Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam keriuhan komentar di Facebook dan Twitter seputar final Liga Champions, nama Mourinho kerap disebut. ”Pingin jadi Mourinho. Bisakah Mourinho dikloning? Persitara perlu Mourinho!” Demikian beberapa ”kicauan” dan ungkapan Ahad dua pekan lalu. Saat itu, komentar yang berkaitan dengan pertandingan final sungguh ramai, dari kegembiraan, kekecewaan, pujian, sampai analisis amatiran. Yang menyinggung Mourinho rata-rata positif.
Jose Mario dos Santos Felix Mourinho, 47 tahun, lebih dikenal sebagai Jose Mourinho, menjadi bintang di luar lapangan menyusul kemenangan tim asuhannya, Internazionale Milano (Inter Milan), atas Bayern Muenchen, Jerman, di laga final itu. Dengan kemenangan di Stadion Santiago Bernabeu itu, Inter Milan berhasil menjuarai Liga Champions setelah menunggu 45 tahun. Inter meraih gelar itu pada 1964 dan 1965, dan terakhir kali tampil di babak final pada 1972.
Kemenangan itu juga menambah poin Italia, sehingga tetap dapat mengirim empat klub ke Liga Champions musim selanjutnya. Nerazzurri—julukan Inter—pun meraih La Seconda Grande Inter (Kejayaan Inter Milan Jilid II) dengan treble winner: Liga Champions, Seri A, dan Coppa Italia.
Capaian Inter itu tak bisa lepas dari peran Mourinho. Dalam dua tahun dia berhasil mencetak Inter menjadi sebuah tim tangguh, dengan pertahanan gerendel catenaccio nan rapat berikut aksi serangan balik yang mematikan.
Mourinho pun menjadi pelatih ketiga yang berhasil mengantarkan dua klub berbeda menjuarai Liga Champions, setelah pelatih Austria, Ernst Happel, dan Ottmar Hitzfeld dari Jerman. Sebelumnya, Mourinho sukses membawa FC Porto dari Portugal menjuarai Liga Champions musim 2003/2004. ”Porto akan menjuarai Liga Champions,” janjinya saat dikontrak pada 2002. Dan dia langsung membawa Porto juara Liga Portugal pada 2003, juara Piala UEFA, dan juara Piala Super Portugal, sebelum puncaknya di Liga Champions.
Saat menangani Chelsea (2004/2005), sukses kembali diulangnya. Chelsea berhasil menjadi juara Liga Utama Inggris setelah masa penantian 50 tahun, yang dipertahankan musim berikutnya. Pada periode 2006/2007, di tengah cedera serius para pemainnya, Mourinho tetap berhasil mengantar Chelsea meraih gelar ganda sebagai juara Piala Carling dan Piala FA.
Atas catatan prestasinya itu, International Federation of Football History and Statistics memilih Mourinho sebagai manajer terbaik dunia dua periode sejak 2004. Mourinho mengimbangi mulut besarnya dengan deretan catatan prestasi. Semua itu buah dari kepiawaiannya mengasuh tim, baik di luar maupun di dalam lapangan.
Mari kita simak bagaimana aksi Mourinho menemani timnya melawan Barcelona pada babak semifinal Liga Champions di Stadion Camp Nou, kandang lawan. Sebelum pertandingan, Mourinho berjalan santai di tengah lapangan dengan kedua tangan di saku, seakan tak menganggap kehadiran seratus ribu pendukung Barca—sebutan Barcelona. Dampaknya luar biasa. Kepercayaan diri para pemainnya tersulut. Meski hanya bermain dengan sepuluh orang sejak menit ke-28, Inter kukuh, hanya kalah 0-1, sehingga lolos ke final karena unggul selisih gol.
Mourinho sangat memperhatikan faktor psikologis pemain selain taktik dan kemampuan teknis. Soal ini, Presiden Inter Massimo Moratti melihat sosok Helenio Herrera pada diri Mourinho. Herrera adalah pelatih asal Argentina saat Inter dipegang ayah Moratti, Angelo Moratti. Herrera mempersembahkan dua gelar Liga Champions, 1963/1964 dan 1964/1965. ”Saya yakin Mourinho memang sama dengan Herrera pada etosnya, kecermatannya pada detail, dan cara mempersiapkan tim.” Sebelumnya, selama 30 kali Inter ganti pelatih, belum ada satu pun yang dinilai menyamai Herrera.
Untuk mendongkrak mentalitas pemain itu juga, Mourinho mendobrak pola berlatih Inter selama satu abad, yang tidak pernah melakukan latihan pramusim di luar Italia. Dia membawa Inter ke Amerika untuk mengadakan serangkaian uji coba menjelang bergulirnya musim 2009/2010. ”Tak akan menjadi tim internasional kalau cuma berlatih di kampung sendiri,” katanya.
Masih berkaitan dengan faktor psikis, Mourinho tak jarang melancarkan perang urat saraf lewat pernyataannya yang kontroversial. Dia menjuluki dirinya sendiri ”The Special One” begitu mengasuh Chelsea. Mulutnya juga tajam jika mengomentari pertandingan. Mourinho terang-terangan menuduh wasit Anders Frisk terlalu memihak Barcelona, misalnya, pada sebuah pertandingan di Liga Champions hanya karena sang wasit berbicara kepada pelatih Barca, Frank Rijkaard, saat turun minum.
Banyak yang gerah dengan karakter Mourinho. Publik Barcelona menjulukinya El Diablo (sang Iblis). Ketua Wasit UEFA Volker Roth sempat menyebutnya musuh sepak bola. Mourinho bergeming.
Dari sisi teknis permainan, Mourinho dikenal sebagai pelatih pragmatis dan realistis. Kemenangan menjadi tujuan utama. Dia tak peduli pada permainan cantik. Ciri khasnya menerapkan catenaccio adalah menumpuk banyak pemain di kotak pertahanan dan melakukan serangan balik cepat saat lawan lengah. Gaya ini kerap disebut sepak bola negatif alias anti-football. Permainan pun berjalan membosankan.
Saat menundukkan Chelsea 1-0 pada laga kedua 16 besar, Inter bermain tak lebih baik dibanding lawannya. Ketika mengalahkan Chelsea 2-1 pada laga pertama, Inter bahkan kalah dalam hal penguasaan bola. ”Saya menganut paham sepak bola indah karena kami harus menghibur penonton. Sepak bola haruslah menyerang. Sedangkan Jose mencari kemenangan,” kata Louis van Gaal, Manajer Bayern Muenchen.
Mourinho tak menampik tudingan-tudingan itu. ”Dalam latihan, saya meminta minimal lima pemain berada di sekitar bola. Jadi, ketika kehilangan bola, kami tetap memiliki pertahanan yang baik,” katanya. Dia juga mengambil sistem permainan taktis ala Van Gaal untuk kepentingan bertahan. Mourinho pernah menjadi asisten Van Gaal saat mengasuh Barcelona B. Dari sisi teknis permainan, Mourinho juga dikenal sangat terperinci mempelajari kekuatan dan kelemahan lawan, kemudian menyiapkan tim untuk mengalahkannya.
Kecerdikan Mourinho itu tak lepas dari latar belakangnya yang lekat dengan dunia sepak bola. Dia memang tak pernah menjadi pemain profesional, tapi sepak bola sudah akrab dengannya sejak dia kecil. Ayahnya, Felix, mantan kiper nasional Portugal yang kemudian menjadi pelatih. Salah seorang pamannya kontraktor yang membangun Stadion Vitoria de Setubal. Dia meraih gelar sarjana dalam bidang ilmu olahraga dengan tesis mengenai metodologi persepakbolaan.
Mourinho mengawali karier sebagai pelatih junior Vitoria de Setubal, dan menjadi penerjemah pelatih asal Inggris, Bobby Robson, yang menangani Sporting Lisbon. Mourinho menjadi asisten Robson ketika pindah ke Porto dan Barcelona, dan dia tetap dipertahankan di Barca setelah datang Louis Van Gaal. Sesudah itu, Mourinho melanjutkan karier dengan melatih Benfica, berlanjut ke Porto, Chelsea, sampai Inter.
Selepas sukses dengan Inter, seperti ramai digunjingkan pekan-pekan ini, Mourinho segera bersiap pindah ke Real Madrid. Belum apa-apa, dia sudah menunjukkan karakternya dengan meminta kewenangan menentukan pemain. ”Harus diserahkan kepada kalangan profesional, seperti pelatih, asisten pelatih, dan para pemain sendiri,” kata Mourinho kepada media Spanyol. Dia juga berambisi mengantar Real Madrid menjuarai Liga Champions. Jika itu terwujud, Mourinho bakal mencetak hat trick, mengantarkan tiga klub merajai Liga Champions.
Harun Mahbub, Andy Marhaendra
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo