TAMBAL sulam adalah gaya pemerintahan Abdurrahman Wahid. Menteri bisa diganti tiap saat, pernyataan resmi kepala negara bisa ditarik begitu saja. Bahkan, keputusan presiden (keppres) bisa diralat cuma dalam hitungan hari.
Keppres tentang lembaga pemerintah nondepartemen memperlihatkan segala kesemrawutan itu. Ini soal pengaturan 28 lembaga, seperti Badan Intelijen Negara (BIN), Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Biro Pusat Statistik, dan lainnya. Dalam tempo dua bulan, dua kali sudah beleid ini bolak-balik diralat.
Dan ini contoh kesekian dari sejumlah kesemrawutan serupa sebelumnya. Akhir Desember 1999 lalu, misalnya, keluar peraturan pemerintah yang mengalihkan kewenangan mengurus badan usaha milik negara (BUMN) di bidang jasa keuangan dari Menteri Keuangan ke Menteri Negara Pendayagunaan BUMN. Usianya pun tak lama. Lima hari kemudian, keluar peraturan sejenis yang menganulirnya. Amburadul juga terjadi pada keppres pemindahan Direktorat Jenderal Perkebunan dari Departemen Kehutanan ke Departemen Pertanian. Tak berapa lama, sebuah keppres lain membatalkannya.
Dari dokumen yang didapat TEMPO, soal ini pertama kali ditetapkan dengan Keppres No. 166/2000, yang diteken Presiden pada 23 November lalu. Antara lain dinyatakan, semua lembaga itu berada di bawah tanggung jawab presiden, dan dalam pelaksanaan tugasnya dikoordinasikan oleh menteri terkait. Tapi ada pengecualian. BIN dan BPKP tak berada di bawah koordinasi menteri mana pun.
Belum sampai sebulan, sudah terbit edisi revisi. Pada 15 Desember, muncul Keppres No. 173/2000 yang diteken Wakil Presiden Megawati. Ketika itu, Presiden sedang melancong ke Thailand. Ralat menyangkut BPKP. Lembaga audit ini dimasukkan dalam wilayah koordinasi Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (PAN). Beres? Belum. Sebulan kemudian, melalui Keppres No. 16/2001, per 23 Januari, lagi-lagi ada koreksi. Ditandatangani Presiden Abdurrahman, BPKP hilang dari daftar lembaga yang dikoordinasikan Menteri Negara PAN. Kali ini nongol sebuah badan baru: Lembaga Informasi Nasional. Perkaranya, dalam Keppres No. 166/2000, cikal bakal lembaga ini (semula bernama Badan Informasi dan Komunikasi Nasional, wadah eks Departemen Penerangan) justru dihapus. Latar belakang kisruh ini dijelaskan mantan Menteri Negara PAN, Ryaas Rasyid. Benar, kata Ryaas, kementeriannyalah yang menyusun rancangannya. Keppres 166 dibuat dengan asumsi BPKP dan inspektorat departemen dilebur menjadi sebuah badan audit otonom langsung di bawah presiden. Terhadap usul Ryaas ini, Presiden sudah mengangguk setuju. Karena inilah, BPKP dilepaskan dari kementerian PAN seperti sebelumnya. Eh, celakanya, setelah Keppres 166 keluar, Presiden berubah pikiran. Peleburan dibatalkan. Maka, diterbitkanlah Keppres 173 untuk meralatnya. BPKP kembali ke posisi semula di bawah Menteri Negara PAN. "Yah, begitulah amburadulnya administrasi pemerintahan sekarang ini," kata Ryaas.
Lalu, bagaimana dengan Keppres No. 16/2001? Ryaas mengaku gelap hal-ihwalnya. Saat itu ia sudah mundur dari kabinet. Yang pasti, katanya lagi, ralat terakhir tidak melalui kantornya. Soal ini telah dikonfirmasikannya langsung ke Deputi Kelembagaan PAN. Seorang pejabat BPKP yang terlibat dalam penyusunan draf mengungkapkan hal serupa. Ia malah menyodorkan sebuah rancangan keppres baru yang belum diteken, masih soal ini. Yang menarik, isinya cuma mengacu ke Keppres 173. "Kami sama sekali tak tahu adanya Keppres 16 itu," tuturnya.
Ryaas menduga, koreksi terakhir ada kaitannya dengan kabar yang baru didengarnya. Dalam waktu dekat, Kementerian PAN akan dilikuidasi dan dilebur dengan Sekretariat Negara. Gejala ini tampak dengan ditunjuknya Sekretaris Kabinet Marsillam Simanjuntak sebagai Menteri Negara PAN ad interim.
Tapi, menurut Wakil Sekretaris Kabinet Erman Radjagukguk, hilangnya BPKP dari wilayah koordinasi Menteri Negara PAN sebenarnya cuma karena soal teknis. "Ini cuma salah ketik," katanya. Koreksi langsung dilakukan sehari setelah diterbitkan. Keppres 16 ini memang didraf langsung berdasarkan pengarahan Presiden, bukan atas inisiatif Menteri PAN. Tapi, Ryaas ketika itu sudah membubuhkan paraf persetujuannya. Erman mengakui, memang ada sejumlah kasus ketidakakuratan serupa. Penyebabnya, pihaknya kewalahan akibat menggunungnya permintaan keppres dari departemen teknis.
Tapi, lalu ada keanehan lain lagi. Kalau memang koreksi sudah dilakukan, keputusan Kepala BPKP yang baru diteken 20 Februari kemarin sama sekali tak menyinggung posisi BPKP yang dikembalikan di bawah koordinasi Menteri PAN itu. Cuma tertera "BPKP? berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden", titik. Kepala BPKP, Arie Soelendro, sendiri berkelit dan tak menjawab inti pertanyaan TEMPO. Katanya, tak ada perubahan mendasar dari semua versi keppres itu. Toh, semuanya memang bertanggung jawab kepada presiden. Sudah klir?
Semrawut, baru itu yang jelas.
Karaniya Dharmasaputra, Arif Kuswardono, Gita W. Laksmini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini