari Yogya dikabarkan banyak gadis yang telanjur hamil dan ditinggalkan pacar. Dan masih banyak lagi berita yang secara langsung memberi indikasi bahwa seks memang sudah menjadi olah raga yang mulai digemari para remaja. Tidak enak kita mendengar pernyataan seperti itu. "Pihak berwajib" pun sering tersengat mendengar penyimpangan seperti itu. Eko Sulistyo, si pembuat angket seks di Yogya, buru-buru diskors dari sekolah. Di Jakarta pun segera keluar bantahan ketika sebuah surat kabar memberitakan seluk-beluk "pereks" - pelajar eksperimen sebutan untuk pelajar putri yang tengah bereksperimen seks dengan lawan jenisnya. Bantahan-bantahan itu memang cukup melipur hati para orangtua. Toh tidak menghentikan kegiatan rendezvous pelajar putri dengan pria dewasa di sebuah restoran di Menteng, Jakarta. Di Blok B Kebayoran Baru pun ada sebuah restoran, tempat pelajar putri menukar seragam sekolahnya dengan pakaian biasa, dan menunggu jemputan pria dewasa yang ingin berkencan. Saya pun ingin membantah berita semacam itu. Tetapi mana bisa? Sebelah kamar hotel saya di Surabaya diketuk tiga gadis berpakaian sederhana dan membawa tas yang mirip tas sekolah. Penghuni kamar itu, seorang pria Jepang, membuka pintu dan mempersilakan seorang gadis masuk. Dua gadis lainnya pergi sambil cekikikan. Haruskah saya berpikir bahwa di dalam sana sedang terjadi transfer of technology, atau bahwa gadis itu minta tolong dibuatkan pekerjaan rumah? Lalu sebuah peristiwa pun menimpa saya. Ketika saya terjebak dalam arus laiu lintas di Jalan Abdul Muis, dua pelajar putri mengetuk kaca jendela mobil. "Ajakin ke Puncak dong, Oom," pinta mereka. Santai. Biasa. Pipi mereka pun tidak menjadi merah. Malah pipi saya yang jadi terbakar. Seorang wartawan senior yang semula saya segani malah menertawai saya. Lalu ia memberikan resep. "Kalau melihat cewek dengan seragam sekolah menunggu di perhentian bis, di luar jam berangkat atau pulang sekolah, sambar saja! Pasti mereka butuh uang untuk membayar sekolah atau jajan bakso bola tenis." Santai saja ia bicara begitu. Kita memang semakin santai membicarakan masalah seks. Kita gampang menuding para remaja yang telah melakukan penyimpangan seksual. Tetapi lupa bahwa kita - pria dan wanita dewasa - telah ikut menciptakan situasi ini. Tidak perlu kita menyalahkan terobosan aliran permissiveness dari Barat, kalau kenyataannya kitalah yang menenteng kaset video porno ke rumah, sehingga anak-anak bisa mencuri-lihat. Tidak perlu kita berkilah: ah, itu soal telur dan ayam, mana yang duluan saja. Siapa yang mengajak remaja putri berseragam sekolah itu ke tempat-tempat tersembunyi, kalau bukan pria dewasa yang sering berdasi dan menyimpan credit card dalam sakunya? Ketika dua remaja putri mengetuk kaca jendela mobil, dan minta diajak ke Puncak, de facto memang merekalah yang berinisiatif. Tetapi siapakah yang bisa memaafkan saya, bila kemudian saya buka pintu, menyilakan mereka masuk, lalu tancap gas ke Puncak?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus