Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Berita Tempo Plus

Menanam di Birmingham, Menuai di Athena

Olimpiade Athena menyediakan tujuh medali emas untuk bulu tangkis. Sementara animo tepak-tepok kok kian besar, IBF ingin menggeser Asia.

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Menanam di Birmingham, Menuai di Athena
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

ALL England adalah turnamen bulu tangkis tertua di dunia. Tapi, sepanjang hayatnya, belum pernah sebelumnya turnamen itu semeriah yang kini berlangsung di Birmingham, 9-14 Maret. Dari jumlah pesertanya saja, All England 2004 unggul jauh: 48 negara peserta berbanding sekitar 40 negara di tahun-tahun sebelumnya. Dan tak kurang dari 350 atlet akan adu panjang napas di National Indoor Arena. "Kami bungah melihat besarnya jumlah peserta dan terutama sekali hadirnya negara-negara yang baru kali ini ambil bagian," kata ketua panitia lomba, Darren Parks.

Padahal total hadiahnya jauh di bawah beberapa kejuaraan lain yang mendahuluinya. Pada All England tahun ini, yang berakhir hari Minggu lalu di Birmingham, jumlah keseluruhan hadiah uangnya hanya US$ 125 ribu (sekitar Rp 1 miliar). Jauh lebih kecil dibanding Hong Kong Terbuka (US$ 250 ribu), Korea Terbuka (US$ 200 ribu), Denmark Terbuka (US$ 170 ribu), dan Indonesia Terbuka (US$ 160 ribu). Namun, gengsi turnamen yang pertama kali digelar 106 tahun silam (1898) ini memang jauh lebih mencorong.

Selain gengsi tinggi, ada hal lebih penting yang menjadi pertimbangan para atlet peserta. Turnamen ini merupakan kesempatan terakhir bagi pebulu-tangkis untuk mengumpulkan angka agar mendapat tempat di Olimpiade Athena, Agustus nanti. Federasi Bulu Tangkis Dunia (IBF) bakal memberi angka 420 bagi juara All England tahun ini. Dengan tujuh medali emas yang disediakan penyelenggara Olimpiade untuk bulu tangkis, wajar jika banyak negara tergiur menjajal peruntungan di ibu kota Yunani itu.

Darren Parks menyebut Estonia, Aljazair, dan Mongolia sebagai negara debutan di arena ini. Estonia mengirim dua wakilnya, sementara dua negara lainnya hanya mengutus masing-masing satu atlet. Di antara ketiga negara baru di peta bulu tangkis dunia itu, Estonia telah menempatkan beberapa atletnya dalam peringkat IBF.

Mengharap atlet Estonia ber-veni-vidi-vici (datang, lihat, menang) di kota tua itu memang masih terlalu pagi. Mereka umumnya belajar dari Denmark dan Inggris, tapi kajinya belum terlalu lancar. Pengalaman mereka juga baru seputar kompetisi di Eropa dengan total hadiah sekitar 2.000 euro (sekitar Rp 21 juta). Kati Tolmoff, yang bermain di tunggal putri, merupakan pemain Estonia peraih peringkat paling tinggi, yakni di posisi 73 dunia. Prestasi terbaiknya mencapai perempat final di kejuaraan dunia Islandia dan Hongaria, akhir tahun lalu.

Sedangkan di nomor tunggal putra, Estonia mengirim Kunka Gert. Atlet muda berusia 20 tahun ini diasah di Inggris. Ia tergabung dalam klub bulu tangkis tuan rumah, Great Orme Badminton Club. Ketertarikannya pada bulu tangkis diawali saat ia menempuh studi di Birmingham University. Dalam dua tahun terakhir, Kunka merajai tunggal putra kejuaraan yang diselenggarakan Asosiasi Olahraga Antar-Perguruan Tinggi di Inggris (BUSA). Bulan lalu, Kunka menjadi andalan tim nasional Estonia dalam kualifikasi Piala Thomas, meski akhirnya ia terhenti di babak penyisihan Eropa.

Para pemain dari tiga negara debutan di All England ini memang akhirnya terhenti di babak kualifikasi. Selain mereka, para atlet dari delapan negara lainnya juga bertumbangan sebelum mencapai babak utama. Maklum, mereka berasal dari negara-negara yang selama ini belum dikenal kiprahnya dalam hal tepak-tepok kok, seperti Nigeria, Afrika Selatan, Filipina, ataupun Slovakia.

Penampilan mereka dalam turnamen kali ini memang sebatas sebagai penggembira. Namun, kehadirannya menunjukkan makin merata dan kian populernya olahraga yang didominasi atlet-atlet Asia ini. Bukan tidak mungkin dalam beberapa tahun mendatang mereka akan berperan lebih besar dalam setiap kejuaraan.

Bayang-bayang ancaman juga bisa datang dari Jerman, yang melaju ke babak utama. Negeri yang lebih terkenal dengan sepak bolanya ini berhasil meloloskan atletnya di 21 nomor pertandingan. Kemudian, Inggris bermain di 23 nomor. Sedangkan Indonesia, yang pernah berjaya di ajang dunia ini, hanya turun di 20 nomor. Angka ini jauh di bawah pesaing utamanya: Korea Selatan (28), Denmark (29), dan Cina (33).

Dengan peta kekuatan seperti ini, IBF sendiri lagi berupaya meratakan prestasi. Dalam pertemuan tahunan seluruh anggotanya di Jakarta, Mei nanti, Federasi akan mengajukan proposal pembagian dana pembinaan sebesar US$ 1 juta. Uang itu berasal dari hasil penjualan hak siar televisi pada Olimpiade Athena nanti. "Dewan pengurus telah menyetujui usulan ini dalam pertemuan di Kuala Lumpur, Desember lalu," kata Presiden IBF, Korn Dabbaransi, di situs resmi IBF.

Rencananya, dana pembinaan itu akan dibagikan untuk konfederasi yang mewakili lima benua pada tahun depan. Nantinya, kawasan Asia dan Eropa akan mendapat jatah masing-masing US$ 250 ribu. Sedangkan Pan Amerika dan Afrika kebagian US$ 200 ribu dan US$ 150 ribu, dengan Oseania hanya memperoleh US$ 50 ribu. Sedangkan sisanya bakal digunakan untuk upaya konfederasi menggalang dana bagi kelanjutan pembinaan.

IBF juga akan mengubah sejumlah aturan buat mengurangi dominasi satu negara. Perubahan yang kini dilakukan berupa drawing pemain dalam setiap kejuaraan. Dalam aturan main baru ini, hanya dua pemain peringkat teratas dari satu negara saja yang dipisahkan. Sedangkan pengundian peringkat berikutnya tidak lagi memperhatikan asal negara.

Aturan ini sempat diprotes beberapa negara Asia yang merasa dirugikan. Mereka khawatir para pemain unggulannya akan saling bantai di babak awal. Namun, protes ini tidak digubris IBF. Menurut dewan pengurus federasi, persaingan pemain di babak penting akan meningkatkan daya tarik bagi siaran televisi secara global. Mereka yakin, hal itu akan mampu menyedot penonton dan sponsor yang lebih besar.

Namun, pelatih ganda putra tim Inggris, Rexy Mainaky, melihat pemerataan itu masih membutuhkan waktu lama untuk mencapai sasaran yang diinginkan. Sebab, dalam beberapa tahun mendatang, Cina masih bakal mendominasi berbagai turnamen dengan kekuatan pemain tua yang sudah dilapis pemain-pemain mudanya. Bahkan, dia melihat, dalam 13 tahun terakhir animo penonton All England, terutama untuk pertandingan nomor putri, semakin menurun. "Nomor-nomor ini bolak-balik dikuasai para pemain Cina," tuturnya membeli alasan.

Agung Rulianto (dari berbagai sumber)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus