Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMPURAN antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan aparat keamanan masih saja terjadi. Padahal, kesepakatan jeda kemanusiaan tahap II, yang berlaku hingga 2 Desember nanti, telah ditandatangani utusan GAM dan pemerintah Indonesia di Jenewa, Swiss, September lalu. Tampaknya, kendali kedua pihak di lapangan memang masih jauh dari memadai. Buktinya, Selasa pekan silam, konflik bersenjata meledak di Desa Cot Baroh, Cot Tunong, Simpang Raya, dan Tanoh Mirah. Keempat desa di wilayah Pidie ini dikenal sebagai sarang pasukan Aceh Merdeka.
Menurut saksi mata, baku tembak dimulai beberapa saat setelah sekitar 70 aparat gabungan TNI-Brimob memasuki kawasan Cot Baroh. Pasukan GAM setempat melakukan penyerangan dengan lontaran granat dan tembakan senjata api. Serangan itu langsung dibalas oleh satuan TNI-Brimob, yang baru berhasil menguasai medan setelah bertempur sekitar tiga jam.
Korban pun berjatuhan. Tiga anggota Brimob gugur akibat truk yang ditumpangi mereka terkena granat dan 11 penduduk tewas, termasuk seorang anak berumur 15 tahun dan seorang guru. Belakangan, dua korban dari kalangan penduduk itu diakui pihak GAM sebagai anggotanya.
Salah satunya bernama Tengku Yahya Wahab, yang selama ini dikenal sebagai penasihat utama Panglima Angkatan GAM, Tgk. Abdullah Syafi'ie. Menurut Abdullah Syafi'ie, kematian anak buahnya itu bukan lantaran GAM melakukan penyerangan. "Tidak ada kontak senjata, itu pembantaian dan upaya menghabiskan etnis Aceh," ujarnya. Masih versi Syafi'ie, aparat keamanan menangkap penduduk saat berada di warung kopi atau di rumahnya. Setelah itu ditembak dan mayatnya dibuang ke sungai dan sawah. Penjelasan ini bertolak belakang dengan kenyataan jatuhnya korban di pihak Brimob.
Kendati demikian, sebagian warga Cot Baroh yang ditemui TEMPO mengaku melihat sejumlah anggota Brimob mendatangi rumah dan menggeledah warung-warung kopi. Siapa pun, asal pria, dikumpulkan dan digelandang oleh polisi. "Kawan-kawan saya dikumpulkan kemudian ditembak, baru mayatnya dibuang ke beberapa tempat," ujar salah satu warga yang berhasil melarikan diri. Sampai Jumat pekan lalu, sebagian dari warga itu belum pulang ke rumahnya. \
Hasil investigasi Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) wilayah Aceh memperkuat pernyataan itu. Setelah dikumpulkan, warga ditembak dan tidak ada kontak senjata. "Ditinjau dari hukum perang, tindakan ini tidak bermoral," kata Aguswandi B.R., koordinator Kontras setempat.
Keterangan aktivis yang dikenal kritis terhadap pihak militer ini dibantah oleh Kapolres Pidie, Asisten Superintenden Heri Budi Ersanto. "Itu isu, tidak ada satu pun warga yang kami bawa lalu disiksa dan ditembak," ujarnya. Tewasnya warga sipil, menurut dia, terjadi secara tidak sengaja. "Barangkali saat terjadi kontak senjata, korban berada di tempat kejadian," ujar Heri. Juga tidak jelas, apakah mati karena peluru aparat atau pihak lain. Sebab, dalam operasi tersebut, polisi berhasil menyita granat, senjata api, dan puluhan amunisi milik anggota GAM.
Menurut Heri, ia dan pasukannya datang ke lokasi tersebut setelah mendapat laporan pihak GAM mengadakan sweeping dan membunuh aparat keamanan. Namun, saat pasukan yang dipimpinnya memasuki kawasan Cot Baroh, ternyata sudah dikepung dan langsung ditembaki. "Yang pertama kali melakukan penembakan, ya, Tengku Yahya itu," ujarnya. Sebelum tertembak, Yahya memang diburu polisi karena diduga terlibat dalam beberapa aksi penyerangan terhadap aparat keamanan.
Terlepas dari siapa yang benar, konflik bersenjata ini menjadikan usaha diplomasi damai dalam menyelesaikan kasus Aceh menjadi semakin sulit. Apalagi, hubungan kedua pihak sudah mulai merenggang semenjak polisi menuduh GAM terlibat dalam aksi pengeboman Bursa Efek Jakarta, bulan lalu.
Tidak hanya itu. Jatuhnya korban di kalangan masyarakat sipil juga semakin mempertebal rasa benci penduduk Aceh kepada pemerintah pusat. "Rakyat jadi berpikir, tidak ikut berjuang juga dibunuh dan disiksa, lebih baik sekalian perang," ujar sosiolog asal Universitas Syiah Kuala, Otto Syamsuddin Ishaq. Jika kondisi itu masih saja berlangsung terus, menurut Otto, bukan tidak mungkin perang lebih besar terjadi di Serambi Mekah itu.
Abdullah Syafi'ie tidak segarang Otto, tapi menyatakan pihaknya tidak akan tinggal diam. "Kami minta kepada pihak internasional untuk menghukum RI," ujarnya. Sebaliknya, pihak polisi justru menuding GAM sebagai penyebab terjadinya bentrokan tersebut.
Begitulah. Perang memang selalu menimbulkan korban. Dan kebenaran selalu menjadi korban yang pertama.
Johan Budi S.P., J. Kamal Farza (Pidie)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo