Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Utang dan krisis

Krisis neraca pembayaran struktural yaitu penda- patan ekspor tidak cukup untuk pengeluaran impor, dan tidak bisa didapat dengan tambahan pinjaman luar negeri.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Utang dan Krisis R. RAMLI* INDONESIA cukup beruntung. Sidang IGGI Rabu yang lalu memutuskan untuk memberikan pinjaman sebesar US$ 4,75 milyar, termasuk US$ 1 milyar dalam bentuk pinjaman yang disebut sebagai fast disbursing assistance (FDA), atau pinjaman yang segera bisa dicairkan. Padahal dunia sedang mengalami pengetatan kredit, akibat kebutuhan modal di Eropa Timur dan kecenderungan resesi di negara-negara maju. Namun, adanya komponen FDA dalam pinjaman IGGI itu bisa menimbulkan sejumlah pertanyaan. Misalnya, apakah manfaat FDA? Apakah cara penyelesaian dengan FDA itu jawaban terhadap masalah kronik neraca pembayaran Indonesia? Pinjaman FDA dimaksudkan sebagai alat untuk berjaga-jaga terhadap kemungkinan kesulitan neraca pembayaran pada tahun anggaran yang akan datang. Di samping pinjaman FDA, Bank Indonesia sudah juga bersiap dengan mencari pinjaman standby loan dari bank-bank komersial pada akhir bulan April yang lalu (TEMPO, 11 Mei 1991). Ditambah dengan cadangan devisa yang terkumpul di Bank Indonesia sebagai akibat kebijaksanaan uang ketat, persiapan yang dilakukan untuk menghadapi kemungkinan krisis neraca pembayaran sungguh-sungguh serius. Secara teoretis, seperti yang diajarkan dalam textbook ekonomi makro, meminjam untuk menutup defisit neraca pembayaran diperkenankan jika defisit itu bersifat jangka pendek dan temporer. Tetapi jika ketidak seimbangan neraca pembayaran bersifat jangka panjang dan struktural, maka pinjaman untuk menutupi defisit bukanlah jalan keluar yang tepat. Kenapa? Karena persoalan neraca pembayaran jangka pendek pada dasarnya hanyalah persoalan akunting, yang muncul karena adanya perbedaan timing antara pendapatan dan pengeluaran valuta asing. Sementara itu, persoalan neraca pembayaran jangka panjang lebih bersifat struktural: artinya pendapatan dari ekspor tak pernah mencukupi pengeluaran untuk kebutuhan impor. Konsekuensinya: krisis neraca pembayaran struktural tidak bisa diobati dengan tambahan pinjaman luar negeri. Ada beberapa alasan mengapa persoalan neraca pembayaran Indonesia saat ini bukan hanya persoalan cashflow yang bersifat sementara. Pertama, beban kewajiban pembayaran utang luar negeri makin lama makin besar. Sejak tahun 1985, transfer netto modal keluar- yaitu selisih antara utang baru dan cicilan utang per tahun- semakin lama semakin besar. Sebagai contoh, utang baru Indonesia pada tahun 1990 berjumlah US$ 4,6 milyar sedangkan cicilan utangnya mencapai US$ 6,6 milyar. Artinya terjadi transfer netto modal keluar sebesar US$ 2 milyar. Transfer modal keluar tersebut akan semakin besar pada tahun-tahun mendatang, karena pokok pinjaman dari utang pada dasawarsa sebelumnya sudah mulai jatuh tempo. Tambahan pula, diramalkan tingkat bunga pinjaman kelak tidak akan turun. Kedua, pertumbuhan ekspor non-oil yang luar biasa pada tahun akhir 1980-an sudah menurun- hanya naik 6% pada tahun fiskal 1990/91. Sebaliknya pertumbuhan impor non-oil/gas naik dengan pesat, sampai 30% pada tahun yang sama. Jika kenaikan impor yang besar itu ditujukan untuk pertumbuhan industri ekspor, kenaikan itu tidak perlu dikhawatirkan. Tetapi besar dugaan bahwa kenaikan impor yang besar pada tahun-tahun belakangan ini digunakan untuk barang modal dan bahan baku industri yang ditujukan untuk pasar dalam negeri. Sehingga kenaikan ekspor non-oil yang spektakuler agak sukar terjadi dalam waktu dekat. Ketiga, telah terjadi perubahan struktur pendapatan ekspor Indonesia sejak 1986. Setelah 1986, pendapatan ekspor Indonesia cenderung dikuasai oleh sektor swasta. Hanya sebagian kecil dari pendapatan ekspor non-migas itu masuk kas negara melalui mekanisme perpajakan. Perubahan struktur pendapatan ekspor itu mempunyai implikasi terhadap kemampuan negara membayar cicilan utang. Supaya terus bisa memenuhi kewajiban cicilan utangnya, negara harus melakukan pengetatan terhadap pengeluaran dalam negeri. Hal ini merupakan dilema baru buat pemerintah Indonesia. Ketika era boom minyak, boleh dikatakan, tidak ada trade-off antara kewajiban membayar utang dan pengeluaran dalam negeri. Tetapi sekarang, ada kaitan langsung antara kewajiban membayar utang dan tekanan untuk membatasi pengeluaran dalam negeri. Semakin pentingnya sektor swasta dalam perekonomian Indonesia juga diikuti dengan peningkatan pinjaman luar negeri oleh sektor swasta. Menurut data IMF pinjaman luar negeri swasta sampai saat ini mencapai US$ 21 milyar. Pinjaman luar negeri sektor swasta biasanya berjangka pendek (1-5 tahun) dan berbunga relatif tinggi dibandingkan dengan pinjaman pemerintah. Tidak ada yang mengetahui dengan persis untuk apa saja pinjaman sebesar itu digunakan. Indikasi sampai saat ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil yang digunakan untuk mengembangkan kapasitas ekspor. Jika sektor swasta meminjam di luar negeri bukan untuk keperluan ekspor, mereka tidak hanya meningkatkan risiko perusahaan mereka sendiri- tetapi juga meningkatkan risiko krisis neraca pembayaran negara keseluruhan. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa mereka ternyata tidak mampu menanggung risiko itu sendiri, seperti pada kasus-kasus utang semen Cibinong, kasus PT Krakatau Cold Rolling Mill (CRMI), dan Bank Duta. Walaupun perusahaan-perusahaan tersebut bukan perusahaan milik negara seperti Pertamina, ketiga mereka mengalami kesulitan finansial, negara "terpaksa" ikut menyelamatkan perusahaan-perusahaan itu. Memang sudah terlambat untuk melakukan perubahan penting untuk tahun fiskal yang akan datang. Tetapi langkah perubahan untuk memperbaiki neraca pembayaran Indonesia secara struktural harus dilakukan sejak sekarang. Termasuk di antaranya menunda mega-proyek bernilai trilyunan, mengurangi impor barang modal dan baku untuk konsumsi dalam negeri dan mengarahkan kredit, terutama untuk perusahaan berorientasi ekspor. * Ekonom lulusan Boston University, Associate Fellow di sebuah lembaga di Jakarta dan pengajar program MM- Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus