Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ulama Bayaran Menyulap Petani Menjadi Kiai

Petani Sumedang diperalat untuk menggoyang Presiden Abdurrahman. Potret permainan kotor elite politik kita.

11 Maret 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

OOM Oman hanya bisa menangis. Pria 52 tahun itu kini banyak mengurung diri di rumah. Ia mengalami depresi berat. Pekerjaannya sebagai petani jagung ia telantarkan. Setiap kali diajak bicara, warga Desa Sirnarasa, Sumedang Selatan, itu tak kuasa menahan air matanya. Oom adalah salah satu dari 40 warga Jawa Barat yang harus menuai malu. Mereka menemui Ketua MPR Amien Rais dan meminta Presiden Abdurrahman Wahid mundur, dengan mengatasnamakan kiai Nahdlatul Ulama (NU) Jawa Barat, yang kemudian terbukti palsu. Sabtu, 24 Februari lalu, Akun Masykur, koordinator 40 "kiai" itu, menyatakan bahwa mereka bukan ulama NU. Di hadapan wartawan, Akun juga mengakui bahwa dirinya menerima imbalan Rp 15 juta dari Fuad Bawazier?politisi Golkar yang kini lompat pagar ke Poros Tengah dan dikenal keras menentang kepemimpinan Abdurrahman. Jelas Oom dan rombongannya cuma korban. Awal Februari lalu, ia dikontak Akun Masykur melalui Lili Somantri, Wakil Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Cibugel, Sumedang Selatan, dan Masduki, pemimpin majelis taklim di sana. Mereka diajak bersilaturahmi dengan Presiden Abdurrahman Wahid, Megawati, Akbar Tandjung, dan Amien Rais. Karena yang mengajak adalah orang yang mereka kenal baik, tak ada yang curiga. Maklum, Lili dikenal luas di Cibugel sebagai ulama. Apalagi rencana ini disetujui pula oleh rapat majelis taklim di desa itu. "Ya, hitung-hitung piknik tanpa mengeluarkan biaya," kata Masduki saat itu. Selain dari Sumedang, Akun menghimpun pasukan dari Garut dengan modus yang sama. Akun rupanya punya reputasi cukup meyakinkan. Pria ini adalah anak K.H. Mamat Satibi, sesepuh ulama NU Sumedang yang juga pernah menjadi Ketua Partai Nahdlatul Ulama kabupaten itu. Apalagi, Akun, 50 tahun, sering mengaku sebagai pembantu sekretaris Presiden Abdurrahman Wahid. Maka, pada 12 Februari lalu, rombongan "kiai" Jawa Barat itu berangkat menuju Jakarta. Di jalan, mereka satu per satu ditempeli amplop berisi uang Rp 250 ribu oleh Akun. "Kami tidak curiga karena pada amplopnya ada tulisan zakat," kata Masduki. Anehnya, kemudian Akun menyuruh mereka meneken surat pernyataan. Isinya meminta Abdurrahman Wahid meletakkan jabatan presiden karena lebih dibutuhkan sebagai guru bangsa. Dalam surat tersebut, para "demonstran" itu juga diberi titel kiai haji. "Biar mantap," begitu alasan Akun. Nama-nama yang dipandang kurang Islami juga dipermak. Ajid, yang sehari-hari adalah petani dan pedagang jagung, dipoles namanya oleh Akun menjadi Kiai Haji Ajid Bustomi. Mereka juga mengatasnamakan ulama nonstruktural NU. Peristiwa pertemuan "kiai" NU itu dengan Amien Rais keruan saja ramai diliput media massa. Maklum saja, selama ini, kiai NU menyokong Presiden. Dan banyak yang mengira ada kiai NU yang membelot. Tapi orang dalam NU justru terheran-heran. Sebab, tak satu pun "kiai" nonstruktural itu mereka kenal. Ketika rombongan tersebut meninggalkan ruang Amien Rais, beberapa ulama Jawa Timur yang sedang berada di Gedung DPR/MPR bahkan meneriaki mereka sebagai kiai gadungan. Lucunya, rombongan "Kiai" Oom tenang-tenang saja, tak merasa disoraki. Toh, mereka memang bukan kiai dan tak mengaku kiai. Karena kejanggalan itu, beberapa hari kemudian, pengurus NU mengambil tindakan. Mereka memanggil Akun Masykur. Setelah diinterogasi, akhirnya Akun mengakui aksi akal-akalannya tersebut. Menurut Wakil Sekretaris Jenderal PB Nahdlatul Ulama, Masduki Baidlawi, tak sulit menemukan Akun. "Kiai" satu ini memang sering nongkrong di kantor NU. Ia penganggur yang kerap membantu memasarkan majalah Khas?media yang dipimpin Said Aqil Siradj, salah seorang ketua ormas Islam terbesar di Indonesia tersebut. Akun memang bukan sekadar penganggur. Polisi mencatat ia pernah menjadi buron aparat karena kasus penipuan tanah di Sumedang. Pada 1996, ia pernah ditahan tujuh bulan karena kasus serupa. Sebelumnya, ia juga dipecat dari jabatan Kepala Madrasah Ibtidaiyah di Padasuka, Sumedang, karena sering menipu. Sayang, Akun menolak dikonfirmasi. "Saya minta bayaran Rp 2,5 juta jika mau diwawancarai," katanya kepada Darmawan Sepriyossa dari TEMPO. Adapun Fuad Bawazier membantah keras keterlibatannya dalam kasus ini meski ia tidak menyangkal telah lama mengenal Akun. "Mereka (orang NU) sengaja mengembuskan isu itu untuk menguras energi saya," katanya kepada Dewi Rina dari TEMPO. Jadi, siapa yang "main kotor" membayar Akun? Jika pengurus NU membawa soal ini ke pengadilan, semestinya akan jelas tangan siapa yang suka "main kotor" itu. Arif Zulkifli, Adi Prasetya (Jakarta), Upiek Supriyatun (Sumedang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus