DPR-RI kedatangan tamu lagi sekelompok karyawan perkebunan dari
Jawa Timur. Dalam peristiwa awal pekan lalu itu yang diadukan
bukan Lurah atau PNP, tapi langsung Pemerintah Pusat sendiri.
Haji Samawi yang katanya membawa mandat 5000 penduduk
perkebunan PT Bande Alit (Kabupaten Jember) dan PT Sukamade
Baru (Banyuwangi), memprotes rencana pemerintah untuk menutup
kedua perkebunan itu.
Rencana itu memang sudah diumumkan Menteri Negara PPLH Emil
Salim pertengahan September 1978. Alasan waktu itu kedua
perkebunan itu terletak dalam wilayah suaka margasatwa Meru
Betiri yang dalam Pelita III ini akan dijadikan Taman Nasional
untuk melindungi harimau Jawa yang masih tersisa di sana (TEMPO,
23 September 1978).
Kendati penutupan perkebunan itu baru akan dilakukan 1982 yaitu
tatkala izin hak guna usahanya habis waktu, karyawan kedua
perkebunan itu berikut keluarga mereka sekarang-sekarang sudah
resah. Maka Samawi diutus ke Jakarta mengadukan nasib mereka ke
Senayan. Khususnya soal pemindahan mereka ke luar dari wilayah
suaka margasatwa Meru Betiri.
"Ini tidak sesuai dengan prinsip, jiwa dan materi Pancasila,
jika 5000 jiwa manusia Indonesia harus dikorbankan hanya untuk
memelihara kehidupan 4 harimau Jawa," kata Samawi, sebagaimana
dikutip Kompas. Maka ia mengusulkan, supaya keempat ekor harimau
Jawa itu saja yang ditangkap, lantas ditransmigrasikan ke
Sumatera atau pulau lain. Daerah transmigrasi harimau Jawa itu
sajalah yang nantinya dijadikan cagar alam. Sementara rencana
pemerintah untuk menutup kedua perkebunan di Meru Betiri serta
memindahkan para karyawan berikut keluarga mereka, diharapkan
agar ditinjau kembali.
Turis
Suara wakil karyawan perkebunan itu senada dengan suara
majikannya. E. Dharsan Manwarta (53 tahun) direktur dan pemilik
kedua perkebunan itu keberatan terhadap rencana pemerintah untuk
tak memberikan perpanjangan izin usaha baginya setelah 1982. Ini
dinyatakannya kepada TEMPO ketika Menteri Pertanian Sudarsono
meninjau Meru Betiri pertengahan April lalu.
Bagi Dharsan, rencana Taman Nasional itu sendiri amat bagus.
"Tapi lebih bagus lagi tanpa menggusur perkebunan yang sudah
mapan ini," tambahnya. Sebab seperti kilah seorang pegawainya:
"Taman itu akan lengkap, jika tetap terdapat wanita-wanita yang
sedang menyadap pohon karet, menghimpun kelapa dan memetik
kopi." Ini rupanya didukung oleh cerita Dharsan, bahwa sampai
April lalu saya masih ada beberapa turis asing dari Australia
dan Amerika yang khusus datang ke Kabupaten Jember untuk
melongok perkebunan Bande Alit.
Kedua perkebunan itu memang sudah ada di sana sejak zaman
Belanda. Dibuka 1929 oleh NV Landbouw Maatschappij. Tahun 1935
dibeli oleh dua orang warganegara Belanda yang kemudian
menjualnya kepada Dharsan ketika dua orang Belanda itu pulang
kampung 1950. Areal kedua perkebunan itu masing-masing 1057 Ha
(Bande Alit) dan 1097 Ha (Sukamade) Ditanami kopi dan karet.
Seluruhnya menghasilkan 500 ton karet dan 400 ton kopi setahun.
"Perkebunan saya itu kini menjadi semacam desa tersendiri.
Penduduknya adalah para petani kebun dan kaum buruh. Masjid dan
gereja sudah ada. Juga sekolah dan poliklinik," begitu pengusaha
asal Jember itu membanggakan perusahaannya. Menurut dia ketika
masyarakat perkebunan itu ditawarkan untuk bertransmigrasi,
kalau kedua perkebunan itu sampai ditutup tiga tahun lagi,
mereka serempak menolak. Komentar Dharsan: "Sudah makmur di desa
sendiri tentunya mereka enggan dipindahkan."
Dharsan sudah mengelola perkebunan itu selama 32 tahun. Menurut
Undang-Undang Pokok Agraria (1960) hak guna usaha bagi swasta
hanya 25 tahun. Ini juga sudah dipertegas oleh UU Penghapusan
Tanah-Tanah Partikelir yang kemudian diperkuat lagi dengan UU
Landreform No. 56/1960. Jadi sukar sekali untuk mengharapkan
perpanjangan izin usaha bagi Dharsan yang habis 1982.
Magersari
Tampaknya Direktorat PPA (Perlindungan & Pengawetan Alam) yang
memperjuangkan peningkatan status dan perluasan areal suaka Meru
Betiri, memang tak menghendaki adanya perkebunan di
tengah-tengah belantara di sana. Walaupun seluruh luasnya hanya
4% dari Taman Nasional yang diusulkan 56 ribu Ha. "Pembinaan
habitat perkebunan jelas bertentangan dengan hutan suaka.
Apalagi kedua perkebunan itu masih menginginkan tambahan areal,
untuk perluasan di kemudian hari," kata seorang staf PPA kepada
TEMPO.
Menanggapi usaha-usaha Dharsan dan anak buahnya ke DPR-RI serta
pertanyaan Menteri Negara Emil Salim, PPA sudah menyusun dua
alternatif pemecahan masalah bagi Menteri Pertanian. Pertama,
izin usaha kedua PT perkebunan itu tetap tak diperpanjang
sesudah 1982. Karyawan perkebunan yang ditutup itu dapat
dialihkan ke perkebunan lain di luar wilayah cagar alam atau
dipersilakan bertransmigrasi.
Pilihan kedua, izin usaha kedua perkebunan itu boleh saja
diperpanjang sesudah 1982. Tapi ada beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi agar tidak timbul bentrokan kepentingan antara
perkebunan dan cagar alam. Di antaranya: areal cadangan
perluasan kebun dikembalikan ke areal suaka, para karyawan
perkebunan dilarang mengambil kayu dan.bambu dari hutan, dan
juga dilarang memelihara ternak besar maupun sedang.
Itu baru yang menyangkut karyawan kedua perkebunan yang menurut
catatan PPA berjumlah 4358 orang dengan upah rata-rata Rp 219
per hari. Sebab selain karyawan perkebunan direncanakan juga
hutan suaka itu akan diperluas ke timur dengan meliputi beberapa
desa magersari (buruh penebang jati) berpenduduk 2643 jiwa.
Lalu, masih ada 918 penghuni kawasan hutan yang datang menetap
di sana tanpa izin. Berarti seluruhnya ada 7919 jiwa manusia
yang perlu mendapat perhatian dalam rangka penyelamatan harimau
Jawa yang belum jelas berapa jumlahnya. "Tapi soal rakyat
magersari, sudah ada konsensus dengan Perum Perhutani tentang
pemindahan mereka," ujar seorang staf PPA.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini