Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TERIK mentari, deru mesin, dan kegembiraan. Sirkuit Sepang di Malaysia menyediakan semua itu dalam seri terakhir balap mobil Formula Satu (F1), dua pekan lalu. Sedikit kurang gereget, memang, karena juara dunia tahun ini telah disabet Michael Scumacher dalam seri sebelumnya di Jepang. Namun, sekitar 78 ribu orang toh masih tetap bertahan sampai lomba usai.
Lomba balap mobil paling bergengsi ini memang punya ”umat” yang fanatik. Penonton datang nyaris dari segala penjuru dunia. Misalnya Karri Niku, pria setengah baya kelahiran Finlandia, teknisi komputer yang kini tinggal di Melbourne, Australia. Ia datang khusus untuk mendukung pembalap kesayangannya, Mika ”The Flying Finn” Hakkinen. Sejak pagi, Niku, yang berkostum bendera Finlandia itu, sudah nongkrong di sirkuit. ”Saya datang sebagai warga Finlandia,” kata Niku.
Sementara itu, kelompok penonton Italia terlihat menyala dengan kostum dan wig merah mereka. Warna ini adalah trademark tim Ferrari, yang berasal dari negara mereka. Mereka mengaku datang khusus untuk tim berlambang kuda jingkrak ini, bukan untuk Scumacher sang pembalap. Sekalipun si pembalap Jerman yang bergaji US$ 54,4 juta untuk dua tahun itu telah berhasil memboyong gelar juara dunia bersama Ferrari, tifosi Italia kurang suka dengan Schumacher, yang dianggap congkak.
Tentu saja, penonton lokal pun ikut hadir menyemarakkan hari perlombaan. Atmosfer pun kian berwarna karena kehadiran mereka. Gadis-gadis berjilbab dengan kaus hijau toska pendukung tim Sauber Petronas berbaris hampir sepanjang satu kilometer dari pintu masuk hingga anjungan menara utama. Lucunya, gadis-gadis manis ini secara lugu menyebut tak tahu nama pembalap dari tim yang disponsori pemerintah mereka itu.
Berbeda dengan wanita penonton lokal, yang menutup rapat tubuhnya, puan-puan Indon—sebutan orang Malaysia untuk wanita Indonesia—yang datang menonton terlihat percaya diri dengan busana tank top yang memamerkan bahu dan pusar itu. Namun, tampaknya pilihan kostum ini salah tempat karena sengatan matahari cukup ganas. Donna, yang mengaku seorang model, tak habis mengeluhkan kulitnya yang gosong terbakar.
Apa pun keluhannya, terbukti balap mobil F1 adalah magnet yang ampuh. Tak sedikit uang yang harus dirogoh peminat demi melihat dan membeli atribut lomba F1 ini. Seorang penonton asal Indonesia, misalnya, paling tidak harus mengeluarkan Rp 12 juta-Rp 20 juta untuk paket tur Sepang. Bila ingin membeli buah tangan, sejumlah uang lagi harus dikeluarkan. Mahal? Tergantung. Ramli, penonton asal Jakarta, terbukti dengan enteng memborong kaus oblong berlisensi yang sebijinya Rp 625 ribu.
F1 memang sudah bukan lagi sekadar kebut-kebutan mobil. Ia telah menjelma jadi bisnis bernilai ratusan juta dolar. Sirkuit penyelenggara termasuk yang paling banyak terkena guyuran rezeki ini. Namun, untuk bisa menjala duit segunung ini, modal awal yang juga luar biasa besar harus dikeluarkan lebih dulu.
Tengok kasus Sepang, misalnya. Ide pembangunan datang langsung dari Perdana Menteri Mahathir Mohamad usai menonton perlombaan F1 di Portugal pada 1996. Mahathir melihat besarnya keuntungan yang bisa dipetik bila negaranya jadi tuan rumah F1. Tak tanggung-tanggung, ia pun memerintahkan pembangunan sirkuit berlisensi grade 1, yang jadi syarat utama. Selanjutnya, Sepang membeli kontrak selama tujuh tahun ke depan kepada Federation Internationale de l’Automobile (FIA). Nah, agar pengeluaran ini bukan sekadar gagah-gagahan, sebuah tim F1 pun dibentuk dengan dukungan Petronas—perusahaan minyak Malaysia—sehingga warga Malaysia juga ikut merasa memiliki. Lagi-lagi, duit puluhan juta dolar harus dikeluarkan. Tim sekelas Ferrari atau Mc Laren mengeluarkan dana sekitar US$ 200 juta per tahun.
Malaysia butuh tiga tahun untuk menyulap sebuah lahan seluas 260 hektare yang merupakan bekas perkebunan kelapa sawit menjadi sirkuit kelas satu. Biayanya? Untuk investasi awal, ”cuma” sekitar Rp 700 miliar. Selanjutnya, tahun ini untuk pembangunan tudung pelindung di tribun dikeluarkan lagi Rp 48 miliar. Namun, biaya ini terasa ”ringan” dengan dinobatkannya Sepang sebagai penyelenggara terbaik selama musim kompetisi tahun lalu.
Terlebih lagi, pemasukan yang didapatkan Sepang pun disebut sangat menggiurkan. Mahathir sendiri menyatakan, untuk tahun ini saja uang sekitar US$ 133 juta bisa dikeruk, sementara tahun lalu sekitar US$ 38 juta. Namun, menurut Azmi Murad, General Manager Sepang, uang sebanyak itu bukan melulu datang dari sirkuit, melainkan dari hotel, restoran, biro perjalanan, serta pajak. ”Kalau dari sirkuitnya sendiri, baru cukup untuk biaya operasional,” kata Azmi kepada TEMPO.
Untuk satu lomba, panitia di Sepang paling tidak harus mengeluarkan dana sekitar US$ 8 juta. Mujurnya, dana ini biasanya bisa tertutup lewat pemasukan iklan, sponsor, dan tayangan televisi. Keuntungan ini tak cuma dinikmati Sirkuit Sepang, tapi harus dibagi-bagi kepada FIA dan tim peserta. Misalnya dari tayangan televisi, dalam satu tahun ditangguk dana sebesar US$ 250 juta. Hampir separuh dari uang ini jatuh ke peserta, dengan persentase yang didasarkan prestasi tim itu tahun sebelumnya.
Sepang saat ini memang belum bisa menangguk keuntungan karena baru beroperasi dua kali. Namun, banjir uang besar terbayang pada tahun-tahun mendatang. Sebagai gambaran, sirkuit Merlbourne, yang sudah mapan, bisa mengeruk keuntungan sekitar US$ 53 juta tiap kali seri F1 digelar di sana.
Sayangnya, Sepang bukan tanpa cela. Di tengah putaran uang dengan jumlah gila-gilaan, ratusan orang yang bekerja di sana justru tidak digaji sama sekali. Ismaily, seorang petugas sekuriti, mengaku hanya dapat uang makan. Selain itu, kekurangan Sepang yang lain adalah lokasinya, yang terpisah 45 kilometer dari Kuala Lumpur. Dengan jarak yang lumayan jauh ini, tak ada angkutan resmi ke sana sehingga sopir taksi seenaknya melambungkan tarif. Sudah begitu, kendaraan ini tak bisa mendekat ke sirkuit karena akses terbatas. Akibatnya, alamak Pak Cik, kaki terpaksa harus diayun sejauh satu kilometer di jalanan berbukit.
Meskipun begitu, bila dibandingkan dengan saudara serumpunnya alias Indonesia, Malaysia jelas beberapa langkah di depan. Ketua KONI Wismoyo Arismunandar, yang juga datang ke Sepang, menyebut kemungkinan Sirkuit Sentul untuk jadi tuan rumah F1 masih jauh. Menurut Wismoyo, bisa-tidaknya bergantung pada kemauan pemerintah Indonesia.
Wismoyo, yang saat itu bertandang ke paddock tim Gauloise-Prost, mencontohkan kasus Ananda Mikola. Pembalap muda ini memang sedang dilamarkan untuk jadi test driver tim yang dipimpin mantan juara dunia Alain Prost. Posisi test driver ini cukup strategis. Bila satu dari dua pembalap utama tim cedera, besar kemungkinan test driver akan diberi kesempatan berlaga di F1. Bila tidak pun, dengan posisi ini, potensi pembalap untuk dilirik lebih besar ketimbang bila ia berlaga di formula yang lebih rendah kelasnya. Bila akhirnya test driver dikontrak untuk jadi pembalap utama, alamat jutaan dolar segera masuk kocek. Ananda sendiri yakin punya kemampuan untuk itu. Namun, untuk bisa diterima, US$ 5 juta harus disetor. Nah, uang sebanyak ini dari mana datangnya bila bukan dari sponsor asal Indonesia yang sudah mendapat ”imbauan” pemerintah?
Jika Ananda bisa diterima, dunia otomotif kita beroleh kemajuan berarti. Logis bila langkah selanjutnya yang terpikir adalah jadi tuan rumah F1. Bayangan citra baik dan keuntungan raksasa memang tak bisa dielakkan. Namun, di tengah krisis semacam ini, apakah pengeluaran dana sebesar itu bisa jadi prioritas?
Yusi A. Pareanom dan Endah W.S. (Sepang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo