Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Optimis (Tapi Tak Menang Mutlak ?) Dapatkah Indonesia Menang Mutlak...

Tim Piala Thomas Indonesia akan mempertahankan supremasinya di Jakarta dengan diperkuat oleh Rudy Hartono dan Iie Sumirat, serta regu Piala Thomas 1976 di Bangkok ditambah pemain muda Lius Pongoh. (or)

26 Mei 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK pertama kali mengikuti kontes Thomas dan berhasil menumbangkan supremasi Malaya di Singapura, tahun 1958, Indonesia sekali tersandung. Tragedi terjadi waktu Indonesia berusaha mempertahankan supremasinya di Istora Senayan, Jakarta, 9 tahun kemudian. Waktu itu suasana publik tidak terkendali dalam menonton tim Indonesia melawan Malaysia di final. Honorary Referee, Herbert Scheele menghentikan pertandingan dalam kedudukan 4-3 buat Malayia. Tim Indonesia pekan ini dibebankan lagi untuk mempertahankan supremasinya. Beban itu cukup berat. Tragedi 1967, tentu saja, dijaga supaya tidak berulang di Istora Senayan. Di tahun 1967 itu, regu Indonesia tidak begitu kokoh. Titik kelemahan terletak pada Ferry Sonneville, satu-satunya dari angkatan 1958 yang masih bertahan. Penonton mencoba menginjeksi semangat mereka dengan sorak-sorai yang riuh. Pasangan ganda Mulyadi/Agus Susanto berhasil menahan, untuk sementara, Ng Boon Bee/Tan Yee Khan 2-15 dan 18-13 pada partai ke-8. Tapi dukungan moril publik akhirnya mengacau suasana -- ternyata menjadi bumerang bagi tim Indonesia. Scheele, lewat sidang International Badminton Federation (IBF), memberikan peluang bagi Indonesia untuk melanjutkan partai yang tertunda itu di Selandia Baru. Tim Indonesia menolak. Akibatnya, Piala Thomas berpindah lagi ke tangan Malaysia. Indonesia bangkit kembali merebut simbol supremasi bulutangkis dunia itu pada tahun 1970 di Kuala Lumpur, dan terus mempertahankannya. Tapi kekuatan tim Indonesia kali ini tampak tak seampuh periode sebelumnya. Dalam Asian Games terakhir di Bangkok, regu Indonesia betul berhasil menggulingkan mithos RRC, dan meraih medali emas untuk nomor beregu putera, namun secara perorangan tak banyak gelar yang dapat dibanggakan. Di All England Maret lalu hanya Liem Swie King dan pasangan Tjuntjun/Johan Wahyudi yang tetap menunjukkan keampuhan dengan mempertahankan mahkota. Pemain lain -- Dhany Sartika, Heryanto Saputra, Lius Pongoh, Kartono Christian Handinata, dan Ade Chandra baik yang turun di nomor perorangan atau ganda -- tak mencapai babak final. Tak heran, PBSI merasa perlu menopang kekuatan dengan Rudy Hartono dan Iie Sumirat. Mengapa? "Mereka itu pemain berpengalaman," jawab King. Bersama kedua pemain senior itu bergabung pula Hadianto, Hadiwibowo, dan Bobby Ertanto ke dalam regu Indonesia kali ini. PBSI memilih pemain terutama untuk menghadapi pemenang antara Jepang dan Kanada (Diperkirakan Jepang bakal menang). Ternyata pilihan PBSI tak banyak berubah dari susunan regu 3 tahun lalu. Mereka yang tepilih untuk semifinal di Istora Senayan, 28 dan 29 Mei, adalah Liem Swie King, Rudy Hartono, Lius Pongoh, Christian, Tjuntjun, dan Johan Wahyudi. Kecuali Pongoh, selebihnya adalah anggota regu Piala Thomas 1976 di Bangkok. Terpilihnya pemain berusia 19 tahun ini, selain didasarkan atas prestasinya dalam seleksi juga "untuk memberikan kesempatan pada pemain muda. Kalau tidak sekarang, kapan lagi," kata Ketua PBSI, drs Sudirman. Bagaimana peluang "Tak begitu menguatirkan," kesan Eddy Yusuf, bekas pemain Piala Thomas 1958, seusai penentuan anggota tim pekan lalu. Diperkirakan Pongoh akan menempati tunggal ke-3. Sedang pemain gandanya, di samping Tjuntjun/Johan Wahudi, adalah Christian/Liem Swie King -- pasangan terampuh di Indonesia saat ini. Dalam seleksi 2 pekan lalu, sekalipun Pongoh menempati urutan kedua setelah King, banyak pertimbangan untuk memasang Rudy Hartono sebagai tunggal ke-2. Antara lain Rudy Hartono dianggap lebih matang dan berpengalaman. "Kalau Rudy bermain all out, ia bisa meraih 2 angka," ramal Christian. Dalam melawan tim Jepang, itu mungkin terjadi. Dari 6 anggota regu Jrpang menurut Christian, yang tampak lumayan adalah Kinji Zeniya, dan pasangan Yoshitaka Iino/Masao Tsuchida. Dalam Kejuaraan Dunia di Tokyo Januari lalu, maupun pada turnamen All England 2 bulan berikutnya, nama-nama andalan tadi tersisih mutlak di tangan pemain Indonesia. Di Tokyo, misalnya, Christian/Ade Chandra cuma membutuhkan 1 menit untuk menamatkan perlawanan Iino/Tsuchida di final, dengan skor akhir 15-4 dan 15-5. Di All England, mereka dikalahkan oleh Tjuntjun/Johan Wahyudi dalam semifinal. Dalam partai tunggal All England, para pemain Jepang termasuk Zeniya tersapu bersih di ronde lebih awal. Dari kenyataan ini, regu Indonesia rasanya bisa mengantongi angka 9-0. "Indonesia adalah lawan yang berat bagi kami," kata manajer tim Jepang, Takafusa Itagaki. Ia juga meramalkan bahwa tim Indonesia bakal mampu mempertahankan Piala Thomas. Itagaki memperhitungkan bahwa timnya akan ketemu Indonesia di semi final. "Melawan Kanada, kami tak akan mengalami kesukaran yang berarti," katanya. Manajer tim Kanada, Roy Roberts bersikap "tunggu dan lihat" nanti. Regu Indonesia diunggulkan tapi cukup kuatir, terutama dalam final 1-2 Juni. Denmark -- di kertas -- jelas lebih unggul dari India untuk maju ke final. Banyak hal yang menopang perhitungan itu. Di All England terakhir, Denmark berhasil menempatkan 3 semi-finalis dalam partai tunggal, yaitu Flemming Delfs, Morten Frost Hansen, dan Svend Pri. "Kami memang berharap bisa ketemu Indonesia di final," kata pelatih tom Bacher. "Kami tidak lagi takut pada Indonesia," sambung Delfs. "Dulu, Rudy Hartono memang satu kelas di atas pemain mana pun. Sekarang, kami sama baiknya dengan pemain top yang lain, dan kami yakin akan bermain baik." Delfs tidak menyebut King sebagai, ancaman mereka. Tim Denmark memang kelihatan lebih serius ketimbang masa lalu. Sebelum datang ke Jakarta, mereka melawan pemain nasional Malaysia dengan memakai sistim Piala Thomas. Denmark menang 8-1. Para pemain Denmark tak lagi begitu mengeluh terhadap suhu yang menyengat di Jakarta. "Setelah 8 hari di Kuala Lumpur, kami mulai terbiasa dengan udara tropis," tambah Delfs. Ia mungkin tak sepenuhnya jujur. Berlatih di gelanggang remaja Bulungan Minggu siang, hampir semua mereka bertelanjang dada -- termasuk Pri yang sudah berulang kali datang dan main di Jakarta. "Semua lawan berbahaya," kata pelatih Tahier Jide. "Kita harus berhati-hati dalam menghadapi tim mana pun." Tapi, hal yang sesungguhnya merisaukan Indonesia adalah penyusunan regu dalam final nanti. "Bukan tidak mungkin susunan pemain yang ditetapkan sekarang akan berubah untuk pertandingan berikutnya," kata Ketua Sudirman. Jika berobah, demikian santer suara spekulasi, mungkin Pongoh diganti oleh Iie Sumirat. Waktu seleksi Iie menempati urutan ke-6 dari 8 peserta partai tunggal. Dalam latihan sebelumnya ia cuma kesandung di tangan King. "Faktor itu termasuk dalam pertimbangan," kata Eddy Yusuf. "Selain itu ia juga punya potensi untuk bermain ganda." Repotnya, Iie bukan tanpa kelemahan, terutama dalam sikap mental. Misalnya, ketika mengetahui namanya tak masuk daftar untuk pertandingan pertama, esoknya ia langsung kabur ke Bandung. Baru ia kembali sehari sebelum batas ultimatum PBSI habis, setelah dibujuk pekan lalu oleh Ketua Komisi Teknik PBSI Jawa Barat, Toto Hanafiah. Muka lain mungkin bertahan. Bagaimana strategi PBSI menyusun nama di final tetap jadi masalah. Di kubu Denmark, partai tunggal tidak akan lain dari Flemming Delfs, Morten Frost Hansen, dan Svend Pri. Dalam pertandingannya di Kuala Lumpur, Pri dipasang sebaeai tunggal ke-3. Bagaimana di Jakarta? "Tergantung situasi nanti," kata Bacher. Tapi, menurut Delfs, susunan tidak akan berubah dari apa yang dicoba di Malaysia. Jika Pri tetap seperti di Kuala Lumpur, soalnya tak begitu pelik bagi PBSI. Kerepotan justru akan muncul bila Pri sampai ketemu Rudy Hartono di malam pertama. Pri, 33 tahun, mencatat kemenangan atas Hartono dalam final Piala rhomas 1973 di Jakarta, dan All England 1975. Meski Pri kini makin lamban, posisinya selalu. berada di atas angin. Lagi pula Hartono, 30 tahun, sekarang sudah menurun dari 3 tahun lalu. Ia pun agak lamban yang kelihatan dalam seleksi yang lalu. Permainannya di depan jaring, juga over head smashnya belum jalan seperti yang diharapkan. Dari 7 kali penampilan dalam seleksi, Hartono cuma mencatat 4 kemenangan. Sisanya, 2 kali kalah straight Set, dan 1 kali kalah rubber-set. Dari 7 itu, pemunculannya yang terbaik adalah sewaktu menghadapi King di malam terakhir. Ia menang 15-10, dan 15-12. Tapi banyak orang menduga bahwa hasil akhir itu telah 'diatur', terutama bila dikaitkan dengan komentar majalah World Badminton (edisi April) bahwa King pemain nomor satu di dunia. Tarohlah dugaan umum itu tidak benar. Tapi jauh sebelum terpilih sebagai pemain inti Piala Thomas, Hartono dihantui oleh kasus Sonneville tahun 1967. Sonneville yang semula diharapkan dapat menambah angka kemenangan, malah menjadi titik kelemahan bagi tim. "Saya kuatir hal itu terulang lagi," kata Hartono yang mencatat rekor 5 kali memperkuat tim Piala Thomas. Eddy Yusuf cuma memperhitungkan 1 angka kemenangan, syukur lebih, dari Hartono dalam melawan Jepang nanti. Itu sekiranya ia dipasang sebagai pemain tunggal andalan -- antara ke-1 dan ke-2. Inilah sebabnya ada suara yang mengusulkan Rudy dalam semi-final dipasang di tunggal ke-3. Untuk menyimpan tenaga menghadapi final dengan posisi sebagai tunggal andalan bersama King. Bagaimana melawan Denmark di final? "Saya optimis," kata Yusuf. "Untuk menang mutlak 9-0 memang agak sulit. Skornya bisa 8-1, 7-2, atau 6-3." Ia tidak menjelaskan. Tapi King memperkirakan kemenangan akan diraih 3 dari partai tunggal, dan 3 dari partai ganda. Ia juga tidak menyebutkan siapa-siapa yang diharapkannya. Tapi bisa ditebak, 2 kemenangan adalah dari diri King sendiri. Sisanya, dari Hartono atau pemain tunggal ke-3 lainnya. Dari partai ganda, 1 diperkirakan dari Tjuntjun/Johan Wahyudi, dan 2 lagi melalui Christian/Liem Swie King. Ada juga kemungkinan Denmark akan kesandung di tangan pemain India, apalagi kalau pada hari pertama pertandingan mereka kedudukan bisa 2-2 Pemain andalan India adalah Prakash Padukone yang pernah mengecap latihan di Jakarta tahun lalu. Juga Uday Pawar serta Partho Ganguli, dua pemain tunggal yang juga punya kebolehan dalam bermain ganda. Tapi "kami yakin bisa menang dari India," kata Delfs. "Skornya bisa 5-4." Bagaimana kalau India yang maju ke final? "Secara psikologis lebih menguntungkan kita," kata Christian. Dan itu bukan mustahil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus