Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jenderal Purnawirawan Wiranto mengalahkan Ketua Partai Akbar Tandjung dalam konvensi Golkar. Banyak yang terkejut, tapi juga sama banyaknya yang menyambut. Kemungkinan kejutan terjadi lalu dihubungkan dengan adanya politik uang dalam konvensi itu. Dengan uang semua bisa dilakukan. Tidak adil bila menganggap kemenangan seorang calon di sini jadi kurang sah karena dituduh sebagai hasil keunggulan bermain uang saja. Semuanya ikut melakukan, karena rupanya itulah satu-satunya aturan yang dipakai. Lagi pula, suasana politik uang itu terbangun di bawah kepemimpinan Ketua Partai Golkar Akbar Tandjung juga, calon yang akhirnya kalah dalam gelanggang permainannya sendiri.
Bagi Wiranto sendiri, juga bagi orang lain, banyak masalah baru yang muncul. Siapa calon wakil presiden, dengan partai mana akan bersekutu, cara mengumpulkan dana lebih banyak, bagaimana tidak dimusuhi dunia internasional, itu masalah buat Wiranto. Bagi orang lain, yang jadi masalah ialah kembalinya militer berkuasa, bangkitnya kekuatan lama Orde Baru, terancamnya kelanjutan reformasi yang sebenarnya memang belum sempat berhasil itu. Kalaupun belum jadi masalah, setidak-tidaknya begitulah kekhawatiran banyak kalangan jika Wiranto benar jadi presiden nanti.
Agak terlalu cepat untuk menyamakan arti kemenangan Wiranto di konvensi Partai Golkar sebagai kemungkinan menang dalam pemilihan presiden nanti. Meskipun organisasi Golkar relatif lebih berpengalaman sebagai mesin pengerah suara, belum tentu seluruhnya bisa dipadukan dan dikendalikan untuk membantu Wiranto, mengingat suasana politik uang dan perbedaan orientasi tiap daerah kepada calon presiden atau calon wakil presiden yang berlainan.
Namun yang lebih mungkin memperkecil kepastian Wiranto keluar sebagai pemenang adalah saingan yang dihadapinya. Seperti pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla (SBY-JK), yang sampai saat ini menduduki peringkat sebagai pilihan yang lebih memikat, tanpa bisa dan perlu dijelaskan apa alasannya. Dengan kata lain, kelihatannya SBY-JK masih lebih electable walaupun Wiranto pasti memiliki berbagai keunggulan. Sebagaimana dikatakan tadi, ini baru ada dalam perasaan umum saja, sehingga kebenarannya hanya bisa terbukti setelah terjadi nanti.
Jadi, tidak ada yang mutlak pada saat ini. Wiranto memenangi konvensi Golkar, menaklukkan politisi licin dan ulet Akbar Tandjung, tapi itu tidak mutlak berarti Wiranto akan menang menjadi presiden. Karena itu juga belum mutlak perlu mengkhawatirkan militer kembali ke tampuk kekuasaan politik, atau restorasi dwifungsi ABRI, hanya karena Wiranto jadi calon presiden Golkar. Jangan salah baca, Wiranto bukan sembarang calon yang tidak punya kelebihan. Penampilan pribadinya menarik, tampan dan cerah, gaya dan tutur katanya mengesankan kejelasan dan ketegasan. Kalau dia terpilih karena ini—yang barangkali masih belum cukup untuk mengalahkan saingan yang lebih electable—itu berarti penilaian padanya tidak selalu terkait dengan latar belakang militernya.
Wiranto berusaha meyakinkan bahwa pencalonan dirinya sebagai pemimpin negara adalah karena merasa terpanggil mengatasi dan menghentikan krisis yang berlarut-larut, cuma itu. Sebagai buktinya, secara terbuka ia berjanji hanya akan menjadi presiden untuk satu masa jabatan, selama lima tahun saja, tidak lebih. Kesungguhan yang dicoba ditunjukkannya itu seyogianya bisa mengurangi keinginan orang untuk hanya melihatnya sebagai perwujudan nafsu para perwira militer yang ingin kembali berkuasa. Juga harus diingat bahwa Jenderal Wiranto adalah Panglima ABRI yang mendeklarasikan hapusnya dwifungsi ABRI, serta memisahkan Kepolisian RI dan TNI pada 1999. Peranan SBY pun penting dalam merumuskan dan mendorong Wiranto mengambil langkah-langkah yang dikenal sebagai reformasi tentara itu. Jadi, pencalonan dua mantan jenderal dalam pemilihan presiden—Wiranto, dan sebelumnya SBY, yang bersaing itu—juga tidak mutlak harus diartikan sebagai kembalinya militer dalam politik Indonesia.
Sebagai bekas jenderal, seperti juga semua perwira militer lain, tentu Wiranto dianggap punya predisposisi untuk jadi otoriter kalau berkuasa. Masyarakat memang perlu berhati-hati, tapi tidak perlu mewujudkan kewaspadaannya dengan gelisah dan terburu-buru menakuti diri dengan bahaya militerisme. Yang perlu adalah pengendalian kekuasaan. Selama ada keterbukaan, ada kebebasan, ada pemilihan umum, kemungkinan kembalinya militerisme masih bisa dicegah.
Sebagai calon presiden, Wiranto juga harus bisa membuat dirinya dipercaya. Secara konkret itu harus ditunjukkan melalui siapa yang akan dipilihnya sebagai calon wakil presiden, dan terlebih penting lagi siapa saja yang akan dimintanya sebagai calon menterinya. Dari nama-nama itu masyarakat akan menilai, apakah pada tempatnya mencurigai Wiranto, juga SBY, sebagai pembawa militerisme kembali atau tidak. Dengan mudah, tanpa harus takut, masyarakat akan tidak memberikan suara bagi mereka bila masih kurang merasa yakin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo