Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAYANGKAN ini: Anda mewajibkan anak-anak Anda menyantap makanan tertentu. Tapi, tanpa setahu Anda, pembantu di rumah menyunat uang belanja dan serampangan membeli makanan basi. Hasilnya? Anak-anak Anda menjadi korban, menyantap makanan wajib tapi beracun.
Tak ada analogi yang mungkin lebih menyesakkan dari itu ketika kita mendengar runyamnya kualitas buku-buku sekolah yang diterbitkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (dulu P&K) selama lima tahun terakhir.
Dibiayai senilai Rp 1,4 triliunsebagian besar dari pinjaman Bank Dunia, Departemen Pendidikan Nasional menggelar sebuah proyek yang semestinya mulia. Nama proyeknya mentereng: Proyek Pengembangan Buku dan Minat Baca. Dimulai pada 1995, sejak zaman Menteri Wardiman Djojonegoro, dan berakhir pada Oktober tahun ini. Proyek itu bertujuan menyediakan buku pelajaran wajib dan gratis untuk murid sekolah lanjutan pertama.
Pada kenyataannya, buku-buku yang dihasilkan memiliki berbagai kelemahan (lihat rubrik Investigasi). Lebih fatal lagi, buku-buku itu meliputi ilmu-ilmu penting: fisika, matematika, dan bahasa. Umumnya ahli pendidikan akan sependapat bahwa materi pelajaran itu merupakan landasan vital bagi perkembangan keilmuan anak-anak di masa mendatang, merupakan bekal mereka terpenting untuk belajar ke tingkat yang lebih tinggibaik untuk bidang sosial maupun eksakta.
Bahasa, misalnya, adalah alat terpenting untuk berkomunikasi, untuk menyerap ilmu dan mendialogkan sesuatu; untuk belajar. Matematika memberikan basis logika yang tak hanya dibutuhkan insinyur, tapi juga ilmuwan sosial.
Sayang, dengan buku-buku yang ada, pepatah lama dan luhur seperti "rajin belajar pangkal pandai" tidak lagi berlaku. Makin banyak mereka belajar, makin tinggi kemungkinan para siswa justru menjadi bodoh. Dan di situlah letak bahaya terbesar dari proyek yang dilakukan serampangan dan kolutif ini.
Ada 12 juta siswa sekolah menengah yang menjadi sasaran buku-buku itu. Sekolah dan guru yang peduli akan melihat kelemahan-kelemahan di situ, dan mengambil langkah "pengamanan"mereka menyediakan buku bacaan pembanding atau meminta orang tua murid membeli buku yang lebih baik.
Bahkan jika pun sekolah atau guru peduli, itu umumnya hanya berlaku di sekolah kaya di kota-kota besar. Bayangkan yang terjadi pada sekolah di pelosok, yang umumnya tidak diperkuat oleh guru yang berkualitas baik, meski kadang dedikasi mereka sangat mengagumkan. Mereka tak tahu ada yang keliru, dan mereka menyebarkan virus itu ke anak didik.
Apa sebenarnya yang telah terjadi? Penerbitan buku itu, dan dunia pendidikan kita pada umumnya, tak hanya berkualitas rendah, tapi juga menjadi ajang korupsi dan kolusi. Seperti proyek bangunan gedung atau jembatan, proyek yang ini pun sarat dengan permainan di tingkat tender, mark-up, dan kongkalikong. Masalah menjadi serius: gedung yang tidak bermutu hanya mungkin roboh, sementara buku tak bermutu merobohkan bangunan negeri ini secara jauh lebih merusak.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo