Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Dharsan Dengan Harimau Jawa

Rencana menteri negara PPLH Emil Salim menutup dua perkebunan di daerah suaka margasatwa Meru Betiri, Jawa Timur untuk dijadikan Taman Nasional diprotes penduduk perkebunan ke DPR-RI. (dh)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DPR-RI kedatangan tamu lagi sekelompok karyawan perkebunan dari Jawa Timur. Dalam peristiwa awal pekan lalu itu yang diadukan bukan Lurah atau PNP, tapi langsung Pemerintah Pusat sendiri. Haji Samawi yang katanya membawa mandat 5000 penduduk perkebunan PT Bande Alit (Kabupaten Jember) dan PT Sukamade Baru (Banyuwangi), memprotes rencana pemerintah untuk menutup kedua perkebunan itu. Rencana itu memang sudah diumumkan Menteri Negara PPLH Emil Salim pertengahan September 1978. Alasan waktu itu kedua perkebunan itu terletak dalam wilayah suaka margasatwa Meru Betiri yang dalam Pelita III ini akan dijadikan Taman Nasional untuk melindungi harimau Jawa yang masih tersisa di sana (TEMPO, 23 September 1978). Kendati penutupan perkebunan itu baru akan dilakukan 1982 yaitu tatkala izin hak guna usahanya habis waktu, karyawan kedua perkebunan itu berikut keluarga mereka sekarang-sekarang sudah resah. Maka Samawi diutus ke Jakarta mengadukan nasib mereka ke Senayan. Khususnya soal pemindahan mereka ke luar dari wilayah suaka margasatwa Meru Betiri. "Ini tidak sesuai dengan prinsip, jiwa dan materi Pancasila, jika 5000 jiwa manusia Indonesia harus dikorbankan hanya untuk memelihara kehidupan 4 harimau Jawa," kata Samawi, sebagaimana dikutip Kompas. Maka ia mengusulkan, supaya keempat ekor harimau Jawa itu saja yang ditangkap, lantas ditransmigrasikan ke Sumatera atau pulau lain. Daerah transmigrasi harimau Jawa itu sajalah yang nantinya dijadikan cagar alam. Sementara rencana pemerintah untuk menutup kedua perkebunan di Meru Betiri serta memindahkan para karyawan berikut keluarga mereka, diharapkan agar ditinjau kembali. Turis Suara wakil karyawan perkebunan itu senada dengan suara majikannya. E. Dharsan Manwarta (53 tahun) direktur dan pemilik kedua perkebunan itu keberatan terhadap rencana pemerintah untuk tak memberikan perpanjangan izin usaha baginya setelah 1982. Ini dinyatakannya kepada TEMPO ketika Menteri Pertanian Sudarsono meninjau Meru Betiri pertengahan April lalu. Bagi Dharsan, rencana Taman Nasional itu sendiri amat bagus. "Tapi lebih bagus lagi tanpa menggusur perkebunan yang sudah mapan ini," tambahnya. Sebab seperti kilah seorang pegawainya: "Taman itu akan lengkap, jika tetap terdapat wanita-wanita yang sedang menyadap pohon karet, menghimpun kelapa dan memetik kopi." Ini rupanya didukung oleh cerita Dharsan, bahwa sampai April lalu saya masih ada beberapa turis asing dari Australia dan Amerika yang khusus datang ke Kabupaten Jember untuk melongok perkebunan Bande Alit. Kedua perkebunan itu memang sudah ada di sana sejak zaman Belanda. Dibuka 1929 oleh NV Landbouw Maatschappij. Tahun 1935 dibeli oleh dua orang warganegara Belanda yang kemudian menjualnya kepada Dharsan ketika dua orang Belanda itu pulang kampung 1950. Areal kedua perkebunan itu masing-masing 1057 Ha (Bande Alit) dan 1097 Ha (Sukamade) Ditanami kopi dan karet. Seluruhnya menghasilkan 500 ton karet dan 400 ton kopi setahun. "Perkebunan saya itu kini menjadi semacam desa tersendiri. Penduduknya adalah para petani kebun dan kaum buruh. Masjid dan gereja sudah ada. Juga sekolah dan poliklinik," begitu pengusaha asal Jember itu membanggakan perusahaannya. Menurut dia ketika masyarakat perkebunan itu ditawarkan untuk bertransmigrasi, kalau kedua perkebunan itu sampai ditutup tiga tahun lagi, mereka serempak menolak. Komentar Dharsan: "Sudah makmur di desa sendiri tentunya mereka enggan dipindahkan." Dharsan sudah mengelola perkebunan itu selama 32 tahun. Menurut Undang-Undang Pokok Agraria (1960) hak guna usaha bagi swasta hanya 25 tahun. Ini juga sudah dipertegas oleh UU Penghapusan Tanah-Tanah Partikelir yang kemudian diperkuat lagi dengan UU Landreform No. 56/1960. Jadi sukar sekali untuk mengharapkan perpanjangan izin usaha bagi Dharsan yang habis 1982. Magersari Tampaknya Direktorat PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) yang memperjuangkan peningkatan status dan perluasan areal suaka Meru Betiri, memang tak menghendaki adanya perkebunan di tengah-tengah belantara di sana. Walaupun seluruh luasnya hanya 4% dari Taman Nasional yang diusulkan 56 ribu Ha. "Pembinaan habitat perkebunan jelas bertentangan dengan hutan suaka. Apalagi kedua perkebunan itu masih menginginkan tambahan areal, untuk perluasan di kemudian hari," kata seorang staf PPA kepada TEMPO. Menanggapi usaha-usaha Dharsan dan anak buahnya ke DPR-RI serta pertanyaan Menteri Negara Emil Salim, PPA sudah menyusun dua alternatif pemecahan masalah bagi Menteri Pertanian. Pertama, izin usaha kedua PT perkebunan itu tetap tak diperpanjang sesudah 1982. Karyawan perkebunan yang ditutup itu dapat dialihkan ke perkebunan lain di luar wilayah cagar alam atau dipersilakan bertransmigrasi. Pilihan kedua, izin usaha kedua perkebunan itu boleh saja diperpanjang sesudah 1982. Tapi ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi agar tidak timbul bentrokan kepentingan antara perkebunan dan cagar alam. Di antaranya: areal cadangan perluasan kebun dikembalikan ke areal suaka, para karyawan perkebunan dilarang mengambil kayu dan.bambu dari hutan, dan juga dilarang memelihara ternak besar maupun sedang. Itu baru yang menyangkut karyawan kedua perkebunan yang menurut catatan PPA berjumlah 4358 orang dengan upah rata-rata Rp 219 per hari. Sebab selain karyawan perkebunan direncanakan juga hutan suaka itu akan diperluas ke timur dengan meliputi beberapa desa magersari (buruh penebang jati) berpenduduk 2643 jiwa. Lalu, masih ada 918 penghuni kawasan hutan yang datang menetap di sana tanpa izin. Berarti seluruhnya ada 7919 jiwa manusia yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penyelamatan harimau Jawa yang belum jelas berapa jumlahnya. "Tapi soal rakyat magersari, sudah ada konsensus dengan Perum Perhutani tentang pemindahan mereka," ujar seorang staf PPA.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus