TAK ada tanda-tanda Lala akan pergi begitu cepat. Gadis cilik tujuh tahun yang cerdas, berpipi montok, dan selalu ceria ini kelas II SD. Di siang itu ia tengah memberikan butiran jagung untuk ayam kesayangannya. Namun, ya, Tuhan. Seorang pria bertubuh kurus tiba-tiba muncul, dan mengayunkan sabitnya beberapa kali. Lala, yang nama lengkapnya Karolina Novita, menjerit. Ia terluka, roboh, dan kemudian mati. Siang itu, 28 April lalu, kompleks Gereja Persekutuan Doa Penyebaran Injil, di Jalan Soedirman, Ponorogo, Jawa Timur, pun geger. Si pembunuh bukan orang jauh. Dia adalah Abraham Uli, 35, calon pendeta yang sedang magang di gereja itu. Dan drama belum berakhir. Abraham kini memburu Hendri, ayah Lala, yang menjadi pendeta di gereja tersebut, dan menusuknya sampai terluka. Hendri lari, dan Abraham mengejar. Di tangan Abraham sudah tergenggam kelewang. Hendri, yang urung sembunyi di sebuah toko, terus lari dan akhirnya ambruk. Darahnya terlalu banyak keluar. Di saat itu Alraham muncul. Kelewangnya terayun, dan . . . Tuhan Mahatahu. Sebelum ujung kelewang menyentuh tubuh Hendri, polisi yang tadi dilapori muncul. Abraham urung membacok, dan berlari menuju toko Pendawa - tak berapa jauh dari kompleks gereja. Dia baru mau menyerah, menurut Kapolres Ponorogo Letkol R. Basoeki, setelah tubuhnya merasai timah panas. Berakhirlah drama siang hari itu. Hendri, dan juga Abraham, kini masih dirawat di rumah sakit. Sedang Lala - oh, Lala dikuburkan dua hari kemudian dalam suasana penuh haru. Teman-temannya dari SD Mangkujayan I, dan belasan pendeta yang melayat, menangis dalam duka yang dalam. Mengapa engkau, Abraham? "Saya kalap," katanya saat ditemui Jalil Hakim dari TEMPO di Rumah Sakit Dr. Soedono, Madiun, dengan tangan terborgol. Ia dalam status tahanan. Pria kehitaman asal Timor Timur dan pernah lama di Irian Jaya itu ditempatkan di Ponorogo sejak Januari lalu. Ia adalah siswa Sekolah Seminari Al-Kitab, Majalengka (Jawa Barat), yang sedang menjalani praktek kerja lapangan. Di kompleks gereja milik Djunaidi - kakek Lala - yang cukup luas ini, ia menempati sebuah ruangan. Terhadap Lala ia sudah seperti keponakan sendiri. "Dengan yang lain pun, ia selama ini baik," kata Djunaidi. Tapi Abraham sendiri memang punya perasaan lain. Selama ini ia merasa jengkel karena sering dituduh mencuri, dan selalu saja masa lalunya yang hitam diungkit-ungkit. Diakuinya, dulu ia memang jahat. Mencuri, homoseks, menzinahi istri orang, dan sebangsanya pernah dia lakukan, saat lontang-lantung di Irian Jaya. "Dosa saya selangit dan sebumi banyaknya," katanya. Ia kemudian sadar. Atas saran seorang teman, ia kembali ke jalan Tuhan dan menjadi siswa Sekolah Seminari di Majalengka, Juli tahun lalu. Enam bulan kemudian ia berkesempatan magang pendeta. Di Gereja Persekutuan yang dikelola Djunaidi, ia bertugas membantu Pendeta Hendri. Baik dalam melayani jemaat maupun tugas-tugas lain untuk kelancaran kegiatan gereja. Belakangan, menurut Djunaidi, Abraham berubah menjadi malas. Tapi Djunaidi menyangkal seolah sering menjelek-jelekkan atau mengungkit masa lalu Abraham. Djunaidi malah menduga, ada pihak yang menghasut calon penggembala jemaat itu. Sebab, beberapa waktu lalu, ada sekelompok jemaat Gereja Persekutuan itu yang menuding pengelolanya tidak beres dan khotbahnya menyesatkan. Abraham, katanya, mungkin terpengaruh hingga perangainya berbalik. Tapi Eka Andreas, pendeta dari Majalengka yang untuk sementara menggantikan Hendri, menyatakan pernah ada laporan buruk tentang Abraham saat berpraktek lapangan. Dari mana laporan itu, ia enggan menyebutkan. Karena laporan itu, Sekolah Seminari lalu mengeluarkan surat keputusan yang intinya memecat Abraham sebagai siswa. Abraham belum menerima surat tersebut, yang memang baru dikeluarkan sehari sebelum kejadian. Tapi mengapa Lala yang harus jadi korban? "Waktu itu saya kalut sekali. Jadi, siapa saja yang saya jumpai harus saya habisi. Ah, saya telah membuat dosa baru," ujarnya. Tentunya pengadilan nanti yang akan memutuskan kadar hukumannya. Adapun tentang dosa itu, itu urusan Yang Di Atas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini