Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TOMBOL start pada alat penghitung waktu ditekan. Randi Ardiansyah, 23 tahun, langsung meluncur cepat di trek menuruni Gunung Pinang, Cilegon, Banten. Sepedanya dipacu sederas embusan angin menghajar kelokan, hambatan bebatuan, dan gundukan. Sial, begitu menerjuni jalan terputus, dia terjungkal. ”Sewaktu mendarat, rodanya langsung terkena akar pohon,” kata peserta dari Bandung itu, Minggu pekan lalu.
Tak membuang waktu, dia cepat bangun, segera mengayuh sepedanya kencang seperti kesetanan. Sayang, sesudah tikungan tajam, dia terjatuh lagi. Rodanya terpeleset, terbanting keluar. ”Tanahnya licin,” katanya. Alhasil, dia mencatatkan waktu 3,27 menit untuk menempuh jalur ekstrem sejauh 2,1 kilometer menuruni bukit berketinggian 300 meter itu. Dengan capaian waktunya, Randi hanya nangkring di urutan tujuh kategori Men Expert kejuaraan downhill itu. Selisihnya dengan juara satu, Toni, peserta dari Yogyakarta, hanya 10 detik. Dengan jajaran lima besar bahkan hanya selisih 5 detik.
Di kategori lain kejuaraan yang sama, Men Sport, Bagus Budi Setiawan, 18 tahun, berhasil melewati lintasan dengan mulus. Anggota klub sepeda Atlas Victory, Solo, itu berhasil menggeber sepedanya hingga menyentuh garis finis dalam waktu 3,07 menit, tercepat di kelasnya. ”Asyik banget,” kata siswa sekolah pelayaran itu.
Minggu siang pekan lalu, di Gunung Pinang tengah digelar International Downhill Championship 2009. Kejuaraan balap sepeda dengan trek ekstrem itu berlangsung tiga hari, berakhir pada Ahad itu. Sebanyak 342 peserta dari 12 negara ambil bagian dalam kejuaraan yang memperebutkan total hadiah Rp 125 juta. Kategori yang dilombakan sesuai dengan kualifikasi usia dan keahlian, antara lain Men Elite, Sport, Expert, Women Open, Master A, B, C, dan Junior.
Selama tiga hari, aksi gila para pesepeda tersuguh di sana. Puluhan orang di tiap kelas beradu cepat menuruni bukit dengan mengendarai sepeda gunung. Trek menurun dilibas cepat. Jalan yang turun berkelok-kelok menyisakan jejak dan suara putaran rantai sepeda memecah kesunyian hutan jati Gunung Pinang. Sebagian terjungkal, tapi bangkit lagi. Tak ada yang jera.
Trek Gunung Pinang memang menantang. Jalan tanah merah selebar dua meter menurun berkelok-kelok, rata-rata dengan kemiringan 45 derajat. Beragam hambatan menghadang, seperti batu lepas, akar pohon yang menyembul, rerontokan daun. Itu membuat jalan menjadi licin. Belum hambatan ekstrem seperti jalan terputus (drop off) sehingga harus melompat, jalanan seperti tangga (double drop), juga gundukan (steps).
Bisa dibayangkan, apa yang harus dilakukan peserta untuk mengendarai sepeda di jalur seperti itu, dengan kecepatan tinggi pula. Pesepeda harus kencang mencengkeram setang, sigap mengontrol kecepatan, dan yang utama menjaga keseimbangan. Sesekali mereka harus menggenjot (pedaling) untuk menambah kecepatan. Di jalanan curam, peserta mahir bisa melompatkan sepedanya hingga sejauh enam meter. Keahlian mengendalikan sepeda memang menjadi syarat utama selain keberanian. ”Kalau hanya modal nyali, dijamin celaka,” kata Randi.
Tapi justru itulah yang dicari: aksi bersepeda mencumbu bahaya. Sekadar balap sepeda konvensional tak lagi menantang. Downhill memberikan sensasi tersendiri, ramuan dari ketegangan, konsentrasi tinggi, dan aktivitas fisik. ”Senang saja bisa menaklukkan jalur ekstrem,” kata Randi, yang memutuskan mundur dari posisi pegawai negeri di sebuah dinas pemerintah di Bandung untuk mengejar kesenangan itu.
Bagi Ferdiansyah, 29 tahun, dari klub B-Bike, Bogor, kesenangan bersepeda ekstrem itu terutama terletak pada kepuasan menaklukkan alam. ”Benar-benar kena di hati,” katanya. Sebelumnya dia menekuni olahraga bicycle motocross (BMX), dan pindah menekuni bersepeda downhill delapan bulan terakhir. ”Yang ini tidak monoton,” kata karyawan perusahaan air minum di Sukabumi yang rajin berlatih fisik demi menunjang kemampuan bersepeda downhill ini.
Adapun G. Bima Bathara, 45 tahun, dari Yogyakarta, menggemari downhill karena memberikan dua kecintaannya dalam satu paket. ”Saya suka kompetisi kecepatan dan tanah,” katanya. Bima juga membentuk klub Elgato Indonesia, yang beranggota 30 orang.
Niat mengejar sensasi di jalur ekstrem juga yang membuat Akhmad Jauhari, 26 tahun, datang dari Malaysia. ”Lebih seru di sini,” kata Akhmad, yang mengikuti lomba bersama 12 teman senegaranya. Dia mengaku suka bersepeda ekstrem di Indonesia dan sudah mengikuti sepuluh kali kejuaraan downhill di sini, walau di Malaysia lomba serupa juga sering digelar. ”Medan di sana kurang ekstrem, biasanya track di kebun getah (karet) atau kebun kelapa sawit,” ujarnya.
Jalur ekstrem untuk sepeda downhill di Indonesia memang banyak. Selain di Gunung Pinang, antara lain ada trek Mangunan, Yogyakarta; Bukit Sentul, Bogor; Cikole, Bandung; Songgoriti, Malang; Bukit Sulap, Lubuk Linggau, Sumatera. ”Tiap tempat punya kesulitan dan karismanya masing-masing,” kata Bima.
Para penggila sepeda downhill di Indonesia juga tidak sedikit. Dalam kejuaraan di Gunung Pinang, misalnya, tercatat peserta dari Indonesia mencapai 300 orang, berasal dari 30 klub sepeda di berbagai kota. ”Ini juga bagian dari program kami menciptakan pasar komunitas,” kata Dhanu Prasetyo dari Indosat, salah satu sponsor kejuaraan itu. Kejuaraan di Gunung Pinang itu merupakan seri pertama, yang berlanjut di Sentul, Bogor; Yogyakarta, dan Bali. ”Para downhiller itu fanatik,” kata Dhanu.
Olahraga sepeda downhill mulai masuk Indonesia sekitar 1995, atau 20 tahun setelah olahraga itu dikenal pertama kali di Amerika Serikat. Di negara Abang Sam, olahraga ini memanfaatkan lanskap luncuran ski pada saat bukan musim salju.
Downhill sudah menjadi salah satu cabang yang dilombakan di Pekan Olahraga Nasional (PON) 1996. ”Tapi baru marak belakangan,” kata Oki Raspati, pelatih mountain bike (MTB) Pengurus Besar Ikatan Sport Sepeda Indonesia (ISSI). Di organisasi sepeda ini, downhill masuk kategori olahraga sepeda gunung. Dalam ajang Sea Games di Laos tahun ini, Indonesia akan mengirim tiga atlet downhill.
Downhill makin marak di Indonesia mulai 2006. ”Awalnya di Cikole, Bandung,” kata Bima. Pada 2007 mulai dibuka sesi khusus untuk kelas master, yakni untuk peserta berusia di atas 30 tahun. Namun baru pada 2009 ini diselenggarakan serial kejuaraan downhill. Saat ini sudah ada sekitar 15 tim di Indonesia yang profesional. Yang bersepeda downhill tidak sekadar untuk hobi tapi serius untuk prestasi itu bahkan sudah ada yang menggandeng sponsor.
Peminat downhill terus meningkat meski biaya untuk menggelutinya mahal. Sepedanya saja jelas harus khusus, dengan rentang harga Rp 35 juta hingga Rp 80 juta. Sepeda harus memiliki suspensi prima, memiliki desain rangka (frame) dengan titik gravitasi rendah dan mampu menikung dengan stabil, juga rem yang bagus.
Selain sepeda, ada lagi perlengkapan yang harus dimiliki, seperti helm, body protector, kacamata (goggles), baju khusus, dan sepatu. Total biaya untuk semua perlengkapan tambahan bisa mencapai Rp 10 juta. Semua wajib dikenakan demi perlindungan diri. Dan bagi atlet downhill, semua itu merupakan permainan serius, bukan main-main.
Harun Mahbub
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo