Suara buruh untuk menyampaikan permasalahannya diwujudkan dalam pentas teater. Ini sebuah teater penyadaran, mengangkat keseharian yang menyatu dengan penonton. DI panggung tiga meter itu, tergantung peralatan dapur- ember, bakul, dandang- dan jemuran. Di kursi butut, Ma'ruf duduk terpekur. Wajahnya kusam memandang ke sumur tua. Istrinya menghardik tiba-tiba: "Bapak ini bagaimana sih, besok kita harus bayar kontrakan. Ya, mbok cari kerjaan toh." Ma'ruf baru sadar, ia kehilangan pekerjaan. Ia meminta istrinya bersabar dan menyebut-nyebut nama Tuhan. "Ya, Tuhan mahaadil. Tapi coba Bapak bayangkan, gara-gara aku hamil, perusahaan memecatku, tanpa pesangon lagi. Dan tempo hari itu, Bapak menanyakan tentang kasusku, eee, malah Bapak di-PHK. Apa itu adil namanya?" Keplok tangan sekitar seribu buruh mengiringi ocehan istri Ma'ruf ini, di siang yang panas di Galaxi Theater Cisalak, Bogor, Ahad pekan lalu. Ini adalah pementasan teater yang dimainkan buruh-buruh yang ada di pinggiran Jakarta dan Depok, yang terhimpun dalam Teater Buruh Indonesia (TBI). Pentas teater ini tentu saja tak bisa diperbandingkan dengan pentas yang ada di TIM, misalnya. Teater Buruh ini harus dilihat dari proses awal terciptanya kesenian itu, ide menggelar cerita, dan hubungan antara panggung dan penontonnya. "Ini tontonan kaum buruh oleh kaum buruh," kata Arist Merdeka Sirait, 32 tahun, penanggung jawab pementasan itu. Lulusan FKIP Nommensen Medan ini sudah delapan tahun menggeluti masalah per- buruhan. Cerita yang digelar siang itu, Lauk Janji-Janji, adalah suara kaum buruh yang selama ini tak didengar pengusaha, organisasi buruh (SPSI), dan juga pemerintah. Keplok pun riuh ketika tokoh Ma'ruf bicara di pentas: "Pak Cosmas melarang keras mem-PHK-kan buruh perempuan yang hamil, tapi pengusaha itu lebih kuat dari pemerintah." Atau ini: "Mengadu nasib ke Depnaker atau SPSI? Sama saja bohong. Mereka tak punya gigi, giginya habis digerogoti taring pengusaha." Tujuan teater ini adalah memberikan penyadaran bagaimana hakhak buruh itu mesti diketahui dan ditegakkan. Semua ini digambarkan apa adanya. Panggung itu pun menjadi ekspresi asli dari bawah, dan diharapkan dapat menerangkan dan menerangi nasib buruh di Indonesia. TBI diasuh oleh Yayasan Saluran Informasi Sosial dan Bimbingan Hukum (Sis-Bikum). Dan setiap tahun, sejak 1988, mereka mementaskan teater dengan cerita yang berbeda- tergantung masalah apa yang aktual di tahun itu. Naskah disusun berdasarkan potongan-potongan pengalaman para pemain, yakni para buruh, dari tempatnya bekerja. "Kami mengumpulkan cerita dari kehidupan sehari-hari," kata Arist. Seminggu dua kali, sesudah bekerja, anggota TBI berkumpul. Di sana mereka membagi pengalaman. Lalu, tiga bulan sebelum pertunjukan, cerita sudah siap dan latihan dimulai. "Mereka sebenarnya menyiapkan naskah sendiri," kata Suzana, 28 tahun, sutradara TBI. Mahasiswi Universitas Jayabaya, Jakarta, yang aktivis API (Aksi Perempuan Indonesia untuk keadilan) ini mengaku hanya mengarahkan latihan. "Kemauan mereka untuk tampil sangat besar," kata Suzana. TBI berdiri tiga tahun lalu, dan pernah mendapat arahan Remy Silado. Remy memberikan lokakarya tiga bulan kepada 58 buruh yang dikoordinir Yayasan Sis-Bikum. Materi lokakarya seputar teori dasar seni teater, drama, make-up, sampai bagaimana menjual tiket. Remy mengaku cukup sulit untuk menyampaikan materi tentang seni itu. "Karena tingkat pendidikannya tak merata," katanya. Kini TBI berjalan tanpa Remy. Dan mungkin berbagai teori itu menjadi tak penting benar, mengingat gaya pementasan TBI lebih pada gaya teater rakyat. Lagi pula bukan seni teaternya yang utama, tetapi bagaimana permasalahan buruh bisa diangkat dengan cara pentas. Lebih jelas seperti yang dikatakan Simon Hasiholan Tambunan, "Tujuan utamanya untuk menyadarkan buruh tentang apa yang terjadi di sekitarnya, dan bagaimana mencari pemecahannya." Simon bukan anggota atau pembina TBI. Ia punya teater sejenis yang berpusat di Yogyakarta. Namanya, Kelompok Teater Rakyat Indonesia (KTRI). Simon, 37 tahun, yang pernah kuliah di Fakultas Filsafat UGM, tahun 1981 mengikuti Philippines Educational Theatre Association di Manila selama dua bulan. Sepulang dari sana, ia bekerja sama dengan beberapa LSM untuk melatih teater di kalangan "masyarakat kelas pinggiran" seperti petani, nelayan, dan buruh. Itu sebabnya, Simon tak suka menyebut kelompoknya teater buruh. "Saya lebih senang menyebutnya teater pengembangan masyarakat," kata lelaki berambut gondrong yang memelihara jenggot ini. Seperti halnya Teater Buruh di Jakarta, Simon membina kelompoknya lewat latihan-latihan yang tidak mengganggu tugas sehari-hari mencari nafkah. Lewat diskusi itu ("Mula-mula mereka malu-malu berbicara, tapi kemudian jadi terbiasa mengemukakan pendapat"), cerita pun dirancang. Pementasan kadang dilakukan di tempat latihan itu sendiri dengan mengundang masyarakat sekitarnya, entah mereka buruh atau petani. Puncak kegiatan Simon terjadi pada 1989, ketika KTRI yang dipimpinnya memperoleh dana bantuan dari Australian Freedom From Hunger Campaign sebesar Rp 22 juta. Dari dana ini ia membuat tiga pusat pelatihan, yakni Sleman, Kendal, dan Solo. Juga diselenggarakan dua workshop di Yogya. Menurut Simon, semakin banyaknya kelompok teater jenis ini, yang mengelola buruh kecil, petani, pemulung, nelayan, dan lapisan bawah lainnya, mereka akan memiliki kekuatan politik yang dapat diandalkan. "Jelas, tujuan kami pada akhirnya politik. Tetapi politik penyadaran tanpa kekerasan, dengan media teater," ujar ayah dua anak ini. Sri Indrayati (Jakarta) dan Sri Wahyuni (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini