Sepak bola Indonesia semakin muram saja. Mutu malah merosot, padahal pelatihnya sudah orang asing. "Kembalikan kepengurusan PSSI ke tangan orang-orang bola," saran Sucipto. MUNGKIN inilah saat yang paling mengganggu tidur para pengurus sepak bola Indonesia. Kritik pedas tiap hari meluncur deras ke alamat PSSI. Itu karena tim PSSI Senior kalah telak di Piala Presiden, Korea Selatan. Tim Pra-Olimpiade juga nasibnya belum tentu mulus, karena walaupun Ahad lalu menang 2-1 melawan Cina Taipei, seminggu sebelumnya bertekuk lutut di tangan Jepang di Surabaya. Sementara itu, lapangan hijau masih juga berubah jadi arena perburuan wasit, seperti yang terjadi pada semifinal Piala Suratin pekan lalu di Stadion Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Pemain-pemain berusia di bawah 19 tahun dari PSSB Bireuen dengan berani mengepung wasit Adeng Hidayat, yang baru saja meniup peluit panjang dengan kemenangan Persikasi Bekasi 1-0. Tapi potret sepak bola Indonesia harus diakui makin muram. Pelatih tim senior asal Soviet, Anatoly F. Polosin, barangkali belum begitu stres membaca kritik di koran- lebih-lebih karena ia memang belum begitu lancar membaca dalam bahasa Indonesia. Ketika TEMPO mengunjungi rumahnya di kompleks elite Pondok Indah- rumah seluas 350 meter persegi itu terlihat asri, ada kolam, dan halaman ditanami rumput Manila- tak terlihat ada sebuah koran pun di sana. "Kemarin kita kalah itu wajar, kok," ujar pelatih seangkatan Valery Lobanovsky ini- pelatih Soviet di Piala Dunia 1990- tentang hasil di Korea Selatan. Ia tetap tenang, sesekali terdengar ia tertawa. Padahal, tim asuhannya inilah yang paling banyak disorot. Bayangkan saja, dari Malta dan Korea Selatan A, Indonesia kalah masing-masing 0-3. Melawan Mesir, lebih parah lagi, enam gol bersarang tanpa balas. Total jenderal, 12 gol bersarang di gawang Indonesia. Nahasnya, Ricky Yacob dan kawan-kawannya tak mampu mencetak sebuah gol pun. "Sebelum berangkat, kami sudah tahu kok, bakal kalah," ujar Polosin. Alasannya, Malta memang negeri kecil, tapi banyak pemainnya yang bermain di klub-klub Eropa. Korea Selatan, itu wakil Asia di Piala Dunia 1986 dan 1990. Dan Mesir, juara Afrika tahun lalu, adalah juga wakil Afrika di Piala Dunia Italia. Polosin justru melihat "kemenangan" dari kekalahan itu. Yakni, soal mobilitas pemain. Melawan Malta, di babak pertama ada 306 gerakan dan meningkat jadi 330 di babak kedua. Angka ini meningkat lagi di pertandingan melawan Korea Selatan dan Mesir. Angka-angka ini menunjukkan berapa kali seorang pemain melakukan sentuhan dengan bola. Lha, kapan angka-angka tadi berubah jadi gol? Polosin bilang, itu butuh waktu. "Metode latihan yang bagaimana pun juga tetap butuh waktu untuk mencapai hasil bagus," kata pelatih yang dikontrak dengan target merebut medali emas SEA Games Manila nanti. Polosin sangat percaya pada angka-angka tadi. Makin banyak bergerak, makin aktif, makin baik. Ia menjaring pemain dengan metode ini dari kompetisi Galatama dan Perserikatan. Agak berbeda, misalnya, dengan cara pelatih asal Yugoslavia Tony Pogaknik. Pelatih kenamaan itu berkelana ke daerah-daerah mengamati klub-klub kecil. Dari alun-alun Pekalongan, misalnya, ia menemukan penyerang andal Mubarak dari klub Al-Hilal. Di Denpasar, ia menemukan "Si Kancil" Abdul Kadir. Bahkan Tony juga yang memindahkan Ramang dari posisi back jadi penyerang tengah andal. Tim asuhan Tony inilah yang mencatat tonggak prestasi terbaik sampai saat ini: tampil di Olimpiade Melbourne 1956 dan sempat menahan Soviet 0-0- walau akhirnya kalah di perpanjangan waktu. Dibandingkan prestasi tim Tony ini, tim Polosin, V. Urin, dan Danurwindo sekarang sangat ketinggalan. Waktu melawan Mesir, kata Danurwindo, baik postur, teknik, maupun taktik, Indonesia kalah jauh. "Ketika pertandingan dimulai, saya hanya berdoa semoga kita tak kalah banyak," ujar pelatih klub Arseto Solo ini. Ronny Pattinasarani, pelatih klub Petro Kimia Putra yang membantu Iswadi menangani tim Pra-Olimpiade, melihat latihan dasar pemain kita lemah. Artinya, sistem pembinaan salah. "Kalau yang salah pembinaannya, berarti organisasinya juga salah," kata Ronny, menyindir PSSI. Tapi ia tegas menolak memberi saran untuk PSSI. "Saya capek menyampaikan saran," ujar pemain gelandang terbaik Indonesia ini, agak bersungut-sungut. Sucipto Suntoro, bekas anggota dewan pelatih PSSI, lebih lantang. "Saya melihat mutu pemain nasional merosot," ujar Gareng, begitu julukan bekas penyerang andal ini. Begitu gampang menjadi pemain nasional. Dengan ukuran prestasi di Piala Presiden yang baru lalu, ia menilai Polosin telah gagal. "Karena sudah melatih setahun enam bulan, kok bikin satu gol saja sulit," kata Sucipto. Penasihat teknik tim Pra-Olimpiade ini melihat sudah saatnya pelatih-pelatih lokal, seperti Iswadi Idris dan Ronny Patti, diberi tempat. Yang terpenting, " Kembalikan kepengurusan PSSI ke tangan orang-orang bola." Ia menilai pengurus PSSI sekarang terlalu alergi pada kritik. Sekum PSSI Nugraha Besoes menangkis. "Saya tak pernah bosan dikritik," kata Besoes, yang juga anggota DPR dari Golkar. Dan ia menolak anggapan prestasi PSSI sekarang sedang merosot. "Kita dalam tahap mengejar ketinggalan," kata Besoes. Adapun ukurannya adalah medali emas SEA Games Manila, yang menjadi sasaran utama kepengurusan Kardono, yang akan berakhir Desember nanti. Jadi, sabar sajalah menunggu. Toriq Hadad dan Iwan Qodar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini