Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Rambut ruud gullit di desa jawa

Masyarakat jawa percaya, rambut punya kekuatan ma- gis. mereka memberlakukan rambut dengan sikap khu- sus. sejak bayi hingga usia sekolah rambut tak bo- leh dipotong. agar jauh dari penyakit.

22 Juni 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tiap anak dianggap memiliki bakat gembel. Di Jawa tak boleh sembarangan mencukur bocah. RAMBUT kita mahkota kita. Dan karena merupakan lambang derajat yang tinggi itu sang rambut pun dipercaya menyimpan tenaga magis. Ingat, misalnya, Samson yang sakti mandraguna, kekuatannya lenyap ketika kekasihnya, Delilah, yang kena tipu daya musuh, memotong rambutnya. Memperlakukan rambut dengan sikap khusus sudah lama dikenal di masyarakat Jawa. Seperti di Jawa Tengah, rambut anak-anak hingga usia enam tahun dibiar kan menggumpal pada bagian depan kepalanya. Dan bagian lainnya dicukur klimis. Model seperti itu disebut rambut kuncung. Sedangkan di lereng Gunung Merbabu, Jawa Tengah, rambut anak sejak bayi hingga usia sekolah sama sekali tak boleh dipotong. Tujuannya untuk mencegah berbagai penyakit. Lihat saja di Dusun Sembungan, Desa Gondangsari, Magelang. Pemandangan sehari-hari jika kita melihat bocah dengan rambut panjang dan melingkar mirip rambut Ruud Gullit, cuma dengan kondisi sedikit dekil. Penduduk menyebutnya sebagai rambut gembel. Warnanya merah mirip rambut jagung. Sepintas seperti rambut gelandangan. Di dusun 53 kk itu, ada 10 anak berambut gembel total, dan puluhan anak berambut gembel kucir. Sembungan memang bukan satu-satunya dusun di Kecamatan Pakis yang memegang tradisi itu. Juga di Dusun Citran, Krembungan, Kenalan, Kesingan, Kedakan, dan Jarakan. Penduduk menaruh kepercayaan terjadinya gembel ini sebagai pemberian Yang Mahakuasa. Tiap anak dianggap memiliki bakat gembel. Rambut yang tumbuh sejak bayi di kandungan itu disebut bajang. Jadi, rambut menggumpal (orang Jawa bilang: gimbal) itu adalah kodrat. Sehingga tak ada yang punya nyali melanggarnya. "Kami tidak berani mengambil risiko," kata Sarjo, warga Jarakan yang membiarkan kedua anaknya gembel. "Ini tradisi yang kami warisi sejak zaman simbah-simbah kami," kata Sukir, 30 tahun. Warga Sembungan ini juga pernah digembel. Anak pertamanya yang kini berumur enam tahun sedang menjalani masa gembel sempurna. Beberapa tahun silam ada yang mencukur rambut bayinya. Dan tiba waktunya mulai belajar bicara, anak itu sakit parah. Rupa-rupa obat dicoba, namun tak satu pun yang mangkus. Malahan di sekitar mulutnya tumbuh bisul yang membuatnya sulit buka mulut. Orangtua si bayi panik, dan janji bakal membiarkan rambut anaknya gembel. Ajaib. Tak berapa lama anak itu sembuh. Kemudian, anak itu dibiarkan berambut gembel. Meski dibiarkan tumbuh sendiri, si rambut toh bikin repot. Sebab, tiap kali gumpalannya bertambah, anak itu biasanya sakit. "Anak saya panas dan mencret," kata Tugini, warga Sembungan, sambil memperlihatkan bayi yang digendongnya. Pada Selasa dan Jumat, biasanya mereka berkelakuan aneh. Sering membuat ibunya jengkel. Dan untuk menenangkannya, rambut anak itu dipolesi minyak kelapa. Kerepotan lain: kutu-kutu berkeliaran nyaman di kepala anak. Hingga perlu tiap hari dikeramas, dan tiap sepuluh hari dibungkus kain yang dilumuri obat antikutu. Yang paling sibuk adalah pada upacara menggombak (memangkas rambut). Ada syarat yang harus dipenuhi, yakni perlu memilih "hari baik" yang ditentukan dukun. Perlu sesajen, misalnya kembang setaman, nasi tumpeng, nasi golong, kepala kambing, cincin, kain mori, pisang, dan wajik. Setelah itu baru dukun membaca mantra, dalam bahasa Jawa, yang pada pokoknya meminta agar kekuatan magis rambut bajang pergi dari raga anak, dan tidak mengganggu lagi. Wak Dukun kemudian memotong ujung gumpalan rambut yang dimasukkan dalam lingkaran cincin. Potongan itu ditaruh di atas boto abang dan boto putih- berupa penganan wajik berwarna merah dan putih. Lalu ditutup dengan kain putih. Anak dicukur gundul, dan rambutnya ditampung di kain itu. Potongan rambut itu lalu dibakar. Abunya ditanam atau dilarung (dihanyutkan) ke sungai, disertai doa. "Abu itu mengandung racun. Kalau kena kulit bisa gatal," kata dukun Ngatmo. Upacara itu sering didahului tontonan, seperti pagelaran wayang kulit. "Upacaranya terkadang bisa melebihi acara khitanan," kata Asmoredjo, warga Jarakan yang kini menabung un- tuk menyelenggarakan upacara gombakan. Biaya mahal ini merupakan hambatan bagi warga kurang mampu, hingga mereka agak menunda-nunda. Ada kalanya upacara gagal, lantaran syaratnya kurang atau salah prosedur. Beberapa tahun silam, ketika Gunung Galunggung meletus di Tasikmalaya, Jawa Barat, desas-desus yang sampai di sana bilang itu pertanda minta korban anak berambut gembel. Maka, warga Sembungan bikin gombakan masal terhadap 28 anak berambut gembel total dan gembel kucir. "Memelihara rambut gembel bisa dijelaskan dengan dua tafsir. Yaitu, tafsir magis dan tafsir rambut sebagai lambang kesuburan," kata Dr. I Kuntoro Wiryomarto. Menurut ahli kebudayaan Jawa dan dosen Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada ini, jika rambut dipotong sebelum waktunya, si anak akan ditimpa penyakit. "Dengan membiarkan tumbuh gembel, orangtuanya berharap pertumbuhan anaknya baik dan sehat," katanya. Dan prosesi gombakan untuk pertama kalinya go public: ikut pawai pada pembukaan Festival Borobudur, awal Juni lalu. Enam anak berambut gembel dari Desa Gondangsari diarak sejauh dua kilometer di halaman barat Candi Borobudur, dan diakhiri dengan upacara pemotongan rambut. Tradisi tua itu jadi komoditi baru dalam Tahun Wisata Indonesia 1991, rupanya. Priyono B. Sumbogo dan Sri Wahyuni

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus