SEORANG astronom, jebolan badan ruang angkasa AS, NASA, bilang
begini: "Setiap kali arah medan magnet pada matahari berubah
sekian derajat, rumah saya di Washington kena badai musim
dingin, sementara di Kanada terjadi gangguan pada lapisan udara
bagian atas." Astronom ini, Prof. Dr. D.G. Wentzel dari
Universitas Maryland, hendak mengungkapkan lagi misteri matahari
terkupas -- teori sebelumnya menyatakan bahwa gangguan iklim
diduga sebagai pengaruh gravitasi matahari.
Memang, kata Wentzel, 48 tahun, "baru lima tahun belakangan ini
saja diketahui bentuk aktivitas fisik matahari." Yaitu setelah
melalui penyelidikan intensif dengan menggunakan Skylab.
Kemajuan itulah yang mendesak International School for Young
Astronomers, program IAU (International Astronomical Union)
tahun ini memilih fisika matahari sebagai tema -- di samping
struktur galaksi.
Program tahunan yang ke-13 astronom muda, 16 Mei sampai 2 Mei,
kini berlangsung di Lembang (Jawa Barat). Kalau disebut astronom
muda, di sini sama sekali tak ada kaitannya dengan usia. Karena
yang jadi murid, paling sedikit menyandang gelar M.Sc. Malah,
dari 21 murid yang berdatangan dari berbagai negara, sembilan
orang di antaranya sudah bergelar doktor (PhD). "Tapi mereka
doktor yang masih baru," uja Prof. Dr. Bambang Hidayat, direktur
Peneropong Bintang Bosscha, Lembang, salah seorang pengajar di
sekolah ini. Pengajar lainnya, juga para profesor, atau paling
tidak doktor, datang dari Amerika (4 orang), Inggris,
Cekoslowakia, dan Jepang, masing-masing satu orang.
Kegiatan di sana memang mirip sekolah. Ada dosen, ada murid,
berkumpul di satu ruangan di Balai Pengembangan Kegiatan
Belajar, Jayagiri, Lembang, milik Departemen P & K. Departemen
ini memang salah satu sponsornya, selain Unesco dan IAU. Jadwal
pelajarannya pun cukup ketat: sejak pukul 08.30 pagi sampai
pukul 17.00. Tapi, menurut Bambang Hidayat, "sekolah ini tak
diakhiri dengan ujian dan para peserta tak wajib menghasilkan
suatu kesimpulan."
Memang yang diajarkan di sana pun rasanya seperti "khayalan"
saja. Misalnya, untuk topik Struktur Galaksi, para dosen
bercerita tentang "Awan Magellan" (Magellan Cloud Galaxy),
sebuah galaksi yang relatif lebih kecil dan dekat dengan Bima
Sakti, galaksi tempat bumi kita ini bercokol. Dengan mempelajari
Awan Magellan, diharapkan diperoleh bahan pembanding, untuk
mengenal Bima Sakti. "Untuk mengenal suatu sistem, kita harus
melihat dari luar sistem tersebut," ujar Bambang Hidayat.
Bima Sakti, yang berbentuk spiral itu, terbentang selebar
100.000 tahun cahaya (1 detik cahaya = sekitar 300.000 km). Tata
surya kita -- matahari beserta planetnya, salah satu di
antaranya bumi -- terletak 30.000 tahun cahaya dari pusar Bima
Sakti. Sehingga matahari, bumi, atau planet lain tak ubahnya
cuma titik-titik di tengah sebuah piring Bima Sakti. Lantas yang
dibahas di Lembang, galaksi lain lagi di luar Bima Sakti.
Indonesia sudah dua kali menjadi tuan rumah (yang pertama tahun
1973) sekolah tersebut. Ini membuat bangga Bambang Hidayat, yang
memimpin panitia kesibukan ini. Karena syarat jadi tuan rumah,
katanya, harus mampu menyediakan pengajar tingkat internasional,
selain punya sumbangan hasil riset ilmiah di bidang astronomi.
Apalagi, kebetulan Juni nanti kan ada gerhana matahari di sini,
sehingga para pengajar bisa ke Lembang meneliti gerhana. Dr.
Moris L. Aizenman, astronom dari semacam LIPI di AS, dan Prof.
Dr. Eijiro Hiei, dari peneropong bintang Tokyo, misalnya,
termasuk di antara para dosen yang bakal meneliti gerhana di
sini. Keduanya memang ketua tim gerhana matahari dari negerinya.
Tapi Eijiro agaknya sial. Sebuah lensa 22 cm berikut 3
kameranya, yang khusus untuk memotret gerhana, disikat maling
ketika dia menginjakkan kaki di Bandar Udara Halim
Perdanakusumah, 9 Mei lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini