Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Buku

4 buku puisi, hadiah dan protes

Hasil dewan juri yang dibentuk dewan kesenian jakarta untuk memilih buku puisi terbaik 1976-1977 diprotes abdul hadi wm dan sutardji colzoum. dewan juri yang ditunjuk dkj diragukan keahliannya sebagai juri. (bk)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BUKU puisi banyak diterbitkan, tapi secara publik tak banyak menarik perhatian. Karena itu lumayan juga ketika pekan lalu dua penyair Indonesia, Abdul Hadi W.M. dan Sutardji Calzoum Bachri, mengumumkan suatu protes. Siapa tahu protes itu bisa memikat. Yang diprotes: hasil Dewan Juri yang dibentuk oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) untuk memilih buku puisi terbaik 1976-1977. Hasil penilaian juri itu telah memilih empat kumpulan puisi, dari 33 buku yang ditelaah. Menemukan bahwa keempat yang terpilih itu sama-sama punya kekuatan dan kelemahan, para juri tidak menyebu nya satu persatu dalam urutan nilai, tapi dalam urutan abjad. Dan itu adalah Amuk kumpulan Sutardji Calzoum Bachri, Meditasi kumpulan Abdul Hadi W. Muthari, Peta Perjalanan kumpulan Sitor Situmorang dan Sajak Sikat Gigi oleh Yudhistira Ardi Nugraha. Adanya nama Yudhistira di situ rupanya yang jadi salah satu penyebab protes. Yudhistira, 24 tahun, meskipun telah menerbitkan dua novel baru-baru ini, Arjuna Mencari Cinta dan Dingdong, adalah yang paling muda di antara keempat penyair yang bukunya terpilih. "Mana bisa Yudhistira itu disejajarkan dengan Sitor Situmorang, Sutardji, Abdul Hadi dan yang besar-besar itu!," kata Dami N. Toda, sarjana sastra lulusan UI yang mulai dikenal dengan pembahasannya tentang novel Iwan Simatupang itu. Ia ikut gemas melihat penilaian juri rupanya, dan awal pekan ini komentarnya itu dicatat oleh Benta Buana. Hantaman lain ditonjokkan kepada Susunan juri, yang terdiri dari Dodong Djiwapradja, Tuti Heraty Nurhadi dan Goenawan Mohamad. "Dewan Juri yang ditunjuk DKJ ternyata orang-orang yang patut diragukan keahliannya sebagai juri penilai puisi," kata utardji "Yang saya maksudkan terutama Juri Dodong Djiwapradja dan Tuti Heraty. Sejak kapan mereka itu jadi kritikus puisi?"Sambung Abdul Hadi pula: "Kalau saya tahu mereka ini juri-jurinya, tidak akan saya ikut mengirimkan buku puisi saya untuk dinilai." Protes semacam ini sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Di tahun 1961, majalah Sastra di bawah H.B. Jassin memberi hadiah cerita pendek terbaik untuk karya A. Bastari Asnin. Semen-tara itu Motinggo Boesje dan Virga Belan mendapatkan hadiah ke-II dan ke-III --dan mereka pun protes. Yang berbeda ialah bahwa di tahun ini dua orang yang tak mau menerima hadiah itu terdiri dari para "pemegang pertama" Juga. Dewan Kesenian Jakarta sendiri nampaknya akan terus dengan mengikuti keputusan juri -- yang rupanya mau terus juga dengan penilaiannya. Cuma satu hal merepotkan sedikit: hadiahnya bagaimana? Ramadhan K.H., direktur pelaksana DKJ, semula sebenarnya menyediakan sebuah hadiah untuk yang No. 1. Hadiahnya aneh untuh para penyair: sebuah tiket terbang ke Jepang. Tapi ketika diketahui juri memutuskan memilih empat orang sebagai yang No. 1, diusahakan oleh Ramadhan buat memperoleh tambahan tiket. Berhasil: dari Pelita Air Service, yang melalui direktur pemasarannya, Martalogawa bahkan memutuskan untuk membeli buku-buku puisi Indonesia buat bacaan di pesawat .... Kini tinggal dua penyair pemenang yang agaknya akan menjadi penumpang Pelita dan di Jepang jadi tamu Japan Foundation itu, yakni Sitor Situmorang dan Yudhistira. Yang terakhir ini kepada TEMPO sudah menyatakan akan menerima hadiah. "Kenapa tidak," katanya. Ia bukannya tak punya kritik kepada hasil keputusan juri. Menurut Yudhis, "Abdul Hadi tak sepantasnya menang. Saya tak melihat Abdul Hadi sebagai penyair penting." Berbeda-beda Nah, ramai, 'kan? Tapi para penyair memang gemar ramai seperti ini dan biasanya kalau didiamkan lama-lama reda juga--untuk suatu ketika nanti cekcok lagi. Dalam pengalaman, pertikaian begini perlu juga. Perbenturan pendapat, jika dirumuskan secara serius dan baik, akan mempertajam kritikan terhadap puisi . Toh masalahnya adalah perbedaan penilaian, yang memang senantiasa ada dalam kritik sastra yang sehat. Keputusan Dewan Juri sendiri dilampiri -agak unik --oleh argumentasi masing-masing anggota, yang berbeda-beda. "Pada penilaian puisi terbaik ini, juri sampai pada kesan keseluruhan yang sama tapi dalam perumusan dan uraian berbeda-beda," tulis pengantar keputusan yang diteken oleh Dodong Djiwapradja. Sudah sejauh mana argumentasi juri itu ditelaah para penyair yang protes, tak diketahui. Yang pasti reaksi mereka keluar sebelum pengumuman resmi, dan dalam reaksi itu belum nampak alasan tandingan. Mungkin sebentar lagi, hingga terjadi polemik yang asyik dan siapa tahu bahwa Dodong Djiwapradja, Tuty Heraty dan Goenawan Mohamad ternyata bisa juga menulis kritik puisi yang meyakinkan - mskipun tak usah mesti cocok dengan yang dikritik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus