Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Mengembalikan Wibawa Lewat PKO

Wibawa wasit sepak bola makin merosot. Disebabkan kekurang jelian dan ketidak tegasan juga kondisi fisik, emosi, dll dalam memimpin pertandingan. Melalui PKO diharapkan wibawa wasit kembali. (or)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WIBAWA wasit sepakbola akhir-akhir ini kelihatan makin- merosot: Tidak jarang keputusan mereka diprotes pemain dan sekaligus dicemoohkan penonton. Kemerosotan wibawa wasit itu umumnya disebabkan oleh kekurangjelian dan ketidak-tegasan mereka dalam memimpin pertandingan. Misalnya, tentang seorang pemain yang tak sengaja menyentuh bola dengan tangan di daerah penalti sendiri. Menurut peraturan, pelanggaran yang terjadi itu hukumannya adalah tendangan penalti buat lawan. Tapi lantaran wasit berdiri jauh dari tempat pelanggaran tersebut dan tidak memungkinkan dirinya melihat jelas, ditambah lagi hakim garisnya pun kurang awas, sering keputusan yang ditelorkan bertentangan dengan peraturan. Melihat kenyataan itu, pihak yang dirugikan cuma bisa menggerutu. Sebab untuk melontarkan protes keras bisa merepotkan mereka sendiri. Bukankah di lapangan wasit punya kuasa? Bisa-bisa yang memprotes sekalipun itu benar diberi peringatan dengan kartu kuning. Contoh yang jelas terlihat dalam final sepakbola perebutan Piala Dunia FIFA di Munich, tahun 1974. Ketika penyerang kesebelasan Belanda, Johan Cruyff mencoba melakukan protes terhadap keputusan wasit. Ia malah diberi kartu kuning. Meskipun itu dilakukan Cruyff sewaktu peluit istirahat berbunyi. Asalkan Jeli Di Indonesia, kejadian serupa sekali pun dengan penyebab berbeda tak kurang terjadi. Andai wasitnya telah melakukan apa yang terbaik dia bisa lakukan, persoalannya mungkin akan lain. Lihat saja, cuma ada beberapa wasit di sini yang mau berlari-lari di lapangan selama pertandingan. Selebihnya banyak yang memperhatikan gerak pemain dari jarak jauh saja. Dan baru bergegas ke tempat kejadian kalau ada pelanggaran. Cara memimpin pertandingan seperti yang disebut terakhir tidak salah. Asalkan kedua hakim garis cukup jeli dalam melakukan tugas. Berdasarkan peraturan, hakim garis harus sejajar dengan pemain paling belakang, bukan kiper, kesebelasan yang bertahan. Untuk memungkinkam1ya melihat jelas suatu pelanggaran. Tapi bukan tak sering pandangannya terhambat oleh tubuh pemain. Disinilah peranan wasit yang lincah iperlukan dalam menilai suatu kejadian, apakah itu pelanggaran atau bukan. Sayang, faktor kelincahan gerak di lapangan itulah yang banyak tak dimiliki oleh wasit Indonesia. Tidak fitkah mereka? Banyak orang yang menyangsikan demikian. Dugaan itu ternyata tak seluruhnya salah. Berdasarkan permintaan FIFA dalam menilai apakah kondisi fisik wasit-wasit yang memiliki kwalifikasi dari organisasi sepakbola internasional itu cukup baik atau tidak, mereka lalu meminta perkumpulan nasional untuk melakukan ujian kesehatan terhadap wasit. Indonesia pun tak luput dari tuntutan itu. Bersamaan dengan Kejuaraan Sepakbola Junior Piala Suratin, Pebruari lampau PSSI pun melakukan ujian kesehatan fisik terhadap 7 wasit kwalifikasi FIFA. Mereka adalah Kosasih Kartadireja,Sudarso, Oo Suwardi, Sutoyo, Hamlet, Suharso Syahban, dan Syamsudin Haddade. Ujian yang diberikan pada mereka meliputi lari 50 m, 400 m, 4 x 10 m, dan lari 12 menit. Ternyata yang lulus dari ujian yang pertama kali dilakukan oleh PSSI lewat Pusat Kedokteran Olahraga itu tidak mencapai ketentuan minimum test. Misalnya, untuk lari 12 me menit seorang wasit harus bisa mencapai jarak 2500 m--angka ini disesuaikan dengan usia. Di antara yang tidak lulus, ada yang cuma mencapai 2000 meter dalam 12 menit. Gampang Terbakar Mungkinkah seorang wasit dapat memimpin pertandingan dengan cermat bila kondisi fisiknya tidak fit? "Sukar, memang," jawab Ketua Bidang Perwasitan PSSI, Sudarsono SH ketika mengumumkan hasil ujian kesehatan wasit itu, pekan lalu. Adakah kericuhan yang terjadi di lapangan selama ini disebabkan wasit yang memimpin pertandingan tidak begitu sehat? Sudarsono membantah hal itu sebagai penyebab utama. Ia malah balik menuduh bahwa kericuhan yang terjadi di lapangan dulu-dulu dikarenakan pemain pelatih, maupun pengurus tidak mengetahui peraturan permainan dengan baik. Sehingga emosi mereka gampang terbakar. Dan tentu saja mudah menimbulkan kericuhan. Jika dipandang dari sudut ini semata, Sudarsono memang benar. Tapi lantaran pernyataan kesehatan wasit baru pertama kali diumumkan PSSI, kesangsian orang terhadap wasit bukannya tak berdasar pula. Sebab selama ini, orang tak tahu apakah wasit yang memimpin pertandingan berada dalam kondisi baik atau tidak. Mengingat jumlah wasit PSSI yang ratusan itu tak pernah diuji kesehatannya secara teratur, bukan? Sedangkan hal ini begitu diperlukan dalam memimpin pertandingan, dan sekaligus bisa menegakkan wibawa wasit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus