Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

<font face=arial size=1 color=brown><B>Patung</B></font><BR />Jejak Patung Bali di Tangan Darlun

Seniman patung I Wayan Darlun memamerkan karya-karyanya. Dia terus memperpanjang napas tradisi seni patung Bali hingga kini.

31 Mei 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tubuh-tubuh yang meliuk, menggambarkan gairah dan intensitas. Juga kemesraan dan kasih sayang—meski acap kali memunculkan kesan jenaka. Aneka wujud itu adalah hasil dari upaya menangkap keragaman gerak untuk dibekukan menjadi karya yang merupakan pengubahan bentuk hingga ke titik paling ekstrem.

Begitulah kesan yang tertangkap dari deretan karya seniman patung I Wayan Darlun, yang dipamerkan di Museum Puri Lukisan Ubud, Bali, hingga 18 Juli. Deformasi atawa perubahan bentuk yang ekstrem bertebaran di sejumlah karya Darlun, antara lain Menari Kecak (2006), Sleeping Ganesha in 7 Positions (2006), Men Brayut (2007), dan Ni Bawang. ”Karya itu menunjukkan keterampilan tingkat tinggi yang dimiliki pematungnya,” kata pengamat seni dan kolektor Oei Hong Djien, seperti tertulis dalam katalog.

Menurut Hong Djien, deformasi—yang sudah ada sejak zaman primitif—merupakan elemen penting dalam karya patung tradisional Bali. Deformasi membuat bentuk lebih indah, menarik, dan kaya. ”Deformasi adalah sisi kuat karya Wayan Darlun,” ujarnya.

Modal lain yang juga ampuh adalah ekspresi. Jika kedua elemen disatukan, hasilnya berupa patung yang sangat estetis dan penuh rasa. Ini bisa disimak dalam karya Darlun bertajuk I Ketut Mario—Kebyar Duduk. Karya ini mengabadikan maestro penari Bali I Ketut Mario, pencipta tari Gebyar Duduk yang menandai revolusi tari di Pulau Dewata. Ciri estetika Bali, yakni keluwesan dan kehalusan yang digabungkan dengan unsur dinamis, sepenuhnya terwakili dalam karya Darlun bertahun 2008 itu.

Sifat ekspresif karya-karya Darlun bisa disimak, misalnya, pada Sepasang Kekasih (2009). Karya ini menggambarkan kemesraan yang intens. Darlun memperlihatkan dua tubuh laki-laki dan perempuan yang menyatu dan terepresentasi sebagai dua sisi dari patungnya. Begitupun dengan dua wajah pasangan itu. ”Ini simbolisasi hubungan laki-laki dan perempuan yang ideal,” kata Darlun.

Yang tak kalah menarik, kepiawaian Darlun menjadikan patungnya berbentuk elongated, serba memanjang. Patung-patungnya tampak elok karena deformasi dan ekspresi nan halus tapi intens, seperti dalam Balanglangtang dan Sakuntala (2008). Dan yang paling menonjol dari bentuk itu adalah Dewi Sita dan Jatayu (2006).

Perubahan bentuk itu bisa terjadi karena memang sebuah keharusan. Bahan dasar patung adalah akar kayu atau dahan yang bentuknya tak menentu. Si pemahat lalu berusaha menggabungkannya dengan pesan yang ingin dia sampaikan. ”Dari situ saya mengkompromikan ide dengan kondisi kayu,” kata Darlun.

Biasanya, sebelum mulai melangkah, Darlun membuat sket lebih dulu, untuk panduan. ”Tapi bisa saja di tengah jalan tiba-tiba idenya berubah mengikuti perubahan bentuk kayu,” ujar pematung kelahiran Banjar Juga, Desa Mas, Ubud, 30 Desember 1947, ini.

Dengan proses kreatif seperti itulah Darlun telah melangkah jauh dalam perkembangan seni patung tradisional Bali. Napas sebagai pemahat berembus sejak ia lahir, karena orang tuanya, selain petani, pematung di kampungnya, Desa Mas, yang dikenal sebagai desa pematung tradisional di Pulau Dewata.

Menginjak usia delapan tahun, Darlun sudah mulai memegang pahat dan menorehkan bentuk di kayu seperti binatang dan dedaunan. Karya pertamanya patung burung setinggi 1,2 meter terjual Rp 1,5 (saat itu harga beras sekitar 5 sen per liter). Kemiskinan membuatnya hanya mampu bersekolah hingga kelas empat sekolah rakyat. Dia harus bertahan hidup dengan menjadi buruh pematung di pelbagai tempat.

Waktu bergulir. Perjalanan nasib kemudian mengantarkan Darlun kepada Ida Bagus Tilem (1936-1994), putra Ida Bagus Nyana, salah satu maestro patung Bali di era Pita Maha. Pada 1960-an, Tilem membuka galeri. Selain untuk memajang karya-karyanya, galeri itu berfungsi sebagai tempat belajar para pematung muda Desa Mas.

Sebagaimana seniman patung tradisional Bali setelah Pita Maha, Darlun juga tak hanya membuat patung tokoh yang berkaitan dengan agama (Hindu) dan cerita rakyat Bali. Di samping beberapa kali menciptakan patung dewi ilmu dan seni, Saraswati, atau tokoh wayang seperti Shinta dan Kresna, cerita rakyat Ni Bawang dan kisah Brayut, Darlun menciptakan patung dari kehidupan sehari-hari: penari yang tengah berdandan, figur bersantai, dan sebagainya.

Dalam hal gaya, Darlun menyuguhkan komposisi dinamis dan tak lagi ornamental. Ukiran pada permukaan patung hanya dia buat bilamana perlu. Selebihnya adalah permukaan yang halus, yang menjadi cirinya. Inilah ”pembaruan” yang dilakukan Ida Bagus Nyana (1912-1985) dan diteruskan anaknya, Ida Bagus Tilem.

Meski menjadikan patung sebagai alat mencari nafkah, Darlun tetap menjadikan kepuasan pribadi sebagai pegangannya. ”Saya tidak pernah melayani pesanan patung,” ujar Darlun.

l l l

Sebenarnya, tradisi mematung—sebagaimana melukis—di Bali memiliki akar yang kuat di masa silam. Ini erat kaitannya dengan agama yang dianut penduduk Bali: Hindu. Mematung merupakan seni tradisi turun-temurun.

Baru setelah kedatangan beberapa seniman Eropa, seperti Walter Spies dan Rudolph Bonnet, terjadi perubahan. Aktivitas kesenian bukan hanya dipakai untuk keagamaan, melainkan juga sebagai cendera mata serta barang hiasan dan koleksi. Perlahan-lahan, perkembangan seni patung tradisional Bali pun boleh dibilang cukup mencemaskan—dalam konteks kualitas dan keunikannya.

Pengamat seni patung Bali, Wayan Windia, menilai terdapat perbedaan besar antara seniman era 1930 hingga 1980 dan pematung sekarang. Pada masa yang disebut sebagai era sekolah menengah kejuruan itu—karena kebanyakan pematung lahir dari sekolah—yang muncul adalah karya instan sekadar memenuhi ruang industri kerajinan. ”Sulit menemukan orang seperti Pak Darlun, yang mencintai seni lebih dari segalanya,” katanya.

Seniman di era Darlun muda, tutur Windia, memiliki karakter yang dalam bahasa Bali disebut duweg dan seleg. Duweg artinya cerdas dalam menuangkan ide, sedangkan seleg gigih dengan ciri khas dan kualitas. Bila dibandingkan dengan era sekarang, ketika sebagian besar seniman dihasilkan oleh sekolah kejuruan, yang kurang dari mereka adalah sisi seleg-nya. ”Mereka tidak tekun menggali identitas sehingga tidak lagi memiliki taksu atau kedalaman jiwa.”

Hong Djien melihat ancaman perkembangan seni patung tradisional Bali dari sisi yang lain. Ia khawatir seni patung yang berkualitas akan hilang karena terdesak oleh seni rupa yang lebih universal. Penyebabnya, bahan kayu untuk membuat patung makin susah diperoleh. Pohon-pohon tak dipelihara, malah ditebangi untuk perkembangan kota, industri, atau daerah wisata. Padahal bahan kayu untuk membuat patung bukanlah bahan sintetis yang bisa diproduksi pabrik atau didaur ulang. ”Macam-macam kayu mempunyai macam-macam sifat pula, mempunyai keunikannya sendiri.”

Lalu seniman muda sekarang juga lebih suka berselancar di Internet demi mendapatkan inspirasi dari luar ketimbang menjelajahi kepulauan untuk menggali kebudayaan sendiri. ”Saya khawatir, nanti justru seniman luar yang akan berdatangan mendahului seniman kita, sebagaimana dulu Picasso mengolah seni patung Afrika,” kata Hong Djien.

Begitulah. Beruntung, saat ini Bali masih ”menyisakan” Wayan Darlun. Di tangannya, patung tradisional Bali masih bisa terus melangkah dan terjaga eksistensinya hingga kini. Darlunlah yang terus intens memberikan napas pada tradisi itu.

Nurdin Kalim, Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus