ICUK terpontang-panting dan terengah-engah. Napasnya ngosngosan. Keringatnya mengucur deras. Tubuhnya yang hitam itu legam berkilat. Tapi wajahnya tersenyum puas. "Saya cocok dengan apa yang diterapkan Pak Tong. Dia tidak mengharuskan saya mengubah kebiasaan. Dia hanya menambah kecepatan saya mengejar bola," ujarnya bersemangat. Lius Pongoh juga tersengal-sengal. Sesekali ia meneguk air putih. Kaus putihnya yang basah kuyup digantinya. Telah dua kali 30 menit ia berlatih. Pertama, bertanding setengah jam melawan Eddy Kurniawan. Lalu setengah jam lagi dikeroyok dua oleh Eddy dan Tri Cahyo, seorang pemain Pelita Jaya. Tapi semangat yang tampak pada Icuk juga kelihatan di wajah Lius. "Di sini banyak latihan di dalam lapangan dan lebih disiplin," katanya. Pak Tong yang membuat mereka tersengal-sengal adalah Tong Sin Fu, alias Tang Xienhu, pelatih yang sejak Januari ini menangani 7 pemain tunggal putra di pelatnas bulu tangkis. Bekas pemain Indonesia yang hijrah ke RRC 27 tahun silam lalu menjadi jagoan bulu tangkis dunia ini kemudian dikenal sebagai pelatih andal yang ikut mengangkat para pemain Cina ke tingkat kelas dunia. Sejak September lalu ia kembali ke Indonesia dan melatih di Pelita Jaya, Jakarta. Pelatnas yang dilakukan PBSI sekarang ini memakai pola baru. Seorang pelatih kini tidak lagi menangani semua pemain secara borongan. Para pemain putra senior dipercayakan pada Tong. Rudy Hartono menggarap para pemain "peringkat kedua" seperti Alan Budi Kusuma dan Hermawan Susanto. Sedang Christian Hadinata melatih para pemain ganda seperti Liem Swie King dan Hadibowo. Gedung bulu tangkis Bakrie BrothersPLN di Rawabuaya, Jakarta Barat, menjadi tempat latihan pemain putra senior. Letaknya yang terpencil banyak dikeluhkan. Karena itu, mulai Februari depan para pemain akan tinggal di asrama Pelita Jaya di Rawabuaya juga. Icuk sendiri merencanakan akan mengontrak rumah di kawasan tersebut. Selain agar latihan lebih intensif, agaknya ada alasan lain. "Kalau semua program saya sudah berjalan, mungkin untuk menyetir mobil pulang ke rumah saja mereka tak kuat," kata Tong. Program latihan yang diberikan Tong cukup berat. Senin sore lalu, misalnya, setelah 10 menit melakukan pemanasan dengan bermain tali, Icuk dikeroyok dua pemain yunior Pelita yang ikut berlatih. Setelah 30 menit, baru Tong memberi aba-aba berhenti. Sepuluh menit beristirahat, Icuk disuruh berlatih lagi. Lagi-lagi ia dikeroyok dua pemain Pelita tadi. Ketika sebuah bola drive Icuk nyangkut di net, Tong berteriak, "Konsentrasi, Cuk." Ia lalu memperagakan bagaimana seharusnya memukul bola tadi. Icuk mengangguk dan terus melayani kocokan dua lawannya. Setelah istirahat 10 menit tanpa disuruh Icuk berlari-lari kecil untuk melemaskan ototnya. Tong kemudian menyuruhnya masuk lapangan dan bertanding melawan Eddy Kurniawan. Sementara itu Tong duduk di pinggir lapangan sembari mencatat. Sore itu Tong tidak menyusun dua meja kecil yang biasa dipakainya berdiri dan melancarkan smash pada Icuk. Untuk mengantisipasi pukulan loncat silang Yang Yang yang ditakuti itu? Atau agar bisa meladeni permainan cepat Zhao Jianhua? Soalnya, mereka mungkin akan bertemu dalam kejuaraan dunia di Beijing Mei depan. "Ah, jangan sebut-sebut itu. Saya hanya berusaha memperbaiki kelemahan Icuk," sahut Tong. Dengan memberondong smash pada Icuk, Tong tampaknya berusaha memperkukuh kekuatan Icuk sebagai pemain bertahan. Melawan pemain cepat seperti Yang Yang, Icuk memang selalu kewalahan. Selama 6 kali keduanya bertemu, tak sekali pun Icuk pernah menang. Tong, misalnya, menyuruh Icuk jangan menyilang bila melakukan netting. "Yang Yang sudah membaca pukulan silangmu. Coba angkat tinggi-tinggi kalau mau menyilang atau drop saja di depan net lurus. Kalau mungkin, kedut ke belakang," kata Tong. Selain itu, agaknya Tong juga ingin meningkatkan stamina, kelenturan, dan kecepatan gerak Icuk menutup lapangan, karena tidak mungkin Icuk bisa menandingi kecepatan Yang Yang. Ia tak ingin mengubah tipe permainan Icuk. "Sebenarnya yang saya lakukan ini tak ada yang baru. Saya hanya mengembalikan pemain pada tipe permainannya sendiri," ujar Tong. Metode Tong: sebulan atau dua bulan sebelum bertanding, ia memberikan latihan teknik dan fisik dengan perbandingan 50:50. Mendekati pertandingan, latihan teknis diperbanyak menjadi 60:40 atau 70:30. Jadwal latihan disusun untuk seminggu dan bervariasi. Adakalanya seorang pemain harus melakukan dropshot terus selama 15--20 menit. Atau terus melakukan lob, smash ataupun menerima smash. Ia juga menyuruh pemain berlatih lari memakai jaket yang diisi pemberat. Rencananya, Tong akan menyuruh pemain berlatih shadow badminton dengan sebagian badan terbenam di bak pasir, mirip orang berlatih kungfu. Bukan hal yang sangat baru memang. Sistem overloaded training seperti itu juga sudah dikenal di sini. Rudy Hartono saat ini juga menerapkan sistem itu terhadap anak-anak asuhannya. Tong Sin Fu mungkin memberikan berbagai variasi dan melakukan cara pendekatan baru secara pribadi, yang berkenan dihati para pemain. "Selama ini banyak pelatih yang memperlakukan saya seperti orang yang baru main bulu tangkis. Itu sebabnya saya sering tidak cocok. Kalau Pak Tong ini, saya kira, semua pemain cocok dengan dia," kata Icuk. Rudy Hartono berpendapat, meski sistem latihan Tong membawa harapan, sekarang masih terlalu pagi untuk berbicara tentang hasil yang akan dicapai. "Semua 'kan tergantung pemainnya. Dengan atau tanpa Tong, Icuk sudah menjadi juara. Masalahnya maukah dia menerima latihan yang diberikan dan membawa perbaikan pada prestasinya." Rudy mungkin benar. Salah satu ukuran keberhasilan seorang pelatih adalah bila ia berhasil memotivasi pemain untuk maju dan menunjukkan permainan terbaiknya. Ukuran lain sang pelatih, dibantu pengurus, harus bisa memanfaatkan semua unsur yang bisa meningkatkan kualitas pemain, termasuk penelitian ilmiah. Di bidang ini tampaknya kita belum berhasil. Susanto Pudjomartono, Laporan Toriq Hadad (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini