Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GEMURUH suara untuk memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid dari jabatannya semakin kencang terdengar belakangan ini. Tak hanya intensitasnya yang meninggi, melainkan basis sumber perlawanan politiknya pun meluas tak lagi terbatas pada aliansi Poros Tengah, melainkan melebar ke mana-mana, termasuk yang pada Agustus silam masih jadi pembela setianya dalam menghadapi ancaman sidang istimewa MPR.
Ini jelas kado ulang tahun yang menyedihkan bagi pemerintahan Abdurrahman pada saat merayakan hari jadinya yang pertama. Apalagi mengingat kemerosotan popularitas Presiden RI keempat ini lebih dikarenakan perilakunya sendiri ketimbang kepiawaian para lawan politiknya. Akibatnya, kepala negara yang terpilih secara demokratis dalam gelombang semangat reformasi yang menggunung itusehingga membuat begitu besar harapan rakyat yang tersampir di pundaknyakini seperti menjadi muara dari begitu banyak mata air kekecewaan.
Kekecewaan sebenarnya merupakan keniscayaan pascareformasi. Ibarat setelah meneguk minuman yang memabukkan, euforia reformasi selalu dilanjuti oleh depresi hang over. Menjatuhkan rezim lama adalah seperti menebang sebuah pohon besar: melahirkan rasa nikmat yang luar biasa ketika melihat pohon itu tumbang, tapi membutuhkan tenaga, waktu, dan kesabaran yang luar biasa untuk membersihkan akar-akarnya yang tertanam kuat di bawah permukaan. Jangan lupa: kelalaian dalam menjalankan tugas lanjutan yang melelahkan ini cuma akan memberi peluang bagi sang akar untuk menumbuhkan pohon yang baru tapi berjenis sama dengan pendahulunya.
Itu sebabnya, kepemimpinan era reformis membutuhkan kepiawaian dalam menjaga rasa sabar orang ramai, kemampuan untuk meyakinkan masyarakat agar berakit-rakit ke hulu sebelum berenang ke tepian, bersakit-sakit dahulu sebelum bersenang-senang kemudian.
Kemampuan seperti ini hanya lahir dari kepemimpinan yang mempunyai visi masa depan yang jelas dan komitmen kuat untuk melaksanakannya. Untuk yang pertama, soal visi, Abdurrahman Wahid sebenarnya punya modal yang memadai, tapisayangnyatabiat politik Gus Dur, panggilan akrab Abdurrahman Wahid, tidak menyiratkan komitmen yang tegas dalam tahap implementasinya. Ia bahkan sering terkesan plinplan.
Boleh jadi, perilaku zigzag Abdurrahman Wahid yang tersohor itu merupakan warisan kebiasaannya ketika menjadi tokoh oposisi di lingkungan rezim otoriter yang represif. Langkah-langkah politiknya yang selalu di luar dugaan memang merupakan aset berharga saat itu, sebagai strategi mengecoh lawan agar tetap survive menghadapi musuh yang jauh lebih kuat. Namun, penerapan jurus yang sama pada saat sekarang, ketika ia menjadi orang nomor satu di Republik ini, justru punya dampak sebaliknya; yang terkecoh adalah para pendukung.
Cobalah simak apa yang terjadi pada Amien Rais dan Poros Tengah yang mengusung Gus Dur ke kursi kepresidenan, tahun lalu. Juga pada Sjahrir, doktor ekonomi politik yang sampai Agustus lalu masih menjadi pembela Presiden Abdurrahman Wahid tapi pekan ini telah berbalik arah dan berada paling depan dalam jajaran penabuh genderang perang terhadap pemerintahan Gus Dur.
Semua gejala itu menunjukkan kelemahan Abdurrahman Wahid dalam menjaga kekompakan kelompok prodemokrasi dalam menggelindingkan roda reformasi. Tentu kelemahan ini tak dimonopoli Gus Dur. Kepentingan politik sesaat juga kerap membius Amien Rais, Megawati, dan tokoh reformis lain yang dulu bahu-membahu melawan rezim Soeharto. Buktinya, pertentangan di antara mereka umumnya bernuansa kental pada motif sentimen pribadi dan bukan pada keinginan untuk menjaga momentum reformasi agar tetap bergulir pada arah yang dicita-citakan.
Selain mereka, kalangan orang ramai puntermasuk mediamenanggung dosa kolektif dalam hal kelalaian memberdayakan diri menjadi lebih otonom. Soalnya, untuk menumbuhkan iklim demokrasi yang sehat, harus terbentuk pula democratic autonomy di masyarakat, sebuah fatwa yang menyatakan bahwa dalam masyarakat madani, tugas menjaga pemerintahan yang bersih dan berwibawa adalah kewajiban setiap individu (fardlu 'ain) dan tak dapat dititipkan hanya pada para pemimpin (fardlu kifayah), seperti berlaku di masa lalu.
Harus diakui, transformasi sistem politik emosional ke arah rasional seperti ini akan melemahkan karisma yang sekarang dimiliki Abdurrahman Wahid, Amien Rais, ataupun Megawati. Secara selintas hal ini berarti melemahkan kemampuan mereka dalam memenangi pergulatan dengan kelompok pro-status quo, yang ditengarai masih memiliki sumber daya material yang tinggi. Hanya, bila dicermati lebih lanjut, memanfaatkan kekuatan karisma pada akhirnya lebih banyak bahayanya ketimbang faedahnya. Sebab, hanya akan bermuara pada meningkatnya ketegangan masyarakat berdasarkan suku, agama, ras, ataupun kelompok primordial lainnya.
Satu-satunya manfaat kepemimpinan emosional yang ada saat ini adalah dalam menciptakan platform kebersamaan untuk membentuk kesepakatan aturan main baru yang kemudian dibakukan menjadi yuridis formal yang dipatuhi semua pihak. Bukan seperti sekarang, ketika kekuatan karismatik dipakai untuk kepentingan politik jangka pendek dengan dampak meningkatnya konflik emosional dan primordial di tataran akar rumput.
Meningkatnya ketegangan politik sekarang inimenyangkut perlu diganti atau tidaknya Presiden Abdurrahman Wahidakan membuat setiap tokoh politik bersiap-siap menggunakan seluruh kekuatan mereka, termasuk kepemimpinan karismatik. Bila ini terjadi, berarti bencana besar sedang menunggu di balik pintu.
Bencana tentu harus dihindarkan. Ini bisa dilakukan bila seluruh komponen prodemokrasi bersedia duduk berdialog dan berpikir rasional. Soal pergantian kepala negara bukanlah tabu tapi adalah perkara serius. Amerika Serikat saja, yang sudah dua abad lebih mempraktekkan sistem demokratis, tercatat hanya dua kali mengadakan proses resmi impeachment presidennya, dan tak ada satu pun yang berhasil.
Kalaupun proses pergantian presiden ini tetap akan dilakukan, sebaiknya tidak secara tambal sulam. Kenyataan bahwa para wakil rakyat yang berjuang menjadikan Abdurrahman Wahid menjadi presiden, tahun lalu, kini ingin menjatuhkannya, menunjukkan rendahnya kualitas para anggota MPR dan DPR. Karena itu, mengapa tak membenahinya sekalian: buat pemilu baru untuk memilih presiden secara langsung dan anggota DPR yang betul-betul mewakili aspirasi rakyat?
Soalnya, terus terang, kinerja anggota DPR sekarang ini hanya mencitrakan sosok-sosok yang memperjuangkan kepentingan partai atau dirinya. Mereka bahkan nyaris tak pernah bertatap muka dengan rakyat pemilih di wilayah masing-masing. Maka, wajar kalau mereka juga perlu diganti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo