ADA versi lain dari arti juara. Datangnya dari seorang yang
kepalanya hampir botak, brewoknya memutih dan perutnya buncit.
Dialah Erland Kops, juara tunggal All England sebanyak 7 kali,
periode 1958-1967, sebelum direbut Rudy Hartono pada tahun 1968.
Dia juga menyandang gelar juara ganda berpasangan dengan H.
Borch, 3 tahun berturut-turut dari tahun 1967-1969.
Dalam Kejuaraan Dunia Bulutangkis III di Kopenhagen (2-8 Mei),
Kops terlihat aktif sebagai anggota penyelenggara. Minatnya di
bidang bulu tangkis memang tak pernah surut. Meski sehari-hari
veteran bulu tangkis Denmark itu sudah cukup sibuk dengan dua
buah restoran yang dikelolanya di pusat Kopenhagen. Kops juga
masih aktif sebagai pemain, maupun pengurus sebuah klub bulu
tangkis.
Bulan Juni ini, ia diundang bersama-sama dengan pemain veteran
dunia lainnya, termasuk Rudy Hartono, untuk pertandingan di
Taipeh pada turnamen bulu tangkis internasional "kelompok umur".
"Anda jangan lihat kepala dan perut saya," katanya kepada Lukman
Setiawan, yang menemuinya di Admiral Hotel bersama Rudy Hartono.
"Lihat bagaimana saya beraksi di lapangan nanti," tambah Kops
yang tampaknya enggan menyebut dirinya tua, sekalipun telah
berusia 46 tahun.
Pada malam perpisahan di Tivoli Garden, taman rianya Kopenhagen,
di gedung konser yang khusus ditata menjadi lapangan, Kops
memperlihatkan sisa kebolehannya. Berpasangan dengan Ade
Chandra, Kops meladeni lawan yang terdiri dari Rudy Hartono/Elo
Hansen. Eksibisi partai ganda itu sekaligus mengakhiri Kejuaraan
Dunia 1983, yang berikutnya akan berlangsung di Calgary, Kanada,
Mei 1985.
Pandangan Kops, dan arti kejuaraan dalam olah raga bulu tangkis
baginya, ia kemukakan lewat wawancara berikut, beberapa hari
menjelang final King-Icuk:
Menurut Anda apakah pemain Eropa sudah dapat mengejar
ketinggalannya dari pemain Asia?
Sebaiknya Anda tidak menggunakan kata "mengejar". Karena tak ada
yang dikejar. Persaingan di forum internasional belakangan ini
memang didominasi pemain Asia dengan gaya dan pola permainan
keras, cepat, dan dengan ketahanan tinggi. Tapi ada pasang
surutnya.
Eropa mempunyai kondisi dan latar belakang sendiri. Dengan
caranya sendiri pemain Eropa akan memberi jawaban atas setiap
tantangan. Kita di Denmark tidak bisa "memproduksi" pemain
seperti yang Anda lakukan lewat pelatnas. Kita lebih
didasarkan atas kesadaran individu: olah raga bulu tangkis,
misalnya, adalah bagian yang tak terpisahkan dari hidup
sehari-hari.
Saya sendiri di samping bulu tangkis, main tenis, golf,
handball, dan apa saja yang bersifat rekreatif. Tapi ini tak
berarti kita mengabaikan prestasi. Untuk ini kita tingkatkan
organisasinya. Di bidang bulu tangkis, misalnya, kini ada
"pemain lisensi" yang menurut kategori IBF sebagai pemain
"profesional". Dengan rangsangan tertentu mereka menempuh
sirkuit kompetisi yang dapat meningkatkan mutu permainan.
Bagaimana pendapat Anda setelah Indonesia kalah di turnamen
Piala Thomas, Piala Uber, Asian Games dan All England? Turunkah
standar mutu bulu tangkis Indonesia?
Dunia bulu tangkis Indonesia belum kiamat. Saya katakan ada masa
pasang-surut. Tak mungkin terus di puncak. Indonesia, dan
kebanyakan negara-negara Asia lainnya mempunyai latar belakang
sendiri. Partisipasinya dalam kompetisi internasional diganduli
misi tertentu, sekalipun menurut saya itu suicide mission.
Maksud Anda?
Maksud saya (seraya mcnunjuk Rudy), dia dan saya ikut bersalah.
Kami terlalu lama bercokol di puncak (All England). Perkembangan
jadi mandek. "There's no fun anymore". Sukses Indonesia dalam
turnamen-turnamen besar selama 20 tahun itu ikut merusak standar
bulu tangkis nasionalnya. Ditambah lagi ada beleid isolasi
terhadap pemain Cina. Mungkin karena kalian takut kalah, lalu
menghindar bertanding dengan mereka.
Kita realistis sajalah. Dalam pekerjaan, dalam percintaan, dalam
perkawinan, pendeknya dalam liku-liku kehidupan, pasti kita
pernah mengalami kegagalan. Tahukah Anda, untuk bertahan sebagai
seorang juara tidak gampang. Fisik mungkin mampu, tapi mental
tak bisa tahan. Terus terang, Rudy dan saya merupakan kecualian.
Ruang di puncak juara itu teramat sempit. Mengapa Anda tidak
bisa bangga jadi juara dua, misalnya. Mengapa selalu harus
menuntut menjadi juara satu?
Konkritnya bagaimana advis Anda?
Indonesia mempunyai latar belakang sendiri. Menjadi juara bisa
berarti segala-galanya. Baiklah saya ingatkan, Sun Aihwang dari
Kor-Sel ketika memenangkan gelar juara tunggal All England 1981,
mendapat sambutan luar biasa meriahnya, termasuk hadiah
macam-macam barangkali. Dari presiden di istana sampai
suporternya di pinggir jalan turut bergembira atas sukses Sun.
Tapi kemudian apa yang terjadi? Latihan Sun terabaikan. Ia mabuk
kemenangan, dan permainannya kini merosot.
Anda tahu, sekalipun saya kalah tetap merasa bangga bila saya
pulang dengan gelar juara kedua. Saya baru sedih seandainya 5,2
juta rakyat Denmark merosot minatnya terhadap bulu tangkis. Di
negeri ini terdapat 165.000 pemain terdaftar dengan 3.500
lapangan bulu tangkis tertutup. Ini berarti kita memiliki jumlah
pemain terbesar di antara 59 negara anggota IBF. Ingat, RRC
hanya memiliki 100.000 pemain terdaftar.
Jadi, ada nilai-nilai lain yang harus ditata dan dibina dalam
bulu tangkis. Anda, di pihak pers, ikut bertanggung jawab juga.
Karena hanya membesar-besarkan sudut kalah-menang saja.
Teroponglah dari segi lain. Nah, apa yang Anda telah lakukan
selama berada di puncak kejayaan sekian lama? Inilah yang akan
menentukan standar mutu bulu tangkis Indonesia di masa yang akan
datang.
Sekarang bagaimana pendapat Anda mengenai pemain muda kita Icuk?
Saya baru sekali menyaksikan Icuk main di Taiwan beberapa waktu
lalu. Kesan saya dia cukup baik. Dia ulet dan punya kecepatan.
Tapi sementara ini dia belum setaraf Swie King, apalagi
dibandingkan dengan saya dan Rudy di masa jaya kami. Dalam
orkes, paling-paling dia merupakan pemain musik yang baik.
Kualitas dirigen seperti yang diperlihatkan King atau Rudy masih
belum terlihat pada anak itu. Ia malah memberi kesan membiarkan
lawan menguasai permainan. Ibarat pengendara mobil ia baru
pandai meluncur dengan tingkat persneling tertentu. Belum
menguasai semua yang menjadi syarat pokok untuk menguasai medan.
Ia masih harus banyak belajar dan bertanding.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini