BUKU puisi banyak diterbitkan, tapi secara publik tak banyak
menarik perhatian. Karena itu lumayan juga ketika pekan lalu dua
penyair Indonesia, Abdul Hadi W.M. dan Sutardji Calzoum Bachri,
mengumumkan suatu protes. Siapa tahu protes itu bisa memikat.
Yang diprotes: hasil Dewan Juri yang dibentuk oleh Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) untuk memilih buku puisi terbaik
1976-1977.
Hasil penilaian juri itu telah memilih empat kumpulan puisi,
dari 33 buku yang ditelaah. Menemukan bahwa keempat yang
terpilih itu sama-sama punya kekuatan dan kelemahan, para juri
tidak menyebu nya satu persatu dalam urutan nilai, tapi dalam
urutan abjad. Dan itu adalah Amuk kumpulan Sutardji Calzoum
Bachri, Meditasi kumpulan Abdul Hadi W. Muthari, Peta Perjalanan
kumpulan Sitor Situmorang dan Sajak Sikat Gigi oleh Yudhistira
Ardi Nugraha.
Adanya nama Yudhistira di situ rupanya yang jadi salah satu
penyebab protes. Yudhistira, 24 tahun, meskipun telah
menerbitkan dua novel baru-baru ini, Arjuna Mencari Cinta dan
Dingdong, adalah yang paling muda di antara keempat penyair yang
bukunya terpilih. "Mana bisa Yudhistira itu disejajarkan dengan
Sitor Situmorang, Sutardji, Abdul Hadi dan yang besar-besar
itu!," kata Dami N. Toda, sarjana sastra lulusan UI yang mulai
dikenal dengan pembahasannya tentang novel Iwan Simatupang itu.
Ia ikut gemas melihat penilaian juri rupanya, dan awal pekan ini
komentarnya itu dicatat oleh Benta Buana.
Hantaman lain ditonjokkan kepada Susunan juri, yang terdiri dari
Dodong Djiwapradja, Tuti Heraty Nurhadi dan Goenawan Mohamad.
"Dewan Juri yang ditunjuk DKJ ternyata orang-orang yang patut
diragukan keahliannya sebagai juri penilai puisi," kata utardji
"Yang saya maksudkan terutama Juri Dodong Djiwapradja dan Tuti
Heraty. Sejak kapan mereka itu jadi kritikus puisi?"Sambung
Abdul Hadi pula: "Kalau saya tahu mereka ini juri-jurinya, tidak
akan saya ikut mengirimkan buku puisi saya untuk dinilai."
Protes semacam ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Di
tahun 1961, majalah Sastra di bawah H.B. Jassin memberi hadiah
cerita pendek terbaik untuk karya A. Bastari Asnin. Semen-tara
itu Motinggo Boesje dan Virga Belan mendapatkan hadiah ke-II dan
ke-III --dan mereka pun protes. Yang berbeda ialah bahwa di
tahun ini dua orang yang tak mau menerima hadiah itu terdiri
dari para "pemegang pertama" Juga.
Dewan Kesenian Jakarta sendiri nampaknya akan terus dengan
mengikuti keputusan juri -- yang rupanya mau terus juga dengan
penilaiannya. Cuma satu hal merepotkan sedikit: hadiahnya
bagaimana? Ramadhan K.H., direktur pelaksana DKJ, semula
sebenarnya menyediakan sebuah hadiah untuk yang No. 1. Hadiahnya
aneh untuh para penyair: sebuah tiket terbang ke Jepang. Tapi
ketika diketahui juri memutuskan memilih empat orang sebagai
yang No. 1, diusahakan oleh Ramadhan buat memperoleh tambahan
tiket. Berhasil: dari Pelita Air Service, yang melalui direktur
pemasarannya, Martalogawa bahkan memutuskan untuk membeli
buku-buku puisi Indonesia buat bacaan di pesawat ....
Kini tinggal dua penyair pemenang yang agaknya akan menjadi
penumpang Pelita dan di Jepang jadi tamu Japan Foundation itu,
yakni Sitor Situmorang dan Yudhistira. Yang terakhir ini kepada
TEMPO sudah menyatakan akan menerima hadiah. "Kenapa tidak,"
katanya. Ia bukannya tak punya kritik kepada hasil keputusan
juri. Menurut Yudhis, "Abdul Hadi tak sepantasnya menang. Saya
tak melihat Abdul Hadi sebagai penyair penting."
Berbeda-beda
Nah, ramai, 'kan? Tapi para penyair memang gemar ramai seperti
ini dan biasanya kalau didiamkan lama-lama reda juga--untuk
suatu ketika nanti cekcok lagi. Dalam pengalaman, pertikaian
begini perlu juga. Perbenturan pendapat, jika dirumuskan secara
serius dan baik, akan mempertajam kritikan terhadap puisi .
Toh masalahnya adalah perbedaan penilaian, yang memang
senantiasa ada dalam kritik sastra yang sehat. Keputusan Dewan
Juri sendiri dilampiri -agak unik --oleh argumentasi
masing-masing anggota, yang berbeda-beda. "Pada penilaian puisi
terbaik ini, juri sampai pada kesan keseluruhan yang sama tapi
dalam perumusan dan uraian berbeda-beda," tulis pengantar
keputusan yang diteken oleh Dodong Djiwapradja.
Sudah sejauh mana argumentasi juri itu ditelaah para penyair
yang protes, tak diketahui. Yang pasti reaksi mereka keluar
sebelum pengumuman resmi, dan dalam reaksi itu belum nampak
alasan tandingan. Mungkin sebentar lagi, hingga terjadi polemik
yang asyik dan siapa tahu bahwa Dodong Djiwapradja, Tuty Heraty
dan Goenawan Mohamad ternyata bisa juga menulis kritik puisi
yang meyakinkan - mskipun tak usah mesti cocok dengan yang
dikritik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini