Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HELIKOPTER Mi-17 belum juga tiba di Jakarta, tapi dipastikan pekan depan bisingnya akan memecah kesunyian Gedung DPR di Senayan, Jakartayang baru ditinggal reses anggotanya. Suara bising itu bukan lantaran si capung besi akan menclok di atas atap gedung, tapi berasal dari rapat pleno DPR yang membahas kasus pembelian heli Rusia oleh Angkatan Darat yang beraroma korupsi dan kolusi ini. Anggota Komisi I, yang membidangi pertahanan, sedang bersiap-siap menguak dugaan korupsi itu lewat dokumen setebal 26 halaman yang baru rampung disusun oleh tim kecil yang diketuai Efendy Choirie dari Partai Kebangkitan Bangsa.
Dokumen itu menyebut nama-nama pejabat di Angkatan Darat, Departemen Pertahanan, dan Departemen Keuangan yang diduga tahu benar seluk-beluk kisruhnya pembelian Mi-17. Tentu tokoh utama juga disebutkan dalam dokumen: Andy Kosasih, rekanan Angkatan Darat yang bekerja untuk Swifth Air Ltd. Singapura. Bahkan terhadap Andy ini rekomendasi tim kecil lebih "galak". "Komisi I DPR meminta aparat supaya melakukan proses hukum kepada Andy Kosasih atas tindakan penggelapan, penipuan, dan KKN," begitu bunyi salah satu butir rekomendasi. Rekomendasi yang lain disampaikan Djoko Susilo, anggota Komisi I yang lain. "Ini memang kesalahan beberapa instansi. Tetapi yang terkait dengan hukum harus dituntaskan dan pelakunya harus masuk daftar hitam," ujar Djoko.
Pihak instansi yang terkait dengan pembelian Mi-17 juga tidak kalah repotnya. Kamis pekan lalu di kantor Direktorat Jenderal Rencana Sistem Pertahanan Departemen Pertahanan di kawasan Medan Merdeka, Jakarta, petinggi ketiga instansi itu mengadakan rapat. "Kami memang mencari jalan keluar penyelesaian," ujar seorang peserta rapat yang menolak namanya diberitakan.
Misi mengurai benang kusut itu bisa dimulai dari mencari jawaban sekitar tindakan Andy Kosasih. Rekanan Angkatan Darat ini sudah menerima uang muka sebesar US$ 3,2 juta dari Departemen Keuangan sejak akhir tahun 2002. Tapi Andy tidak kunjung meneruskan uang muka itu ke pihak pembuat pesawat di Rusia. Setelah tersudut akibat gencarnya pemberitaan pers, dan juga pertanyaan DPR, Andy baru membayarkan uang muka itu pada pertengahan Maret 2004 yang lalu. Artinya, paling tidak uang Rp 27,2 miliar itu (dengan kurs Rp 8.500 sedolar AS) mengendap di tangan Andy selama 15 bulan.
Sepanjang uang muka belum dibayar, tentu penyerahan helikopter juga tidak akan dilakukan pihak Rusia. Malah sampai akhir April ini pun diragukan empat capung besi itu akan mendarat di Jakartaseperti prediksi Brigjen Arifin Seman, Komandan Pusat Penerbang Angkatan Darat. Seorang pejabat di Departemen Pertahanan yang tak mau disebut namanya lebih pesimistis lagi. Ia tidak melihat tanda-tanda bakal datangnya heli itu dalam waktu dekat, "Itu hanya April mop. Heli baru dikirim jika sudah dibayar lunas," katanya.
Pelunasan itu tentu menunggu kemajuan pembuatan heli. Dan jika uang muka baru diterima pihak Rusia pada Maret yang lalu, berarti penyelesaian pembuatan pesawat juga mundur. Pihak Angkatan Darat jelas dirugikan, terutama oleh rekanan bernama Andy Kosasih ini. Dan sejauh ini belum ada tanda-tanda bahwa Andy akan terkena denda penalti yang dihitung setiap hari kerja karena sebagai pemasok ia gagal mengirim heli tepat waktusesuai dengan kontrak yang dibuat Andy Kosasih dengan Departemen Pertahanan yang diwakili Kepala Staf Angkatan Darat.
Belum lagi beres urusan empat heli Mi-17 itu, ternyata Swifth Air diam-diam mengantongi surat penunjukan dari Angkatan Darat untuk meneruskan pembelian helikopter dari Rusia babak kedua. Perusahaan yang berkantor di sebuah gudang di kawasan Hillview Terrace, Singapura, itu mendapat order lanjutan (repeat order) untuk enam helikopter dengan fasilitas kredit ekspor tahun 2003.
Order babak kedua ini terungkap dari surat Asisten Logistik Markas Besar Angkatan Darat pada Oktober 2003. Dalam surat yang ditujukan kepada Panglima TNI ini, antara lain dimintakan persetujuan Panglima TNI untuk program pembelian heli lanjutan. Surat tersebut juga meminta adanya negosiasi inter-departemen untuk menindaklanjuti order babak kedua itu.
Surat itu kemudian dilanjutkan oleh Asisten Perencanaan Umum TNI, Mayjen Djoko Sumaryono, pada November 2003, kepada Dirjen Sarana Pertahanan Departemen Pertahanan. Isinya, agar proyek senilai US$ 35,2 juta itu (atau Rp 299,2 miliar) segera dibahas di tingkat inter-departemen. Proyek bisa jalan melenggang?
Kali ini banyak "hambatan". Departemen Keuangan, yang sudah mencium gelagat yang tak beres sejak proyek pertama, segera mengirim sinyal peringatan. Lewat Direktur Pembiayaan Luar Negeri, Edi Karsanto, Departemen Keuangan meminta agar proyek kedua dilakukan lebih hati-hati karena proyek pertama belum beres. Edi Karsanto ketika dihubungi membenarkan ia telah menyalakan lampu kuning. "Logikanya, kalau proyek sebelumnya tak beres, masa mau diteruskan proyek berikutnya," kata Edi.
Tak hanya Departemen Keuangan yang pasang kuda-kuda, Departemen Pertahanan juga tidak mau kebagian kritik untuk kesekian kali. Apalagi proyek heli babak pertama itu nyaris membuat para petinggi Pertahanan terkena getah. Dan apesnya, selagi semua proses ini berjalan, Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil, yang sakit sejak setahun lalu, tidak bisa dimintai bantuan oleh anak buahnya yang menjadi "sasaran tembak" DPR dan para petinggi TNI. Padahal, yang menunjuk Andy Kosasih adalah TNI Angkatan Darat.
Itu sebabnya sekarang Departemen Pertahanan lebih tegas. Dalam surat balasan kepada Panglima TNI, pada 31 Maret lalu, Departemen Pertahanan meminta penunjukan rekanan dan agen yang akan melaksanakan proyek babak kedua itu ditinjau kembali. Permintaan ini dibenarkan oleh Dirjen Rencana Pertahanan, Mayjen Aqlani Maza. "Repeat order tidak dilayani. Masalahnya, proyek 2002 saja belum selesai," ujarnya.
Penolakan Departemen Pertahanan itu, menurut sumber TEMPO, dilakukan dalam rapat di Departemen Pertahanan, Kamis pekan lalu. Ketika itu Dirjen Rencana Sistem Pertahanan, Mas Widjaja, meminta agar para wakil Angkatan Darat dan TNI yang hadir melaporkan kepada atasan mereka tentang sikap Departemen Pertahanan yang tidak akan melanjutkan proyek kedua. Sayang, ketika dikonfirmasi, Mas Widjaja tak bersedia berkomentar soal isi rapat di kantornya itu.
Toh order babak kedua ini sudah bocor ke telinga DPR. Djoko Susilo dari Fraksi Reformasi mengaku sudah mendengar adanya rencana proyek susulan ini. Sebagai salah satu anggota Komisi Anggaran DPR, Djoko sangat menyayangkan tidak transparannya penggunaan anggaran fasilitas kredit ekspor dalam kasus Mi-17. Ia mempertanyakan mengapa rekanan yang sudah mendapat nilai merah masih kebagian proyek lagi. "Kerugian negara akan semakin menumpuk jika repeat order disetujui," ujar Djoko, yang sejak awak mencuatnya kasus Mi-17 selalu bersuara lantang.
Sayang, Andy Kosasih, yang entah ada di mana, tak bisa dihubungi. Telepon genggamnya selalu bernada sibuk atau tidak diangkat ketika teleponnya dikontak. Sedangkan wakil dari TNI, Asisten Perencanaan Umum TNI yang baru, pengganti Djoko Sumaryono, Laksamana Madya Yuweni, membantah adanya pembahasan order lanjutan pembelian Mi-17. "Tidak ada pembahasan repeat order," tuturnya saat dicegat wartawan.
Mungkin pejabat baru ini ingin lebih tenang dan berhati-hati. Tapi, pekan depan agaknya "kebisingan" akan menderu dari ruang-ruang sidang DPRwalaupun helikopter angkut itu entah kapan akan sampai di Jakarta.
Edy Budiyarso
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo