Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mencari Payung Di Indonesia

Sidang tahunan IBF di Jakarta akan mambicarakan masalah WBF sebagai badan tandingan. Sementara ada gagasan membentuk badan tertinggi bulu tangkis yang memayungi IBF dan WBF. (or)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TAK mudah meramalkan apa yang bakal terjadi dengan sidang tahunan IBF (Federasi Bulutangkis Internasional) di Jakarta. Soal WBF (Federasi Bulutangkis Dunia) yang lahir 25 Pebruari 1978 di Hongkong pasti menjadi topik pembicaraannya. Badan tandingan ini tak mungkin diremehkannya lagi. Tak kurang dari 26 negara yang berafiliasi pada Federasi Bulutangkis Afrika dan Federasi Bulutangkis Asia serempak mendukung badan baru ini. Perpecahan itu bermula pada soal politik yang menyangkut keanggotaan Taiwan dan kemudian pemboikotan terhadap Afrika Selatan yang rasialis. Banyak anggota IBF tadinya ingin menggantikan Taiwan dengan RRC. Tidak sedikit pula yang mendukung gerakan pemboikotan terhadap Afrika Selatan. Tapi semua itu gagal hanya karena sistim pemungutan suara. Misalnya, menurut ketentuan IBF, saat ini Indonesia berhak memiliki 3 suara. Satu untuk keanggotaan, 1 untuk yang pernah ikut dalam kompetisi bulutangkis internasional, dan 1 lagi untuk yang memiliki minimal 10.000 pemain aktif. Sebaliknya, mereka yang kemudian mendirikan WBF menuntut supaya dalam sidang tahunan IBF berlaku "1 negara 1 suara." Tuntutan mereka ditolak, dan terjadi perpecahan. "Bayangkan kalau 1 negara 1 suara," komentar Ketua Bidang Luar Negeri PBSI, Suharso ketika itu. "Indonesia, misalnya, disamakan dengan Bangladesh." Posisi Indonesia, tuan rumah sidang tahunan IBF 1979, serba menentukan tapi juga serba sulit. Seandainya Indonesia bergabung dengan WBF, kemungkinan besar akan diikuti Malaysia, Jepang dan India -- semua itu sekarang masih setia pada IBF. Dan praktis hilanglah dominasi IBF di kawasan Asia. Keduanya -- IBF maupun WBF -- mendekati Indonesia untuk mencari kompromi. Tapi usul kompromi masih tanda-tanya. Sidang IBF 1978 di Auckland, Selandia Baru, menyoroti eksistensi WBF dengan sikap menungu apa yang dapat terjadi sampai dengan sidang tahunannya di Jakarta akhir Mei ini. Pimpinan IBF di satu pihak mengundang pimpinan WBF berbincang-bincang tentang sebab-musabab perpecahan. Tapi di lain pihak sidang Auckland itu memutuskan untuk melarang setiap anggotanya bertanding dengan "mereka yang bukan anggota IBF." Untuk Asian Games 1978 dan Commonwealth Games 1978, IBF mau memberi dispensasi khusus. Indonesia tidak dapat menyetujui "haluan keras" itu. Indonesia menghendaki "garis lunak" selama setahun. "Adanya dua badan bulutangkis dunia sudah menjadi kenyataan," kata Ketua Umum PBSI Sudirman."Sekalipun Taiwan berhasil didepak IBF keluar, toh WBF tak akan bubar. Masalahnya bukan menyangkut pertentangan RRC-Taiwan saja, tapi juga mengenai pandangan kebanyakan negara Asia bahwa sistim hak suara yang berlaku sekarang memungkinkan grup negara yang berbahasa Inggeris untuk memegang kekuasaan di IBF." Sudirman menyarankan agar IBF dan WBF ini berbaik-baik saja. "Biarlah masing-masing menempuh jalannya sendiri, tanpa konfrontasi. Perbedaan pendapat yang ada jangan sampai diperuncing," kata Sudirman. Berusaha menciptakan iklim yang teduh buat kedua pihak rujuk kembali. Sudirman bersama Suharso Suhandinata yang juga eksekutif PBSI berangkat ke Hongkong April lalu untuk menjumpai Henry Fok, Ketua Kehormatan WBF. Fok sehari-hari terkenal sebagai pengusaha real estate dan Ketua Persatuan Sepakbola Hongkong. Ia amat dekat dengan RRC dan Thailand, keduanya penopang utama WBF. MISSI Sudirman ke Hongkong itu memang belum menelorkan sesuatu yang konkrit. Namun Fok akan mengusahakan kehadiran beberapa tokoh WBF untuk bertemu dalam suasana tidak formil dengan pihak IBF yang datang ke Jakarta untuk turnamen Piala Thomas dan sidang tahunan. Antara lain diduga datang Chumpol Lohachala, Ketua ABC (Konfederasi Bulutangkis Asia) dari Thailand. Kemungkinan besar Fok mengajak Chu Tse, Ketua Persatuan Bulutangkis RRC ke Indonesia. Perundingan informil itu direncanakan 27 Mei di Bandung -- di Hotel Panghegar atau Hotel Istana. Sementara itu Ketua IBF, Stellan Mohlin dalam perjalanan dari Swedia ke Indonesia terlebih dulu mampir di Bangkok. Di sana Mohlin akan menemui Dawee Chulasapya, Ketua WBE, juga Henry Fok dan Chu Tse serta tokoh WBF lainnya seperti Teh Gin Sooi (Malaysia) dan Lee Kin Tat (Singapura). Jadi, sewaktu babak final perebutan Piala Thomas berlangsung di Istora Senayan kesibukan di luar gelanggang tak kurang menarik pula. Sampai hari ini orang lebih mudah meramalkan hasil turnamen tersebut daripada menerka apa yang dihasilkan oleh pertemuan para tokoh IBF-WBF itu. Buat sementara terdapat gagasan badan baru yang "memayungi" IBF dan WBF. Ini boleh disebut sebagai "Badat Tertinggi Bulutangkis" atau Supreme Body of Badminton. Di situ ada dewan yang terdiri dari wakil-wakil IBF maupun WBF. Bernaung di bawah "payung" itu, IBF mungkin akan diberi wewenang menangani bulutangkis Eropa, Amerika Utara dan Amerika Latin, sedang, WBF akan menitik-beratkan kegiatannya di kawasan Afrika dan Asia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus