Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kematian seni lukis terjadi tanpa upacara pemakaman pada 1980-an, masa ketika kematian lukisan sebagai teori lahir dan didiskusikan. Lukisan di kanvas atau dalam bingkai (easel painting) secara khusus ditolak para pelukis Uni Soviet karena dianggap tak punya tempat di masyarakat sosialis. Para pelukis mural Meksiko juga mengecamnya sebagai antirevolusi.
Sebagian pelukis akhirnya memilih bentuk abstrak dan bahkan mendorongnya hingga ke titik ekstrem: minimalis, dengan warna-warna monokrom dan bidang geometris abstrak. Pelukis Amerika Serikat, Ad Reinhardt, membuat lukisan yang semuanya hitam; dia menyebutnya ”lukisan-lukisan terakhir yang dibuat orang”. Robert Ryman, tokoh minimalis lain, memilih ”tanpa warna” lewat lukisan-lukisan putihnya, yang hanya mengandalkan berbagai jenis pigmen cat putih. Dalam perkembangan berikutnya, banyak perupa menyeberang ke medium lain, seperti fotografi, video, instalasi, performance, dan seni di jaringan (web).
Tapi apakah proklamasi kematian ini benar-benar akhir dari kehidupan lukisan? Apakah semua kemungkinan dari lukisan memang sudah ditunjukkan, seperti keluhan John Stuart Mill, filsuf Inggris abad ke-19, tentang musik? Dalam sebuah pasase terkenalnya di Autobiography, Mill menyatakan dia sangat menderita dengan pemikiran tentang habisnya semua kombinasi nada.
Gede Mahendra Yasa menolaknya. Seniman kelahiran Singaraja, Bali, berusia 43 tahun yang sempat mencicipi pendidikan di Institut Seni Indonesia Denpasar ini berpendapat, lukisan masih berpeluang luas untuk hidup. Dan dia ingin membuktikannya. ”Seni lukis dinyatakan sudah berakhir. Tapi, di balai lelang dan kolektor, lukisan toh tetap jadi primadona,” katanya seusai diskusi bersama kurator Enin Supriyanto dan Bambang Sugiharto, guru besar filsafat di Universitas Parahyangan, yang membahas karya-karya mutakhirnya dalam pameran As the Face No Longer Bespeaks the Soul, Sabtu dua pekan lalu.
Pameran yang dikurasi Enin di SIGIarts Gallery, Jakarta, itu memajang 15 dari 35 lukisan Mahendra. Semua karyanya menampilkan potret dirinya dalam berbagai bentuk dan pose. Ada yang polos, ada yang belepotan cat, dan ada pula yang memakai topeng.
Lukisan-lukisan yang digarapnya selama setahun itu berukuran besar. Yang terbesar, Face Paint #2, seukuran 4 x 3 meter. Semuanya tampil sangat sempurna dan hidup, setara dengan fotografi. Kedalaman, bayangan, dan pencahayaannya dapat menipu mata penikmat, yang mengira sedang menonton foto yang diperbesar. Hanya dengan mendekatinya dan mengamati rincian warna dan garisnya orang akan tahu bahwa itu hanyalah lukisan.
Mahendra menuturkan pembuatan lukisannya dimulai dengan memoles mukanya dengan cat akrilik berbagai warna. Asistennya kemudian memotretnya. Potret itu kemudian diperbesar dan dicetak di atas kertas. Berdasarkan potret itu, Mahendra lalu melukis di atas kanvas dengan cat minyak impor merek Lukas dan Winsor & Newton. ”Saya memilih cat minyak karena warnanya lebih kaya daripada akrilik,” katanya.
Dalam beberapa lukisan dia menggunakan proyeksi warna yang disorot ke wajahnya, yang kemudian diangkat ke lukisan, seperti dalam Projection: Paint. Cara lain dengan mencoret topeng yang dia kenakan dan memindahkan potret atas topeng itu ke kanvas, seperti dalam Colorful Mask. Dengan teknik fotorealisme, lukisannya dibikin semirip mungkin dengan foto, meski tidak murni. ”Saya menambahkan dan mengubah di sana-sini sepanjang saya anggap perlu,” katanya.
Di sini ia menerapkan prinsip dasar seni lukis: cahaya, bayangan, ilusi perspektif, volume, warna, dan lainnya. Tema, teknik, dan genre dalam lukisan dia perlakukan sebagai unsur belaka yang dapat dipermainkan sekehendaknya. Tapi wujudnya tetaplah lukisan dua dimensi yang datar dan halus tanpa tekstur.
Dalam Watercolor on Paper, misalkan, lukisannya benar-benar seperti lukisan cat air, padahal semua bahannya adalah cat minyak.
Mahendra juga menyingkirkan masalah ”jiwa tampak”, yang dulu ditekankan oleh pelukis S. Sudjojono untuk mengukur pencapaian ”mutu kesenian”-nya, dan berfokus pada masalah teknis seni lukis. ”Mahendra Yasa beranggapan bahwa hal itu sepenuhnya soal teknis dan optis belaka,” kata Enin.
Tapi benarkah tak ada jiwa di situ? Bambang Sugiharto menampiknya, karena toh yang melukis adalah manusia. Bila Mahendra tak menggubris tema, kita tetap berhak menafsirkannya dengan, misalkan, mengira sang pelukis adalah pendukung kesebelasan Prancis di Piala Dunia mendatang karena lukisan Face Painting menggunakan warna merah, biru, dan putih.
Mahendra juga menghidupkan kembali beberapa efek terkenal dalam seni lukis, seperti efek Droste. Efek ini adalah jenis lukisan khusus yang menampilkan sebuah gambar yang memuat gambar itu sendiri dalam ukuran lebih kecil, yang di dalam gambar kecil itu juga ada gambar dirinya yang lebih kecil lagi, dan seterusnya secara tak terhingga. Penggunaan efek ini dapat kita lihat pada gambar sampul album Pink Floyd, Ummagumma, dan efek seribu bayangan di cermin pada wahana Lorong Sesat di Dunia Fantasi, Ancol.
Mahendra menerapkan efek ini pada Droste Effect dan The Making of White Acrylic Paint on Face, keduanya tak dipamerkan di galeri. Pada Droste Effect, ia melukis gambar dirinya mengenakan topeng belepotan cat di bagian belakang kepalanya sedang menggoreskan kuas di kanvas besar bergambar mukanya yang bertopeng dan belepotan cat, sambil memegang foto dirinya yang memakai topeng belepotan cat.
Bagi Bambang Sugiharto, lukisan semacam itu merupakan simulacra berlapis-lapis. Simulacra adalah istilah dalam wacana pascamodernisme untuk menyebut citra-citra tiruan yang tidak merujuk pada realitas nyata, tapi pada mata rantai citra-citra lain. ”Ada berlapis-lapis simulacra di situ. Permainan imajinasi ini saya sebut hypersimulacra,” katanya.
Dengan meniru fotografi, Mahendra sadar ini sebenarnya sebuah paradoks. Dia meniru fotografi sekaligus mengklaim kembali otoritas lukisan. ”Tapi saya tidak ingin mengalahkan fotografi. Saya hanya ingin menempatkan keduanya sebagai medium yang setara, sehingga seni lukis pun berhak hidup,” katanya.
Bagi Mahendra, ini adalah proyek untuk menghidupkan kembali seni lukis, yang beberapa dekade belakangan banyak ditinggalkan perupa. Proyek ini telah menempuh jalan panjang. Dia merunut kembali sejarah yang sudah ditempuh seni lukis abstrak hingga ke titik nadirnya dengan belajar dari para eksponen abstrak ekspresionisme di Amerika Serikat, seperti Jackson Pollock dan Willem de Kooning, yang terkenal dengan metode action painting, mengandalkan insting dan melukis langsung di kanvas. Mahendra melukis seperti mereka dan menghasilkan sejumlah karya yang pernah dipamerkannya dalam Hendra Membaca Pollock di Surabaya pada 2007 dan Hendra’s Woman: Reframing De Kooning di Jakarta pada 2009. Dia juga menempuh jalan Robert Ryman dan menghasilkan lukisan-lukisan putih yang dipamerkannya di Kuala Lumpur dalam pameran White Series: Allegory of Painting, pada 2008.
Seni lukis pernah dianggap mati dan Mahendra ingin membangkitkannya. Berhasilkah? Mahendra mengaku tak tahu, tapi menegaskan bahwa dia akan tetap setia di jalur seni lukis.
Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo