Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DALAM ruangan itu waktu diharapkan tidak terlalu cepat berlari. Sepekan menjelang perhelatan akbar, intensitas kesibukan di kantor seluas sekitar 40 meter persegi, di gedung Medco, Jakarta Selatan, meningkat tajam. Di markas operasional Liga Primer Indonesia itu, Meiriyon Moeis sibuk menelepon. Direktur Utama PT Batavia Jakarta Footballindo itu tampak gelisah. ”Masih coba lobi stadion atau cari alternatif lain,” katanya, Selasa siang pekan lalu. Pengelola stadion sepak bola di area Brodjosoemantri, Kuningan, Jakarta, yang menjadi opsi pertama belum memberi izin sewa. Padahal jadwal tanding kandang (home) klub yang dikelola perusahaannya, Batavia Union FC, tinggal sepekan lagi.
Direktur Utama PT Pengelola Persebaya Liano Mahardhika serius mencermati layar komputer jinjingnya dan sesekali menelepon. Dia sedang memastikan proses kontrak pemain asing untuk berlaga di liga nanti. ”Ini tahun pertama, pasti berat karena transformasi,” katanya.
Wisma Jenggala, Jakarta Selatan, yang menjadi kediaman pengusaha Arifin Panigoro, juga digumuli kesibukan. Selasa petang pekan lalu, para penggagas Liga Primer membahas persiapan dan perkembangan mutakhir. Persiapan perhelatan liga yang dibuka di Stadion Manahan, Solo, Sabtu pekan lalu, sebagian besar memang sudah beres, termasuk soal perizinan. ”Kami tak ada alasan untuk tak mengizinkan penyelenggaraan LPI. Kami memutuskan mengizinkan,” kata Ketua Umum Badan Olahraga Profesional Indonesia Inspektur Jenderal (Purnawirawan) Gordon Mogot, Kamis pekan lalu.
Izin penyelenggaraan liga yang dianggap sebagai tandingan Liga Super Indonesia—kompetisi yang dinaungi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia—ini semula dianggap harus dikeluarkan PSSI. Namun keruwetan berakhir setelah diadakan pertemuan di kantor Kementerian Pemuda dan Olahraga yang berlangsung dari Rabu malam hingga Kamis dinihari pekan lalu, pertemuan itu membahas soal peraturan.
Menteri Andi Mallarangeng menyatakan yang berhak memberi izin penyelenggaraan olahraga profesional adalah Badan Olahraga Profesional Indonesia (BOPI), bukan PSSI. Badan tersebut dibentuk berdasarkan Peraturan Menteri tahun 2009. ”Soal sengketa ini, yang memiliki wewenang adalah BOPI,” kata Andi. Kepolisian pun, menurut Kepala Badan Intelijen dan Keamanan Markas Besar Kepolisian RI Komisaris Jenderal Wahyono, wajib memberikan pengamanan untuk acara yang masif.
PSSI memang telah melakukan beberapa cara agar Liga Primer urung bergulir, misalnya memperingatkan berbagai pihak, seperti pemain, wasit, agen, dan klub, sampai melaporkan Liga Primer ke polisi. ”Klub yang keluar dari Liga Super Indonesia akan terkena sanksi,” kata Sekretaris Jenderal PSSI Nugraha Besoes. Dalam penilaian PSSI, Liga Primer melanggar Undang-Undang Nomor 3 tentang Sistem Keolahragaan Nasional karena tidak ada kemitraan dengan organisasi formal yang ada.
General Manager PT Liga Primer Indonesia Arya Abhiseka pun mengeluhkan semua tentangan itu. Soal izin, misalnya, Selasa pagi pekan lalu, Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komjen Ito Sumardi memberi lampu hijau. Tapi sore harinya Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Polri Irjen Anton Bachrul Alam menegaskan kepolisian akan memberi izin setelah ada izin dari PSSI, sebagai organisasi induk sepak bola.
Liga Primer memang tidak bisa dilihat dari pelaksanaan pertandingannya saja. Wadah itu menjadi salah satu agenda reformasi persepakbolaan Indonesia yang menggelinding sejak akhir 2009, hingga terselenggara Kongres Sepak Bola Nasional di Malang, akhir Maret lalu. Salah satu rekomendasi kongres adalah penyelenggaraan kompetisi mandiri dan profesional selain pembenahan federasi dan pembinaan usia dini. ”Prinsipnya, jangan sampai sepak bola hanya menghabiskan anggaran negara, tapi prestasinya terus terpuruk,” kata Arifin Panigoro saat deklarasi Liga Primer di Semarang, Oktober tahun lalu.
Liga Primer pun dijalankan dengan pendekatan industri, bukan ala perserikatan dengan meminta sokongan dana pemerintah. Ada hitung-hitungan investasi, jualan, kalkulasi untung-rugi, pembagian keuntungan, saham, dan pertanggungjawaban keuangan. Penyelenggaraannya oleh konsorsium PT Liga Primer Indonesia dengan klub-klub di berbagai daerah sebagai anak perusahaan yang disuntik dana awal berkisar Rp 15-40 miliar.
Total dana yang disiapkan mencapai Rp 1 triliun. ”Hitungan balik modal sekitar tujuh tahun,” kata Arya. Pemasukan agar modal kembali bisa dari hak siar, tiket, merchandise, sponsor, dan transfer pemain. Hasil itu dibagi ke klub-klub dan pemegang saham. Untuk penyelenggaraannya sendiri, dari konsorsium hanya dialokasikan dana Rp 3-5 miliar. Selanjutnya, bila sudah berjalan, pelaksanaan liga menjadi tanggung jawab klub.
Mengenalkan konsep sepak bola dengan perhitungan bisnis tentu sulit. Para penggagas harus keliling daerah mendatangi pemangku kepentingan sepak bola setempat, seperti pemerintah daerah, pengurus PSSI, pengusaha, dan klub-klub. ”Datang ke satu klub bisa enam sampai tujuh kali untuk meyakinkan,” kata Arya. Awalnya 15 klub menyatakan akan turut serta, kini 19 klub positif ikut.
Surat pun sudah dilayangkan ke FIFA sebagai induk sepak bola internasional. Tapi pengakuan dari FIFA bergantung pada keputusan induk masing-masing negara. Jadi senyampang belum diterima PSSI, konsekuensinya pun sudah disadari, yakni tidak ada peluang bagi tim juara Liga Primer mewakili Indonesia dalam liga antarklub internasional. ”Itu opsi terburuk,” kata Arya.
Soal wasit asing dan pemain asing, sejauh ini klub-klub Liga Primer tidak mendapat hambatan legalitas. ”Seperti halnya perusahaan mengontrak konsultan asing saja,” kata Akmal Marhali, Direktur Utama PT Tangerang United Indonesia, yang menaungi klub Tangerang Wolves.
Klubnya menggaet lima pemain asing dari Brasil dan Korea Selatan, serta—ini yang dia banggakan—pelatih asal Brasil, Paulo Camargo. ”Dia yang menemukan Kaka,” katanya menyebut bintang sepak bola Brasil. Diharapkan Paulo menemukan ”Kaka-Kaka” di Tangerang. Tangerang Wolves pun menjajaki kerja sama sister club dengan klub sepak bola Sao Paulo, Brasil. ”Anak-anak kita akan ikut latihan di sana,” kata Akmal.
Terobosan memajukan sepak bola memang diharapkan terpicu oleh Liga Primer. ”Ini sebagai reaksi dari kemandekan,” kata pengamat sepak bola Indonesia, Tondo Widodo. Tidak hanya di Indonesia, terobosan semacam ini tercatat juga dalam sejarah negara-negara yang kini persepakbolaannya lebih maju, misal English Premier League (1992), Scottish Premier League (1998), dan Italian Serie A (2010).
Kompetisi ”tandingan” macam ini tidak dilarang FIFA. ”Mereka tidak masuk urusan internal negara,” Tondo menjelaskan. Legalitas pemain dan wasit asing pun lebih terkait dengan regulasi formal suatu negara soal perizinan tenaga kerja asing. ”Imigrasi, jaminan kedatangan, dan hak tinggal sementara,” ujarnya.
Mencermati negara lain, keberadaan Liga Primer mirip reformasi sepak bola di Australia yang bergulir pada 2002—terkenal dengan Australian Breakaway League dan Laporan Crawford. Pemicunya, kinerja Australia Soccer Association (ASA) buruk dan sarat korupsi. Presiden ASA Nick Greiner dinilai gagal selama 30 tahun membangun sepak bola Australia, dengan pemicu tak bisa lolos ke ajang Piala Dunia 2002.
Komunitas sepak bola Australia pun gerah dan mengirim surat rekomendasi pembenahan persepakbolaan dengan pendekatan modern dan profesional ke Senator Rod Kemp, Menteri Federal untuk Seni dan Olahraga Australia. Surat yang dijuluki Laporan Crawford itu dipublikasikan kementerian olahraga, selanjutnya digodok lagi oleh Soccer Independent Review Committee. Agenda selanjutnya pembenahan pengelolaan besar-besaran, kompetisi yang berkualitas, dan pembinaan mendasar. Hasilnya, industri sepak bola menggeliat dan tim Australia pun berlaga di Piala Dunia.
Harun Mahbub, Tito Sianipar, Yophiandi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo