KRAMA Yudha juara lagi, dan Galatama mulai dicintai. Itulah gambaran yang ada di Stadion Utama Senayan Jakarta Minggu malam, 11 Januari lalu. Disaksikan Wapres Umar Wirahadikusumah dan sekitar 50.000 penonton, pertandinan grand final Galatama itu tampak hidup. "Para pemain sudah memberikan permainannya yang terbaik," kata beberapa pengamat sepak bola senada. Tontonan yang disuguhkan Krama Yudha lawan Pelita Jaya itu berkesudahan 1-1 (1--O). Tapi, dari 16 pertandingan yang diikuti 9 klub Galatama, Krama Yudha telah mengumpulkan nilai 35, unggul satu nilai dibanding Pelita Jaya yang 34. Sejak Galatama diperkenalkan, Maret 1979, pasang surut memang terjadi. Mulai dari skor bisa diatur, adu jotos karena wasit yang brengsek, lalu soal pemain asing, sampai pula soal manajemen kampung. Akibatnya, jumlah penonton turun drastis. Ada misalnya, pertandingan yang cuma ditonton ratusan orang. Tapi, sekarang, jumlah penonton mulai membaik lagi hingga mencapai 3.000-10.000 setiap pertandingan. Semaraknya pertandingan Galatama ini memang tak lepas dari munculnya klub baru Pelita Jaya, Jakarta. Hujan gol seperti 10--0, 14-0, seperti kompetisi yang sudah-sudah tak pernah ada. Jumlah gol terbanyak hanya tercipta pada putaran I periode ini, yaitu 5-1, yang terjadi pada pertandingan Krama Yudha lawan Semen Padang. Mundurnya mutu serta jumlah penonton memang terjadi lantaran berbagai sebab. Kadir Yusuf, pengamat sepak bola yang pernah duduk di Komisi Galatama, melihat titik tolak mundurnya Galatama lantaran tak diperbolehkannya klub-klub merekrut pemain asing. Padahal, pemain asing itu telah mengangkat citra. Tengoklah ketika Fandi Ahmad memperkuat Niac Mitra yang kemudian mengangkatnya jadi juara. "Kami bisa memasukkan Rp 30-40 juta sekali bertanding," kata Basri, manajer Niac. Dan setelah pemain asing itu lenyap? Mutu jadi melorot. Penonton pun sepi. Dihantam pula dengan dedikasi pemain yang rendah, yang hanya ingin senangnya sendiri, istilah Kadir Yusuf. Ini bisa terlihat dari kesebelasan Cahaya Kita yang tak pernah beres, yang akhirnya bubar. Dilanda suap, itu kata-kata yang tepat. Suap oleh sejumlah pemain Niac pada akhir 1986 pula yang membuat sakit hati Wenas, bos Niac Mitra Surabaya. Ia serasa ditohok oleh anak didiknya yang muda-muda itu. Sakit memang. Kesakitan yang membuat Basri sendiri tak ingin membicarakannya. Lalu, benarkah Niac mau bubar? "Itu tak benar," tutur Basri cepat. "Belum pernah terlontar bubar. Kami hanya libur panjang. Dan itu memang tradisi kami selesai kompetisi," ujar Basri lagi. Ibarat pelacuran yang sulit diberantas, kata Acub Zainal, Administratur Liga Sepak Bola Utama (Galatama), suap juga demikian. Tapi itu perlu ditindak tegas, kata Syarnubi Said. "Terutama tindakan dari dalam." Harapan Syarnubi pekan lalu dijawab PSSI dengan tegas: Tak ada ampun bagi mereka yang terlibat suap. Sebagai contoh, kata Nugraha Besoes, Sekretaris Umum PSSI, pemain-pemain Niac yang terlibat suap dikenai sanksi tak boleh bermain di klub mana pun selama 5-10 tahun. Terlepas dari soal suap, jadwal pertandingan yang mepet, dan sebab-sebab lain, "Kompetisi memang sudah mulai membaik dibanding periode sebelumnya," kata Herry Kiswanto, pemain andal Krama Yudha yang tak diturunkan pada grand final itu karena cedera. Tapi membaiknya penonton belum berarti membaiknya penerimaan klub-klub. "Rugi tak apa, asal tidak patah di tengah jalan," ujar Syarnubi. Di atas kertas, klub yang berada di bawah bendera Mitsubishi ini setiap tahun mengeluarkan biaya Rp 300 juta. Sedang pemasukan tak lebih dari sepertiganya. Artinya, ia rugi. Tapi ia belum terpikir untuk cari sponsor. Kerugian juga dialami klub lain, kecuali Pelita Jaya. Toh, patah di tengah jalan nyaris terjadi pada Krama Yudha sebelum klub ini jadi juara. Ini gara-gara ancaman Syarnubi bakal mundur dari kompetisi Galatama periode ini. Ia merasa ditikam karena penunjukan Pelita Jaya oleh PSSI mewakilinya bertanding di Hong Kong (TEMPO, 8 November 1986). Galatama pun geger karena beberapa klub secara finansial bakal dirugikan. Acub Zainal tak kalah gertak dan akan menjatuhkan sanksi terhadap Krama Yudha karena dianggap "pengkhianatan terhadap Liga". Tapi gertak itu cuma ramai di koran. Syarnubi dan Acub rujuk, tak ada yang merasa dirugikan. Memang, mengurus klub itu tak mudah. "Harus memikirkannya sebagai olah raga bisnis, dan hiburan. Gabungan ketiganya penting untuk bisa menarik penonton. Kalau tidak, pasti tak bisa jalan," tutur Aburizal Bakrie, pengusaha muda pemilik Pelita Jaya. Klub ini begitu tumbuh langsung merekrut beberapa pemain "jadi" seharga Rp 25 juta. Ia memang langsung menggebrak untuk segalanya. Tak kurang dari 21 perusahaan yang digaetnya jadi sponsor. Antara lain Indo Milk, Garuda Indonesia, dan Panin Bank. Total pemasukan sponsor per tahun sekitar Rp 350 juta. "Untuk pengeluaran rutin, setahunnya, paling hanya Rp 150 juta," kata Rahim Soekasah, manajer Pelita Jaya, yang pernah belajar manajemen di Jerman Barat. Gaya Eropa pula yang agaknya diterapkan di Pelita Jaya. Misalnya mengerahkan fans untuk menciptakan fanatisme klub. Lihat saja pertandingannya di Stadion Menteng beberapa waktu lalu. Menteng telah disulapnya jadi lautan kekuatan "biru" karena kostum yang disebarkan pada fans-nya. Dan tak hanya kaus, kartu fans pun disebar dengan gratis. Dan yang lebih menawan adalah adanya karcis berhadiah kulkas, kamera, sepeda mini, dan mesin cuci. "Kehadiran Pelita Jaya memang membuka mata bagaimana mengelola klub bola yang benar-benar menguntungkan," kata Andi Darusalam, pemilik Makassar Utama. Makassar Utama juga sudah mulai memanfaatkan sponsor Merpati Nusantara, berupa tiket. Membaiknya klub Galatama dan suksesnya Pelita apakah akan memunculkan klub baru? Masih belum terjawab. Tapi Acub Zainal berharap untuk kompetisi mendatang, idealnya ada 10-12 klub yang berlaga. "Agar kompetisi lebih menegangkan," katanya. Dan tambah bermutu, tentunya. Cuma, kalau benar mutu Galatama sudah meningkat, pertanyaan Syarnubi, "Kenapa belum terbentuk kesebelasan nasional yang tangguh?" Ya, mengapa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini