LAGU We Are the Champion dari grup rock Queen lantang terdengar di stadion bisbol Senayan, Jakarta, begitu tim Indonesia mengalahkan Pakistan dengan skor 24-19. Tawa dan keharuan pemain Indonesia meledak bersama sorak dan jingkrakan 3.000-an penonton untuk tim berkostum merah-putih itu. Itulah ungkapan kegembiraan atas kemenangan Indonesia di Kejuaraan Bisbol Asia Ke-4?juga diikuti oleh Singapura, Uzbekistan, Hong Kong, dan Malaysia?yang berakhir Ahad dua pekan lalu.
Inilah prestasi terbaik tim Indonesia, setelah menunggu hampir empat puluh tahun. Sebagai juara, Indonesia berhak maju ke kejuaraan divisi utama Asia, yang akan berlangsung di Taipei pertengah Maret ini.
Pertandingan final Indonesia-Pakistan berjalan alot dan panas, memakan waktu lebih dari empat jam. Sejak inning pertama, kedua tim berbagi angka dengan ketat. Aksi protes sempat mewarnai pertandingan.
Di tim Indonesia, yang mayoritas berusia di bawah 23 tahun, pemain yang bermain cemerlang antara lain adalah Michael ?Shin-chan? Trisnadi, 21 tahun, yang menjadi ?pembunuh? ketiga pemukul lawan di inning terakhir. Ia juga satu-satunya yang membuat home-run. Wajar jika Michael terpilih sebagai pemain terbaik. Tony Pribadi, 23 tahun, juga ?bersinar? dan merebut penghargaan Golden Glove. Peran pemain senior Uki Hakim dan pitcher Amri, yang bermain tenang, membantu ketangguhan timnya.
Sementara tim Pakistan mempesona penonton dengan ?otot kawat?-nya, Indonesia dipuji karena kecerdikannya mengatur irama permainan. Yukichi Maeda, Sekjen Federasi Bisbol Asia (BFA), memuji kedua tim. Katanya, ?Pakistan memiliki kekuatan yang menakjubkan, tetapi Indonesia bermain cantik.?
Histeria pencinta bisbol menyambut masuknya Indonesia ke divisi utama Asia bisa dipahami mengingat jalan yang ditempuh sangat panjang. Jika menengok ke belakang, sebenarnya bisbol telah lama masuk ke Indonesia. Olahraga yang lahir di AS pada abad ke-19 ini dibawa ke Indonesia oleh penjajah Belanda. Mereka menyebutnya honkball. Awalnya, bisbol sempat digandrungi anak muda, bahkan pernah dimainkan di PON 1955 di Yogya. Setelah itu bisbol seakan meredup.
Menurut Harry A. Trisnadi, 55 tahun, Wakil Ketua II Persatuan Bisbol dan Softball Indonesia (Perbasasi), ada dua hal yang membuat bisbol mati suri. Pertama, pada tahun 1960-an perlengkapan bisbol sulit didapat dan mahal. Kedua, karena teknik permainan bisbol njelimet, hanya ada sedikit orang yang menekuninya.
Meskipun pada 1967 Perbasasi berdiri, organisasi ini memprioritaskan pengembangan softball lebih dulu. Alasannya, softball bisa dimainkan laki-laki atau perempuan sehingga lebih banyak menarik peminat. Akibatnya, di akhir 1980-an hanya softball yang ?hidup?, sementara bisbol terlelap.
Kondisi ini tak memadamkan kecintaan segelintir orang pada bisbol. Pada sekitar 1989, mereka menemukan bahwa bisbol masih dimainkan oleh orang Jepang dan Amerika yang ada di Jakarta. Akhirnya beberapa anak dimasukkan ke klub Jepang. Upaya ini tak sia-sia. Pada 1991, lima anak diundang ke Jepang mengikuti World Children?s Baseball Fair. Baru pada 1993, Perbasasi di bawah Sugeng Suprijatna menghidupkan kembali bisbol. Pada 1995, untuk pertama kali Indonesia ikut kejuaraan bisbol Asia di Manila. Saat itu tim Indonesia hanya merebut tempat keempat dari lima peserta. Barulah pada 1997 Indonesia mulai bersinar dan merebut posisi runner-up di bawah Thailand dalam kejuaraan Asia di Bangkok.
Kini, tiket untuk berlaga di tingkat Asia sudah di tangan. Pertanyaannya, bisakah Indonesia bertahan agar tak terlempar dari divisi utama. Sebab, di sana bercokol para jago dunia seperti Jepang, runner-up Olimpiade 1988, di samping ?macan? Asia seperti Cina, Taiwan, dan Korea.
Namun, Achmad Nasir, pelatih tim, optimistis Indonesia paling tidak bisa lolos dari posisi juru kunci sehingga tak kembali ke divisi II. Meski persiapan ke kejuaraan divisi utama singkat, tak lebih dari tiga minggu, Ucok terus mengasah kemampuan memukul para pemain dan mempertajam lemparan pitcher. Harapannya, lagu We Are the Champion bakal kembali bergema buat mereka.
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini