Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengapa Selalu Harus Juara?

Wawancara dengan erland kops, juara tunggal all england 7 kali (1958-1967) mengenai pandangan kops dan arti kejuaraan dalam olah raga bulu tangkis. (or)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA versi lain dari arti juara. Datangnya dari seorang yang kepalanya hampir botak, brewoknya memutih dan perutnya buncit. Dialah Erland Kops, juara tunggal All England sebanyak 7 kali, periode 1958-1967, sebelum direbut Rudy Hartono pada tahun 1968. Dia juga menyandang gelar juara ganda berpasangan dengan H. Borch, 3 tahun berturut-turut dari tahun 1967-1969. Dalam Kejuaraan Dunia Bulutangkis III di Kopenhagen (2-8 Mei), Kops terlihat aktif sebagai anggota penyelenggara. Minatnya di bidang bulu tangkis memang tak pernah surut. Meski sehari-hari veteran bulu tangkis Denmark itu sudah cukup sibuk dengan dua buah restoran yang dikelolanya di pusat Kopenhagen. Kops juga masih aktif sebagai pemain, maupun pengurus sebuah klub bulu tangkis. Bulan Juni ini, ia diundang bersama-sama dengan pemain veteran dunia lainnya, termasuk Rudy Hartono, untuk pertandingan di Taipeh pada turnamen bulu tangkis internasional "kelompok umur". "Anda jangan lihat kepala dan perut saya," katanya kepada Lukman Setiawan, yang menemuinya di Admiral Hotel bersama Rudy Hartono. "Lihat bagaimana saya beraksi di lapangan nanti," tambah Kops yang tampaknya enggan menyebut dirinya tua, sekalipun telah berusia 46 tahun. Pada malam perpisahan di Tivoli Garden, taman rianya Kopenhagen, di gedung konser yang khusus ditata menjadi lapangan, Kops memperlihatkan sisa kebolehannya. Berpasangan dengan Ade Chandra, Kops meladeni lawan yang terdiri dari Rudy Hartono/Elo Hansen. Eksibisi partai ganda itu sekaligus mengakhiri Kejuaraan Dunia 1983, yang berikutnya akan berlangsung di Calgary, Kanada, Mei 1985. Pandangan Kops, dan arti kejuaraan dalam olah raga bulu tangkis baginya, ia kemukakan lewat wawancara berikut, beberapa hari menjelang final King-Icuk: Menurut Anda apakah pemain Eropa sudah dapat mengejar ketinggalannya dari pemain Asia? Sebaiknya Anda tidak menggunakan kata "mengejar". Karena tak ada yang dikejar. Persaingan di forum internasional belakangan ini memang didominasi pemain Asia dengan gaya dan pola permainan keras, cepat, dan dengan ketahanan tinggi. Tapi ada pasang surutnya. Eropa mempunyai kondisi dan latar belakang sendiri. Dengan caranya sendiri pemain Eropa akan memberi jawaban atas setiap tantangan. Kita di Denmark tidak bisa "memproduksi" pemain seperti yang Anda lakukan lewat pelatnas. Kita lebih didasarkan atas kesadaran individu: olah raga bulu tangkis, misalnya, adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup sehari-hari. Saya sendiri di samping bulu tangkis, main tenis, golf, handball, dan apa saja yang bersifat rekreatif. Tapi ini tak berarti kita mengabaikan prestasi. Untuk ini kita tingkatkan organisasinya. Di bidang bulu tangkis, misalnya, kini ada "pemain lisensi" yang menurut kategori IBF sebagai pemain "profesional". Dengan rangsangan tertentu mereka menempuh sirkuit kompetisi yang dapat meningkatkan mutu permainan. Bagaimana pendapat Anda setelah Indonesia kalah di turnamen Piala Thomas, Piala Uber, Asian Games dan All England? Turunkah standar mutu bulu tangkis Indonesia? Dunia bulu tangkis Indonesia belum kiamat. Saya katakan ada masa pasang-surut. Tak mungkin terus di puncak. Indonesia, dan kebanyakan negara-negara Asia lainnya mempunyai latar belakang sendiri. Partisipasinya dalam kompetisi internasional diganduli misi tertentu, sekalipun menurut saya itu suicide mission. Maksud Anda? Maksud saya (seraya mcnunjuk Rudy), dia dan saya ikut bersalah. Kami terlalu lama bercokol di puncak (All England). Perkembangan jadi mandek. "There's no fun anymore". Sukses Indonesia dalam turnamen-turnamen besar selama 20 tahun itu ikut merusak standar bulu tangkis nasionalnya. Ditambah lagi ada beleid isolasi terhadap pemain Cina. Mungkin karena kalian takut kalah, lalu menghindar bertanding dengan mereka. Kita realistis sajalah. Dalam pekerjaan, dalam percintaan, dalam perkawinan, pendeknya dalam liku-liku kehidupan, pasti kita pernah mengalami kegagalan. Tahukah Anda, untuk bertahan sebagai seorang juara tidak gampang. Fisik mungkin mampu, tapi mental tak bisa tahan. Terus terang, Rudy dan saya merupakan kecualian. Ruang di puncak juara itu teramat sempit. Mengapa Anda tidak bisa bangga jadi juara dua, misalnya. Mengapa selalu harus menuntut menjadi juara satu? Konkritnya bagaimana advis Anda? Indonesia mempunyai latar belakang sendiri. Menjadi juara bisa berarti segala-galanya. Baiklah saya ingatkan, Sun Aihwang dari Kor-Sel ketika memenangkan gelar juara tunggal All England 1981, mendapat sambutan luar biasa meriahnya, termasuk hadiah macam-macam barangkali. Dari presiden di istana sampai suporternya di pinggir jalan turut bergembira atas sukses Sun. Tapi kemudian apa yang terjadi? Latihan Sun terabaikan. Ia mabuk kemenangan, dan permainannya kini merosot. Anda tahu, sekalipun saya kalah tetap merasa bangga bila saya pulang dengan gelar juara kedua. Saya baru sedih seandainya 5,2 juta rakyat Denmark merosot minatnya terhadap bulu tangkis. Di negeri ini terdapat 165.000 pemain terdaftar dengan 3.500 lapangan bulu tangkis tertutup. Ini berarti kita memiliki jumlah pemain terbesar di antara 59 negara anggota IBF. Ingat, RRC hanya memiliki 100.000 pemain terdaftar. Jadi, ada nilai-nilai lain yang harus ditata dan dibina dalam bulu tangkis. Anda, di pihak pers, ikut bertanggung jawab juga. Karena hanya membesar-besarkan sudut kalah-menang saja. Teroponglah dari segi lain. Nah, apa yang Anda telah lakukan selama berada di puncak kejayaan sekian lama? Inilah yang akan menentukan standar mutu bulu tangkis Indonesia di masa yang akan datang. Sekarang bagaimana pendapat Anda mengenai pemain muda kita Icuk? Saya baru sekali menyaksikan Icuk main di Taiwan beberapa waktu lalu. Kesan saya dia cukup baik. Dia ulet dan punya kecepatan. Tapi sementara ini dia belum setaraf Swie King, apalagi dibandingkan dengan saya dan Rudy di masa jaya kami. Dalam orkes, paling-paling dia merupakan pemain musik yang baik. Kualitas dirigen seperti yang diperlihatkan King atau Rudy masih belum terlihat pada anak itu. Ia malah memberi kesan membiarkan lawan menguasai permainan. Ibarat pengendara mobil ia baru pandai meluncur dengan tingkat persneling tertentu. Belum menguasai semua yang menjadi syarat pokok untuk menguasai medan. Ia masih harus banyak belajar dan bertanding.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus