Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Berita Tempo Plus

Dari Mana Dana Kampanye

15 Maret 2004 | 00.00 WIB

Dari Mana Dana Kampanye
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Kampanye sudah dimulai. Bendera ukuran kecil sampai besar sudah bertebaran di jalanan. Negeri ini bagai berlimpah sandang padahal ribuan anak-anak gelandangan kedinginan tanpa baju. Para politisi berkeliling ke daerah-daerah, naik pesawat atau carter pesawat, muncul di panggung-panggung yang dipancing artis ternama. Meski orang pada tahu sang politisi selama menjadi wakil rakyat hampir tak pernah bersidang, di panggung kampanye dia berteriak memberikan janji memperbaiki nasib rakyat kecil. Sebuah "komedi" yang jauh dari lucu.

Inilah, antara lain, yang membuat biaya kampanye menjadi begitu mahal. Rakyat berbondong-bondong datang menuju tempat kampanye, bukan karena kesadarannya sendiri tentang pentingnya mendengar program partai, tetapi karena mendapat uang saku Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Di arena kampanye, agar rakyat peserta kampanye tetap bersemangat, artis-artis populer dihadirkan. Seorang artis untuk sekali kampanye dibayar Rp 10 juta sampai Rp 20 juta. Kalau dengan cara kontrak, bayarannya jauh lebih mahal. Dan bila artisnya sedang populer, tarifnya luar biasa. Inul Daratista mulanya ditawar Rp 16 miliar untuk seluruh masa kampanye oleh sebuah partai politik. Inul menolak, lalu dikira penolakan itu karena masalah harga, Inul kemudian ditawar partai besar lainnya Rp 30 miliar. Mari kita geleng-geleng kepala.

Televisi menjadi media beriklan paling ampuh yang bisa menyihir jutaan pemirsa dalam sekejap. Dan iklan partai pun memenuhi tayangan pada prime time, yang harganya Rp 20 juta untuk sekali tayang dengan durasi 30 detik. Itu baru "ongkos tayang" dan belum termasuk "ongkos produksi" yang juga mahal, karena para artis membuat desain iklan sedemikian rupa sehingga rakyat terpesona dan lupa bahwa partai itu sesungguhnya tak berbuat apa-apa untuk rakyat.

Karena ini namanya kampanye, menjadi sah-sah saja segala daya upaya untuk mempengaruhi rakyat agar "berkenan" datang ke tempat pemungutan suara dalam pemilu nanti untuk mencoblos partai tersebut. Citra partai yang terpuruk bertahun-tahun, dalam tiga pekan ini disulap jadi bagus, dengan berbagai teknik dan akal, juga main akal-akalan. Yang jadi masalah, dari mana datangnya uang untuk kampanye yang triliunan rupiah itu. Apakah itu uang yang diperoleh secara sah sesuai dengan undang-undang?

Ternyata undang-undang yang ada sekarang ini masih belum cukup untuk mengatur aliran dana kampanye partai politik. Komisi Pemilihan Umum memang mewajibkan setiap partai politik menyerahkan rekening dana kampanyenya. Tapi partai politik menyerahkan rekening dengan sikap acuh tak acuh, hanya untuk formalitas. Lalu ada ketentuan sumbangan individu dan perusahaan dibatasi jumlahnya. Ini pun bukan perkara sulit untuk dipermainkan. Dana sumbangan untuk kampanye itu tak pernah masuk ke rekening partai dengan alasan diberikan oleh calon anggota legislatif untuk kepentingan kampanye di daerah-daerah. Bahkan ada simpatisan partai yang menyumbangkan pesawat Boeing untuk kampanye partai itu, bagaimana menghitungnya dalam rupiah?

Lihat saja posisi rekening partai yang sempat dipantau KPU sampai akhir pekan lalu. Partai Amanat Nasional sekitar Rp 8 juta, tak ada artinya dibandingkan dengan biaya mengecat pesawat khusus untuk kampanye partai itu. Partai Bulan Bintang mencatatkan Rp 872 juta pada saldo akhir mereka, mungkin itu benar. Seperti halnya Partai Keadilan Sejahtera, saldonya sekitar Rp 125 juta, barangkali betul. Partai lainnya? Tak ada saldonya. Termasuk PDI Perjuangan dan Partai Golkar, dua "raksasa" yang menguasai panggung kampanye putaran pertama ini.

Dengan tidak adanya undang-undang yang mengatur secara khusus dana kampanye, aliran uang untuk kampanye sama sekali tak bisa dikontrol. Triliunan rupiah dihabiskan, tetapi tak bisa dilacak dari mana uang itu datang, siapa yang memberikannya, dan untuk apa saja uang itu dipakai. Jangan-jangan uang itu dari "pencucian uang" yang dilakukan para koruptor, jangan-jangan sumbangan dari menteri anggota partai yang menjarah dari badan usaha milik negara, dan banyak lagi dugaan lain yang bisa masuk akal dan tidak masuk akal.

Ketiadaan undang-undang yang mengatur juga membuat kampanye tidak seimbang. Partai besar bisa melakukan apa saja dengan dana tak terbatas. Sebaliknya, partai kecil yang umumnya partai baru tak bisa berbuat apa-apa. Mereka keteter. Dalam waktu kampanye yang hanya tiga minggu, mereka tergilas oleh hiruk-pikuknya kampanye partai besar. Bagaimana partai baru ini bisa memperkenalkan dirinya ke tengah masyarakat?

Undang-undang yang khusus mengatur dana kampanye, yang terpisah dengan undang-undang mengenai teknik pemilu, sudah sepatutnya dibuat menjelang pemilu lima tahun lagi. Pengalaman sekarang ini bisa dijadikan masukan berharga. Transparansi dana itu akan sekaligus mendidik masyarakat bahwa pemilu ternyata mahal. Kalau biaya besar itu menghasilkan anggota legislatif yang malas, yang kerjanya hanya mengantuk di ruang sidang, betapa borosnya negeri ini. Maka kampanye sepatutnya dimanfaatkan sebagai ajang pendidikan politik orang ramai, bukan sebagai gelanggang untuk memamerkan kemampuan mengumpulkan massa.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus