Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAHNYA tampan, tinggi badannya di atas dua meter, bule lagi. Tampang Marcelo Baretto, pemain voli dari tim Jakarta Monas Bank DKI, memang sempat membetot perhatian penonton yang memadati Gedung Basket Senayan, Jakarta. Sayang, penampilan pemuda asal Brasil itu cuma rancak di lebuh. Ia masih tampil mengecewakan.
Bukan hanya penonton yang kecewa. Nan di Nata, pelatih Jakarta Monas, pun mengeluh. Terang-terangan ia menyebut permainan Baretto payah. Tugasnya sebagai pemain blok tengah sering tak jalan. Repotnya, ia malah sering menyalahkan rekan-rekan setimnya. "Kalau begini terus, sebaiknya dia pulang saja," kata Nandi seusai pertandingan melawan BNI Phinisi, Minggu pekan kemarin.
Baretto merupakan satu dari delapan pemain "cabutan" yang tampil di putaran pertama liga profesional voli Sampoerna Hijau Proliga di Jakarta, 16-18 April lalu. Disebut cabutan karena mereka hanya dikontrak dua bulan atau selama Proliga berlangsung. Singkat, memang, karena liga ini hanya diikuti enam tim putra dan enam tim putri, dan berlangsung di lima kota.
PB PBVSI memang mewajibkan tiap tim memboyong paling tidak seorang pemain asing. (Beberapa tim sebenarnya mampu merekrut dua pemain luar.) Tapi, setelah mereka turun di putaran pertama, kinerjanya belum memuaskan. Penyebabnya, ternyata, mereka baru bergabung satu atau dua hari menjelang kompetisi. Lalu, bagaimana kerja sama dan saling pengertian bisa tercipta?
Keterlambatan itu bukan dibuat-buat. Proliga, yang tadinya dijadwalkan mulai Januari, molor hingga April. Perubahan jadwal ini karena ada pergantian di organisasi PBVSI, bentrok dengan pelaksanaan pemilu, dan mundurnya empat tim Proligayang butuh waktu untuk mencari penambalnya.
Perubahan jadwal tersebut juga membuat tim-tim peserta kelimpungan mencari pemain pengganti imporan. Sejumlah tim sebenarnya lebih menyukai pemain Asia ketimbang Eropa: Cina, Thailand, atau, kalau harganya cocok, Korea dan Jepang. Gaya permainan Asia yang cepat sangat cocok dengan pemain lokal. Sedangkan pemain asal Eropa dan Amerika lebih mengandalkan tinggi badan, tapi permainannya lebih lamban karena mengandalkan power dan bola-bola lambung.
Jika kompetisi jadi digelar Januari dan berakhir Maret, beberapa pemain asing sebenarnya telah siap bergabung. Nah, setelah tahu jadwalnya digeser, mereka batal datang karena bulan-bulan ini sedang berlangsung kompetisi di negerinya sendiri. Maka, tim peserta Proliga terpaksa mencari pemain yang sedang menganggur. "Setidaknya mereka pernah main di liga profesional negara lain," ujar seorang manajer tim, mewakili beberapa rekannya. Akibatnya, mereka hanya dibekali data pemain, tanpa sempat menguji atau melihat rekaman permainannya. Seperti memilih kucing dalam karunglah.
Baretto, misalnya. Ia dikontrak Jakarta Monas seharga US$ 1.700 (sekitar Rp 14,5 juta) setiap bulan. Nilai kontrak pemain yang tahun lalu berlaga di liga voli Portugal ini lumayan tinggi dibanding pemain asing lainnya, yang bayarannya dimulai dengan US$ 1.000. Dengan tingkat tarif ini, tentu saja sangat sukar mendapat pemain berkualitas lumayan. Sebab, pada kompetisi Eropa, mereka biasa dibayar tiga hingga lima kali lipat dari harga lokal.
Namun, manajer tim Jakarta Monas, Zulfarshah, yakin permainan Baretto akan meningkat dalam putaran kedua Proliga di Gresik, Jawa Timur, yang telah dimulai Jumat pekan lalu. Sebenarnya bukan hanya pemain asing ini yang bermain di bawah harapan. Rata-rata belum sempat berlatih bareng, mereka sudah harus langsung diturunkan dalam pertandingan. Belum lagi menghadapi kendala panasnya cuaca Jakarta.
"Gerahnya bukan main, sampai permainan saya kacau," keluh Kenton Lepp, pemain asal Kanada yang direkrut tim putra Yogya Gunadarma. Tim ini dipaksa menyerah dalam dua kali pertandingan melawan Surabaya Flame dan Bandung Telkomsel. Pelatih Yogya Gunadarma, Putut Marhaento, mengakui salah satu penyebab kekalahan mereka adalah belum padunya kerja sama Lepp dengan pemain lain. "Tosser (pengumpan) kami belum tahu benar setinggi apa bola yang pas untuknya," kata Putut.
Namun, tidak semua tim kecewa dengan pemain asingnya. Surabaya Flame, misalnya, mengakui besarnya andil Theng Mao Ming dalam dua pertandingan yang mereka menangi. Bisa jadi karena pemain kidal asal Cina itu telah berlatih bersama tim ini lebih dari sebulan.
Selain Theng, dua pemain putri Cina di Bandung Artdeco Bank Jabar, Li Ye dan Yo Hong, juga tampil lumayan. Namun prestasi keduanya belum setara dengan pendahulunya, Li Wen dan He Shan, yang mengantarkan Bandung Artdeco menjadi juara Proliga 2003. Sayang, Li Wen dan He Shan batal datang ke Indonesia karena sedang berkompetisi di negaranya. Sedangkan hambatan utama Li Ye dan Yo Hong adalah bahasa; mereka tidak menguasai bahasa Inggris maupun bahasa Indonesia.
Di antara sedikit pemain asing yang bisa langsung menyesuaikan diri dengan tim lokal, salah satunya adalah Christine Lambert. Pemain putri asal Amerika Serikat yang bergabung dengan Jakarta Monas Bank DKI ini tahun lalu bermain di liga Jerman. Ia mengaku sudah paham permainan tim barunya. Selain itu, atmosfer pertandingan dengan penonton yang lebih heboh dibandingkan dengan di Jerman membuatnya betah. Padahal, pemain bertinggi 1,83 meter itu hanya dibayar US$ 1.000 per bulan.
Toh, jumlah itu tetap jauh lebih tinggi dari bayaran pemain lokal. Tapi orang awak tampaknya tak iri. Pemain nasional Risco Herlambang, misalnya. Dia tidak keberatan dengan perbedaan bayaran yang mencolok itu, yang jumlahnya hingga lima kali lebih tinggi dari total rupiah yang diterima pemain sinimeski kualitasnya tak jauh berbeda. Kapten tim BNI Phinisi ini berharap pemain asing yang biasa terjun di liga profesional Eropa bisa membagi ilmu dan pengalaman kepada pemain lokal.
Agar pemain di sini ikut memperoleh pendapatan lebih tinggi, olahraga voli tampaknya harus lebih diramaikan. Termasuk dengan merekrut pemain asing. "Voli harus menjadi hiburan dan menarik penonton sebanyak mungkin," kata Risco. Membandingkannya dengan sepak bola atau bola basket, ujarnya, turnamen bola voli masih kalah gebyar. Padahal olahraga ini tak kalah populer di sini. BNI sendiri baru diperkuat pemain asing Ken Huzek di putaran kedua.
Ketua Umum PB PBVSI, Rita Subowo, menyadari kesulitan klub mencari pemain asing. Apalagi mulai tahun ini pihaknya mencabut subsidi US$ 500 bagi tim-tim untuk dipakai membayar pemain pendatang. Menurut dia, seretnya sponsor menjadi kendala terbesar untuk menggelar liga profesional voli satu-satunya di Asia Tenggara itu. Jika tahun-tahun mendatang kendala tersebut teratasi, impian memboyong pemain yang lebih tampan dan terampil mungkin bakal terwujud.
Agung Rulianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo