Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Agar Ojat Tetap Bertobat

Masa kontrak sekitar 40 ribu anggota Kamra berakhir Desember 2000 mendatang. Jasa mereka masih diperlukan, tapi soal pembiayaannya belum jelas.

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OJAT Sutisna punya nazar penting, dua tahun silam. Ia akan meninggalkan dunia hitam bila diterima menjadi anggota Keamanan Rakyat (Kamra). Alkisah, ketika itu nama Ojat di Kelurahan Sukabungah, Cibarengkok, Kabupaten Bandung, masih membuat bulu kuduk berdiri. Maklum, lelaki berusia 30-an ini adalah jawara di kawasan itu, dengan pangkat sebagai preman nomor wahid yang pekerjaannya maling, ngompas, mabuk, dan madon (bermain perempuan).

Tapi, itu dulu. Setelah diterima menjadi anggota Kamra, akhir 1998, dan ditempatkan di Kepolisian Resor (Polres) Bandung Barat, ia bertobat, memenuhi nazarnya. Ojat menjadi manusia yang berbeda. Penampilannya berubah dari dekil menjadi rapi, berseragam, bersepatu hitam mulus, dan dengan kopel keemasan yang berkilau-kilau tertimpa sinar matahari ketika apel pagi. Bekas preman yang bergelimpang di dunia hitam sejak remaja itu pun mengganti namanya menjadi Ojat Sutisna ketika memutuskan masuk Kamra. "Agar tidak dikenali," katanya. Bahkan, status bujangan pun ditanggalkannya dan kini ia sudah menjadi ayah dua orang anak, walaupun hanya menerima honor Rp 200 ribu sebulan.

Perubahan perilaku Ojat bisa jadi bukan kebaikan yang permanen. Masalahnya,kontraknya sebagai Kamra akan segera habis akhir Desember 2000 nanti. Sementara itu, belum ada kepastian tentang masa depan Kamra. "Kita tidak punya payung hukum untuk memperpanjang Kamra," kata Kepala Dinas Penerangan Kepolisian Republik Indonesia (Kadispen Polri), Brigadir Jenderal Saleh Saaf.

Landasan hukum Kamra adalah Undang-Undang No. 56/1999 tentang Rakyat Terlatih (Ratih). Dalam undang-undang itu juga diadopsi aturan main wajib militer di luar negeri dalam bentuk Wajib Militer (Wamil), dengan masa kontrak setahun, seperti halnya Kamra. Menurut undang-undang itu, kontrak Kamra hanya bisa diperpanjang selama satu periode, yaitu setahun. Artinya, masa kontrak sekitar 40 ribu Kamra di seluruh Indonesia mau tidak mau akan tuntas akhir tahun ini. "Kita akan mengembalikan ke Departemen Pertahanan untuk mencari solusinya," kata Saaf.

Solusi yang baik memang dibutuhkan segera. Dalam beberapa bulan terakhir, para anggota Kamra di berbagai daerah mulai gelisah mempertanyakan kepastian masa depan mereka. Berita-berita tentang demonstrasi anggota Kamra—baik itu untuk meminta kenaikan honor maupun mempertanyakan kelanjutan nasib mereka—tersebar di berbagai media massa. Meskipun akhir Desember masih dua bulan lagi, kabar baik tentang kelanjutan profesi mereka tetap menjadi harapan para anggota Kamra karena mereka juga ingin bisa merayakan Hari Raya Idul Fitri dan Natal dengan hati tenang. "Bisa ramai. Bayangkan, akan terjadi PHK (pemutusan hubungan kerja) massal ribuan orang di seluruh Indonesia," kata Anang, 26 tahun, anggota Kamra yang bertugas di Mapolresta Surabaya Selatan.

Apa yang dikatakan Anang masuk akal karena banyak anggota Kamra yang mulai menunjukkan sikap tidak berdisiplin. Menjual baju-baju seragam mereka adalah salah satu bentuk protes anggota Kamra. Baju-baju seragam mereka tampak bergelantungan di toko-toko loak Pasar Ciroyom dan Kosambi, Bandung, dan dijual dengan harga rata-rata Rp 50 ribu. Menurut cerita Rojak, seorang anggota Kamra di Bandung, teman-temannya mulai menjual baju sejak akhir 1999. Setelah menjual baju seragam, mereka kabur begitu saja, tidak kembali ke pos tugas.

Kamra yang melakukan "desersi" itu memiliki alasan yang beragam, antara lain karena mendapat pekerjaan lain yang lebih baik. Jumlah mereka yang mangkir ini cukup banyak. Menurut Brigjen Saaf, ada sekitar 30 persen dari 40 ribu anggota Kamra yang berstatus meninggalkan tugas. Dalam pengamatan TEMPO, tidak ada sanksi khusus yang ditimpakan pada anggota Kamra yang pergi begitu saja sebelum masa kontraknya berakhir.

Maklum, honor anggota Kamra sangat minim, hanya Rp 200 ribu sebulan alias masih di bawah upah minimum regional (UMR). Honor mereka naik menjadi Rp 250 ribu, September lalu, setelah para anggota Kamra di berbagai daerah berdemonstrasi.

Bahwa cukup banyak anggota Kamra tetap bertugas, itu menunjukkan sulitnya mencari pekerjaan dalam kondisi ekonomi saat ini. "Bagi kami, asal bisa bekerja dengan halal," kata Dani Nurachman, anggota Kamra di Polsek Keraton Yogyakarta, kepada L.N. Idayanie dari TEMPO.

Selain itu, pendapatan menjadi Kamra ternyata bukanlah yang paling rendah di bursa tenaga kerja. Alasan Anang menjadi Kamra adalah mencari pekerjaan yang lebih jelas dengan gaji yang lebih baik. Sebelumnya, Anang bekerja menjadi satpam di sebuah rumah makan dengan gaji Rp 180 ribu sebulan. Maka, kalau kontrak Anang sebagai Kamra tidak diperpanjang, ia terpaksa akan kembali menjadi satpam. Padahal, melalui Kamra, Anang sempat berharap meraih kesempatan menjadi anggota polisi yang sesungguhnya.

Harapan itu tumbuh karena romantika tugas pasukan Kamra sangat berwarna, tidak semonoton seragam mereka yang abu-abu kecokelatan. Mereka tak sekadar bertugas mengatur lalu-lintas, tetapi ada juga yang ikut patroli seperti Operasi Kilat Jaya, melakukan tugas administrasi polisi, bahkan membersihkan kamar mandi dan WC kantor polisi.

Anggota Kamra juga menghadapi risiko dihina orang dan bersitegang dengan "polisi cepek" ketika mereka harus mengatur lalu-lintas. "Paling jengkel kalau kami diolok-olok Pak Kampret, pelesetan dari Kamra," kata Anang, yang arek Suroboyo. Sedangkan anggota Kamra di Polres Tangerang sudah ditolak mengutang oleh warung-warung di sekitar markas karena tunggakan mereka yang sudah terlalu banyak.

Wajar jika ada cerita seorang Kamra dari Polsek Ciledug, Tangerang, mencuri pistol polisi untuk dijual. Di lain pihak, anggota Kamra yang nyaris mati karena ditugasi melerai tawuran massa di kawasan Matraman, Jakarta Pusat, dan yang meninggal saat ikut patroli di kawasan Aceh Utara juga mewarnai kisah mereka.

Begitulah ritme hidup anggota Kamra: pekerjaan beragam dan banyak, tapi honor minim. Pada awal masa kerja, honor selalu turun tepat waktu, tanggal 5 setiap bulannya. Namun, ketika para anggota Kamra memasuki masa kerja setahun, pembayaran honor tersendat-sendat. Masih untung kalau uang bisa turun setiap tanggal belasan. Tidak jarang dalam satu bulan anggota Kamra tidak memperoleh hak uang mereka sama sekali. Menurut beberapa anggota Kamra yang ditanya TEMPO, keterlambatan gaji itu disebabkan oleh lambannya otorisasi dari pusat.

Namun, di luar semua nestapa itu, ada juga yang bangga menjadi anggota Kamra. Alwi Hasan, anggota Kamra yang indekos di Markas Kepolisian Sektor (Mapolsek) Matraman, siap dengan seragam yang licin disetrika dan sepatu berkilap setiap subuh. Semua ritual itu dilakukan Alwi dengan penuh harapan, meskipun laki-laki asal Tegal itu sudah menganggur empat tahun selepas sekolah menengah tingkat atas. "Saya sedang menunggu hasil tes sekolah calon bintara," kata Alwi, yang merasa bahwa selangkah lagi dia bisa menjadi polisi.

Munculnya Kamra itu memang bermula dari ide mengatasi kurangnya personel polisi dengan pembentukan Ratih, yang digagas oleh Jenderal Purnawirawan Wiranto, Menteri Pertahanan Keamanan/Panglima ABRI waktu itu. Tapi, karena banyak mendapat tentangan dari masyarakat, Ratih berubah bentuk menjadi Kamra, yang tugasnya membantu polisi. Ide itu mendapat kata sepakat dari Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada sidang komisi awal Januari 1999. Pada saat itu disebutkan biaya Kamra berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 1999-2000, sebesar Rp 298 miliar. Rencananya, calon anggota Kamra dilatih dalam beberapa gelombang, selama Februari hingga April 1999.

Dalam kesepakatan itu, tugas Kamra tidak termasuk berhadapan dengan demonstran, walaupun mereka bisa dimanfaatkan untuk aksi pengamanan, seperti penjagaan sidang umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). "Kamra lebih diarahkan untuk membantu polisi dalam menangani masalah kriminalitas yang ada di masyarakat," kata Akbar Tandjung, Menteri Sekretaris Negara pada saat itu. Hal itu sesuai dengan pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat pada saat itu, Jenderal Subagyo H.S., "Pihak TNI hanya membentuk dan mendidik Kamra. Setelah itu, mereka diserahkan ke polisi".

Kini, setelah aksi demo dengan massa besar dan ancaman huru-hara menyurut, kebutuhan Kamra menciut. Ketatnya anggaran belanja pemerintah membuat penyediaan dana untuk membiayai Kamra terpinggirkan. Maka, semua instansi pemerintah yang semula terlibat dalam penyusunan satuan keamanan ini pun sibuk cuci tangan. Brigjen Saaf menyatakan, polisi akan menyerahkan urusan Kamra ke Departemen Pertahanan bila masa kontrak mereka usai. Sementara itu, Departemen Pertahanan belum punya program yang jelas untuk menampung mereka.

Yang bersedia menampung mereka bukannya tak ada. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, akan mengubah posisi Kamra menjadi pasukan Ketertiban Umum (Tibum). Tapi jumlahnya kecil, hanya 300 orang. Maka, bila solusi yang lebih baik tak dapat segera ditemukan, mungkin akan banyak "Ojat" yang terpaksa harus kembali ke dunia hitam lagi.

Bina Bektiati, Darmawan Sepriyossa, Upiek Supriyatun (Bandung), Jalil Hakim (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus