SEJAK pertama kali mengikuti kontes Thomas dan berhasil
menumbangkan supremasi Malaya di Singapura, tahun 1958,
Indonesia sekali tersandung. Tragedi terjadi waktu Indonesia
berusaha mempertahankan supremasinya di Istora Senayan, Jakarta,
9 tahun kemudian. Waktu itu suasana publik tidak terkendali
dalam menonton tim Indonesia melawan Malaysia di final. Honorary
Referee, Herbert Scheele menghentikan pertandingan dalam
kedudukan 4-3 buat Malayia.
Tim Indonesia pekan ini dibebankan lagi untuk mempertahankan
supremasinya. Beban itu cukup berat. Tragedi 1967, tentu saja,
dijaga supaya tidak berulang di Istora Senayan.
Di tahun 1967 itu, regu Indonesia tidak begitu kokoh. Titik
kelemahan terletak pada Ferry Sonneville, satu-satunya dari
angkatan 1958 yang masih bertahan. Penonton mencoba menginjeksi
semangat mereka dengan sorak-sorai yang riuh. Pasangan ganda
Mulyadi/Agus Susanto berhasil menahan, untuk sementara, Ng Boon
Bee/Tan Yee Khan 2-15 dan 18-13 pada partai ke-8. Tapi dukungan
moril publik akhirnya mengacau suasana -- ternyata menjadi
bumerang bagi tim Indonesia.
Scheele, lewat sidang International Badminton Federation
(IBF), memberikan peluang bagi Indonesia untuk melanjutkan
partai yang tertunda itu di Selandia Baru. Tim Indonesia
menolak. Akibatnya, Piala Thomas berpindah lagi ke tangan
Malaysia.
Indonesia bangkit kembali merebut simbol supremasi bulutangkis
dunia itu pada tahun 1970 di Kuala Lumpur, dan terus
mempertahankannya. Tapi kekuatan tim Indonesia kali ini tampak
tak seampuh periode sebelumnya.
Dalam Asian Games terakhir di Bangkok, regu Indonesia betul
berhasil menggulingkan mithos RRC, dan meraih medali emas untuk
nomor beregu putera, namun secara perorangan tak banyak gelar
yang dapat dibanggakan.
Di All England Maret lalu hanya Liem Swie King dan pasangan
Tjuntjun/Johan Wahyudi yang tetap menunjukkan keampuhan dengan
mempertahankan mahkota. Pemain lain -- Dhany Sartika, Heryanto
Saputra, Lius Pongoh, Kartono Christian Handinata, dan Ade
Chandra baik yang turun di nomor perorangan atau ganda -- tak
mencapai babak final.
Tak heran, PBSI merasa perlu menopang kekuatan dengan Rudy
Hartono dan Iie Sumirat. Mengapa? "Mereka itu pemain
berpengalaman," jawab King. Bersama kedua pemain senior itu
bergabung pula Hadianto, Hadiwibowo, dan Bobby Ertanto ke dalam
regu Indonesia kali ini.
PBSI memilih pemain terutama untuk menghadapi pemenang antara
Jepang dan Kanada (Diperkirakan Jepang bakal menang). Ternyata
pilihan PBSI tak banyak berubah dari susunan regu 3 tahun lalu.
Mereka yang tepilih untuk semifinal di Istora Senayan, 28
dan 29 Mei, adalah Liem Swie King, Rudy Hartono, Lius Pongoh,
Christian, Tjuntjun, dan Johan Wahyudi. Kecuali Pongoh,
selebihnya adalah anggota regu Piala Thomas 1976 di Bangkok.
Terpilihnya pemain berusia 19 tahun ini, selain didasarkan atas
prestasinya dalam seleksi juga "untuk memberikan kesempatan
pada pemain muda. Kalau tidak sekarang, kapan lagi," kata Ketua
PBSI, drs Sudirman.
Bagaimana peluang "Tak begitu menguatirkan," kesan Eddy Yusuf,
bekas pemain Piala Thomas 1958, seusai penentuan anggota tim
pekan lalu.
Diperkirakan Pongoh akan menempati tunggal ke-3. Sedang pemain
gandanya, di samping Tjuntjun/Johan Wahudi, adalah
Christian/Liem Swie King -- pasangan terampuh di Indonesia saat
ini.
Dalam seleksi 2 pekan lalu, sekalipun Pongoh menempati urutan
kedua setelah King, banyak pertimbangan untuk memasang Rudy
Hartono sebagai tunggal ke-2. Antara lain Rudy Hartono dianggap
lebih matang dan berpengalaman. "Kalau Rudy bermain all out, ia
bisa meraih 2 angka," ramal Christian.
Dalam melawan tim Jepang, itu mungkin terjadi. Dari 6 anggota
regu Jrpang menurut Christian, yang tampak lumayan adalah Kinji
Zeniya, dan pasangan Yoshitaka Iino/Masao Tsuchida. Dalam
Kejuaraan Dunia di Tokyo Januari lalu, maupun pada turnamen All
England 2 bulan berikutnya, nama-nama andalan tadi tersisih
mutlak di tangan pemain Indonesia. Di Tokyo, misalnya,
Christian/Ade Chandra cuma membutuhkan 1 menit untuk
menamatkan perlawanan Iino/Tsuchida di final, dengan skor akhir
15-4 dan 15-5. Di All England, mereka dikalahkan oleh
Tjuntjun/Johan Wahyudi dalam semifinal. Dalam partai tunggal All
England, para pemain Jepang termasuk Zeniya tersapu bersih di
ronde lebih awal.
Dari kenyataan ini, regu Indonesia rasanya bisa mengantongi
angka 9-0. "Indonesia adalah lawan yang berat bagi kami," kata
manajer tim Jepang, Takafusa Itagaki. Ia juga meramalkan bahwa
tim Indonesia bakal mampu mempertahankan Piala Thomas.
Itagaki memperhitungkan bahwa timnya akan ketemu Indonesia
di semi final. "Melawan Kanada, kami tak akan mengalami
kesukaran yang berarti," katanya. Manajer tim Kanada, Roy
Roberts bersikap "tunggu dan lihat" nanti.
Regu Indonesia diunggulkan tapi cukup kuatir, terutama dalam
final 1-2 Juni. Denmark -- di kertas -- jelas lebih unggul dari
India untuk maju ke final. Banyak hal yang menopang perhitungan
itu. Di All England terakhir, Denmark berhasil menempatkan 3
semi-finalis dalam partai tunggal, yaitu Flemming Delfs, Morten
Frost Hansen, dan Svend Pri. "Kami memang berharap bisa ketemu
Indonesia di final," kata pelatih tom Bacher.
"Kami tidak lagi takut pada Indonesia," sambung Delfs. "Dulu,
Rudy Hartono memang satu kelas di atas pemain mana pun.
Sekarang, kami sama baiknya dengan pemain top yang lain, dan
kami yakin akan bermain baik." Delfs tidak menyebut King
sebagai, ancaman mereka.
Tim Denmark memang kelihatan lebih serius ketimbang masa lalu.
Sebelum datang ke Jakarta, mereka melawan pemain nasional
Malaysia dengan memakai sistim Piala Thomas. Denmark menang 8-1.
Para pemain Denmark tak lagi begitu mengeluh terhadap suhu yang
menyengat di Jakarta. "Setelah 8 hari di Kuala Lumpur, kami
mulai terbiasa dengan udara tropis," tambah Delfs. Ia mungkin
tak sepenuhnya jujur. Berlatih di gelanggang remaja Bulungan
Minggu siang, hampir semua mereka bertelanjang dada -- termasuk
Pri yang sudah berulang kali datang dan main di Jakarta.
"Semua lawan berbahaya," kata pelatih Tahier Jide. "Kita harus
berhati-hati dalam menghadapi tim mana pun." Tapi, hal yang
sesungguhnya merisaukan Indonesia adalah penyusunan regu dalam
final nanti. "Bukan tidak mungkin susunan pemain yang ditetapkan
sekarang akan berubah untuk pertandingan berikutnya," kata Ketua
Sudirman.
Jika berobah, demikian santer suara spekulasi, mungkin Pongoh
diganti oleh Iie Sumirat. Waktu seleksi Iie menempati urutan
ke-6 dari 8 peserta partai tunggal. Dalam latihan sebelumnya ia
cuma kesandung di tangan King. "Faktor itu termasuk dalam
pertimbangan," kata Eddy Yusuf. "Selain itu ia juga punya
potensi untuk bermain ganda."
Repotnya, Iie bukan tanpa kelemahan, terutama dalam sikap
mental. Misalnya, ketika mengetahui namanya tak masuk daftar
untuk pertandingan pertama, esoknya ia langsung kabur ke
Bandung. Baru ia kembali sehari sebelum batas ultimatum PBSI
habis, setelah dibujuk pekan lalu oleh Ketua Komisi Teknik PBSI
Jawa Barat, Toto Hanafiah.
Muka lain mungkin bertahan. Bagaimana strategi PBSI menyusun
nama di final tetap jadi masalah. Di kubu Denmark, partai
tunggal tidak akan lain dari Flemming Delfs, Morten Frost
Hansen, dan Svend Pri. Dalam pertandingannya di Kuala Lumpur,
Pri dipasang sebaeai tunggal ke-3. Bagaimana di Jakarta?
"Tergantung situasi nanti," kata Bacher. Tapi, menurut Delfs,
susunan tidak akan berubah dari apa yang dicoba di Malaysia.
Jika Pri tetap seperti di Kuala Lumpur, soalnya tak begitu pelik
bagi PBSI. Kerepotan justru akan muncul bila Pri sampai ketemu
Rudy Hartono di malam pertama. Pri, 33 tahun, mencatat
kemenangan atas Hartono dalam final Piala rhomas 1973 di
Jakarta, dan All England 1975. Meski Pri kini makin lamban,
posisinya selalu. berada di atas angin. Lagi pula Hartono, 30
tahun, sekarang sudah menurun dari 3 tahun lalu. Ia pun agak
lamban yang kelihatan dalam seleksi yang lalu. Permainannya di
depan jaring, juga over head smashnya belum jalan seperti yang
diharapkan.
Dari 7 kali penampilan dalam seleksi, Hartono cuma mencatat 4
kemenangan. Sisanya, 2 kali kalah straight Set, dan 1 kali
kalah rubber-set. Dari 7 itu, pemunculannya yang terbaik adalah
sewaktu menghadapi King di malam terakhir. Ia menang 15-10, dan
15-12. Tapi banyak orang menduga bahwa hasil akhir itu telah
'diatur', terutama bila dikaitkan dengan komentar majalah World
Badminton (edisi April) bahwa King pemain nomor satu di dunia.
Tarohlah dugaan umum itu tidak benar. Tapi jauh sebelum terpilih
sebagai pemain inti Piala Thomas, Hartono dihantui oleh kasus
Sonneville tahun 1967. Sonneville yang semula diharapkan dapat
menambah angka kemenangan, malah menjadi titik kelemahan bagi
tim. "Saya kuatir hal itu terulang lagi," kata Hartono yang
mencatat rekor 5 kali memperkuat tim Piala Thomas.
Eddy Yusuf cuma memperhitungkan 1 angka kemenangan, syukur
lebih, dari Hartono dalam melawan Jepang nanti. Itu sekiranya ia
dipasang sebagai pemain tunggal andalan -- antara ke-1 dan ke-2.
Inilah sebabnya ada suara yang mengusulkan Rudy dalam semi-final
dipasang di tunggal ke-3. Untuk menyimpan tenaga menghadapi
final dengan posisi sebagai tunggal andalan bersama King.
Bagaimana melawan Denmark di final? "Saya optimis," kata Yusuf.
"Untuk menang mutlak 9-0 memang agak sulit. Skornya bisa 8-1,
7-2, atau 6-3." Ia tidak menjelaskan. Tapi King memperkirakan
kemenangan akan diraih 3 dari partai tunggal, dan 3 dari partai
ganda. Ia juga tidak menyebutkan siapa-siapa yang diharapkannya.
Tapi bisa ditebak, 2 kemenangan adalah dari diri King sendiri.
Sisanya, dari Hartono atau pemain tunggal ke-3 lainnya. Dari
partai ganda, 1 diperkirakan dari Tjuntjun/Johan Wahyudi, dan 2
lagi melalui Christian/Liem Swie King.
Ada juga kemungkinan Denmark akan kesandung di tangan pemain
India, apalagi kalau pada hari pertama pertandingan mereka
kedudukan bisa 2-2 Pemain andalan India adalah Prakash Padukone
yang pernah mengecap latihan di Jakarta tahun lalu. Juga Uday
Pawar serta Partho Ganguli, dua pemain tunggal yang juga punya
kebolehan dalam bermain ganda. Tapi "kami yakin bisa menang dari
India," kata Delfs. "Skornya bisa 5-4."
Bagaimana kalau India yang maju ke final? "Secara psikologis
lebih menguntungkan kita," kata Christian. Dan itu bukan
mustahil.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini