TAK mudah meramalkan apa yang bakal terjadi dengan sidang
tahunan IBF (Federasi Bulutangkis Internasional) di Jakarta.
Soal WBF (Federasi Bulutangkis Dunia) yang lahir 25 Pebruari
1978 di Hongkong pasti menjadi topik pembicaraannya. Badan
tandingan ini tak mungkin diremehkannya lagi. Tak kurang dari 26
negara yang berafiliasi pada Federasi Bulutangkis Afrika dan
Federasi Bulutangkis Asia serempak mendukung badan baru ini.
Perpecahan itu bermula pada soal politik yang menyangkut
keanggotaan Taiwan dan kemudian pemboikotan terhadap Afrika
Selatan yang rasialis. Banyak anggota IBF tadinya ingin
menggantikan Taiwan dengan RRC. Tidak sedikit pula yang
mendukung gerakan pemboikotan terhadap Afrika Selatan. Tapi
semua itu gagal hanya karena sistim pemungutan suara. Misalnya,
menurut ketentuan IBF, saat ini Indonesia berhak memiliki 3
suara. Satu untuk keanggotaan, 1 untuk yang pernah ikut dalam
kompetisi bulutangkis internasional, dan 1 lagi untuk yang
memiliki minimal 10.000 pemain aktif. Sebaliknya, mereka yang
kemudian mendirikan WBF menuntut supaya dalam sidang tahunan IBF
berlaku "1 negara 1 suara." Tuntutan mereka ditolak, dan terjadi
perpecahan. "Bayangkan kalau 1 negara 1 suara," komentar Ketua
Bidang Luar Negeri PBSI, Suharso ketika itu. "Indonesia,
misalnya, disamakan dengan Bangladesh."
Posisi Indonesia, tuan rumah sidang tahunan IBF 1979, serba
menentukan tapi juga serba sulit. Seandainya Indonesia bergabung
dengan WBF, kemungkinan besar akan diikuti Malaysia, Jepang dan
India -- semua itu sekarang masih setia pada IBF. Dan praktis
hilanglah dominasi IBF di kawasan Asia.
Keduanya -- IBF maupun WBF -- mendekati Indonesia untuk mencari
kompromi. Tapi usul kompromi masih tanda-tanya. Sidang IBF 1978
di Auckland, Selandia Baru, menyoroti eksistensi WBF dengan
sikap menungu apa yang dapat terjadi sampai dengan sidang
tahunannya di Jakarta akhir Mei ini.
Pimpinan IBF di satu pihak mengundang pimpinan WBF
berbincang-bincang tentang sebab-musabab perpecahan. Tapi di
lain pihak sidang Auckland itu memutuskan untuk melarang setiap
anggotanya bertanding dengan "mereka yang bukan anggota IBF."
Untuk Asian Games 1978 dan Commonwealth Games 1978, IBF mau
memberi dispensasi khusus. Indonesia tidak dapat menyetujui
"haluan keras" itu. Indonesia menghendaki "garis lunak" selama
setahun.
"Adanya dua badan bulutangkis dunia sudah menjadi kenyataan,"
kata Ketua Umum PBSI Sudirman."Sekalipun Taiwan berhasil didepak
IBF keluar, toh WBF tak akan bubar. Masalahnya bukan menyangkut
pertentangan RRC-Taiwan saja, tapi juga mengenai pandangan
kebanyakan negara Asia bahwa sistim hak suara yang berlaku
sekarang memungkinkan grup negara yang berbahasa Inggeris untuk
memegang kekuasaan di IBF."
Sudirman menyarankan agar IBF dan WBF ini berbaik-baik saja.
"Biarlah masing-masing menempuh jalannya sendiri, tanpa
konfrontasi. Perbedaan pendapat yang ada jangan sampai
diperuncing," kata Sudirman.
Berusaha menciptakan iklim yang teduh buat kedua pihak rujuk
kembali. Sudirman bersama Suharso Suhandinata yang juga
eksekutif PBSI berangkat ke Hongkong April lalu untuk menjumpai
Henry Fok, Ketua Kehormatan WBF. Fok sehari-hari terkenal
sebagai pengusaha real estate dan Ketua Persatuan Sepakbola
Hongkong. Ia amat dekat dengan RRC dan Thailand, keduanya
penopang utama WBF.
MISSI Sudirman ke Hongkong itu memang belum menelorkan sesuatu
yang konkrit. Namun Fok akan mengusahakan kehadiran beberapa
tokoh WBF untuk bertemu dalam suasana tidak formil dengan
pihak IBF yang datang ke Jakarta untuk turnamen Piala Thomas
dan sidang tahunan. Antara lain diduga datang Chumpol Lohachala,
Ketua ABC (Konfederasi Bulutangkis Asia) dari Thailand.
Kemungkinan besar Fok mengajak Chu Tse, Ketua Persatuan
Bulutangkis RRC ke Indonesia. Perundingan informil itu
direncanakan 27 Mei di Bandung -- di Hotel Panghegar atau Hotel
Istana.
Sementara itu Ketua IBF, Stellan Mohlin dalam perjalanan dari
Swedia ke Indonesia terlebih dulu mampir di Bangkok. Di sana
Mohlin akan menemui Dawee Chulasapya, Ketua WBE, juga Henry Fok
dan Chu Tse serta tokoh WBF lainnya seperti Teh Gin Sooi
(Malaysia) dan Lee Kin Tat (Singapura).
Jadi, sewaktu babak final perebutan Piala Thomas berlangsung di
Istora Senayan kesibukan di luar gelanggang tak kurang menarik
pula. Sampai hari ini orang lebih mudah meramalkan hasil
turnamen tersebut daripada menerka apa yang dihasilkan oleh
pertemuan para tokoh IBF-WBF itu.
Buat sementara terdapat gagasan badan baru yang "memayungi" IBF
dan WBF. Ini boleh disebut sebagai "Badat Tertinggi Bulutangkis"
atau Supreme Body of Badminton. Di situ ada dewan yang terdiri
dari wakil-wakil IBF maupun WBF. Bernaung di bawah "payung" itu,
IBF mungkin akan diberi wewenang menangani bulutangkis Eropa,
Amerika Utara dan Amerika Latin, sedang, WBF akan
menitik-beratkan kegiatannya di kawasan Afrika dan Asia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini