Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Sumantri-sukosrono tidak mati

Sal murgiyanto, 32, menyajikan episode sumantri-suko srono di tim, jakarta. ia memilih pendekatan dramatik yang efektif. berhasil mengelak dari kekakuan plot wayang orang. (tr)

1 April 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EPISODE Sumantri-Sukosrono selalu siap untuk diciptakan kembali. Cerita tragis tentang dua bersaudara ini --agaknya salah satu cerita terindah dalarn rangkaian wayang -- bukan saja dikenal baik oleh hampir setiap anak di Jawa, tapi juga amat kaya untuk pelbagai interpretasi. Tentu saja bagi imajinasi yang subur. Dan penari Sal Murgiyanto, 32 tahun, agaknya memiliki imajinasi yang seperti itu, ketika pekan lalu (24 s/d 26 Maret) ia menyajikan karyanya pertama di Taman Ismail Marzuki berdasarkan kisah tersebut. Dalam pelbagai hal, cerita Sumantri - Sukosrono memang mengundang sebuah karya tari di dalamnya terpadu pelbagai kontras sosok serta gerak, variasi karakter serta konflik. Dan langenbeksa agaknya memberi kesempatan yang lebih bagus. Seperti yang sejak 5 tahun yang silam tumbuh lewat Teater Arena Taman Ismail Marzuki, karya-karya langenbeksa, yang dikerjakan para penari muda, berhasil mengelak dari kekakuan plot wayang orang, dan sekaligus bisa merasuk ke dalam esensi bcksan secara lebih intens daripada sendratari. Tanpa terlepas dari semangat dramatik. Antara Yogya - Solo: Prambanan Maka di sini rasanya tak relevan lagi berbicara tentang gaya Sala atau Yogya: para penari seperti Sardono W. Kusumo, Sal Muriyanto, Sentot dan isterinya Retno Maruti yang pertama kali berkenalan dengan pentas besar di Prambanan, waktu sendratari Ramayana di tahun 1960-an awal, telah jauh berkembang melintasi Yogya-Sala. Dan Jakarta, di mana mereka bergabung dengan penari seperti S. Kardjono dan kelompok Jaya Budaya, memang agak jauh dari kedua pusat kebudayaan Jawa tadi--bukan saja secara geografis. Agaknya di sini pula terletak keleluasaan, yang memang sudah nampak sejak grup penari muda yang bukan saja rukun tapi kreatif ini menampilkan Ngrenaswra, berdasarkan cerita Panji. Keleluasaan itu akhirnya membuka kekayaan batin. Dan ini terlihat lagi dalam Sukosrono-Sumantri-nya Murgiyanto. Mengolah koreografi dan tembangnya selama kira-kira 4 bulan, Murgiyanto berhasil menambah satu nilai tinggi lagi buat deretan karya-karya langenbeksa. Ia memilih pendekatan dramatik yang efektif: diringkasnya cerita ini, dan dimulainya dengan adegan yang paling besar. Yakni ketika Sumantri kembali dari kemenangannya memboyong Dewi Citrawati untuk Harjuna Sasrabahu. Kemeriahan ini secara tak kentara segera berkembang ke suasana lain, ketika Sumantri menantang Harjuna Sasrabahu bertanding. Adegan perang yang menyusul, antara Harjuna Sasrabahu (Sulistyo Sukmadi), dengan Sumantri (di malam pertama dan terakhir dimainkan oleh B Suharto dan di malam kedua oleh Sudarsono), merupakan hasil penataan dan penyajian yang mengesankan. Di sini gerak ketegangan,keuletan, berpadu dalam stilisasi dan keluwesan. Yang mungkin agak kurang sampai adalah perubahan Harjuna Sasrabahu-lewat tiwikrama -- menjadi Braholo (Sardono W. Kusumo). Suasana seram yang hendak ditumbuhkan melalui iringan gending kurang terasa, tapi barangkali adegan ini berhasil sebagai warna lain dalam keseluruhan bagian awal. Sentakan Liris Mempermainkan variasi dengan tempo yang kena memang merupakan ujian bagi penata tari untuk pementasan yang satu setengah jam. Tapi dalam banyak hai Murgiyanto berhasil. Memang, di sana-sini palu pengrapian. Agak terlalu mendadak ialah perubahan suasana, ketika Citrawati menari sendirian di tengah Taman Sriwedari -- sementara bedaya-bedaya bergerak di sekitarnya dalam gerak pohon dan rumpun--dan tiba-tiba Sukosrono muncul dengan wajahnya yang jelek dan seram. Murgiyanto sendiri mengakui kekurangan ini. Yang juga bisa diintensifkan mungkin bagian akhir peperangan antara Rahwana (Kardjono) dengan Sumantri, setdah Sumantri menyadari bahwa saat ajalnya sampai,setelah ia terkejut sebentar melihat wajah Sukosrono di balik lawannya. Tapi memang mengharukan: Sumantri bersiap mati, melepaskan segala pakaian perangnya untuk maju kembali ke gelanggang tanpa perlawanan. Dan Murgiyanto membuktikan kemampuannya untuk menyelipkan satu sentakan yang liris di bagian akhir- adegan Sumantri menari dengan adiknya kembali--suatu ulangan di alam lain dari adegan masa kanak, yang di bagian introduksi cuma disugestikan dalam hening. Namun jelas Murgiyanto akan sulit mencapai itu semua tanpa materi pemain Jaya Budaya yang ada. Bahkan ia menyusun karyanya ini, seperti dikatakannya, dengan mengatur peran-perannya di kepala sambil sekaligus melihat siapa yang akan memainkannya. Untung, grup Jaya Budaya yang pementasannya selalu diluberi penonton, terutama yang terakhir ini, memiliki sejumlah penari bagus yang sering bekerja sama. Maka dalam Sumantri-Sukosrono kita bukan saja menyaksikan pentas yang rapi dengan kostum yang artistik, yang mengkombinasikan sekitar 25 penari dengan padu, tapi juga--dan terutama -- penari-penari individuil yang tampil hampir sempurna untuk perannya. S. Kardjono sebagai Rahwana adalah contoh yang paling menonjol. Sulistyo Sukmadi jauh lebih mengesankan di sini dari waktu ia main sebagai Wong Agung dalam Menak Cina. Dan B. Suharto sebagai Sumantri --kecuali vokalnya yang agak lirih, memang sukar digantikan. Dengan tubuhnya yang kecil, tinggi tak sampai 1.60, sudah bisa dibayangkan kenapa Sal Murgiyanto memilih lakon ini dan memilih peran Sokosrono untuk dirinya. "Mungkin karena sewaktu kecil saya dulu sering diejek karena potongan saya ini," katanya. "Saya lalu mau membuktikan bahwa penampilan fisik bisa diimbangi oleh suatu kemampuan yang lain." Dalam hidupnya, kemampuan itu adalah menari. Sejak umur 10 tahun, sewaktu masih di Sragen, Jawa Tengah, ia sudah belajar menari dari seorang guru, yang mengajarnya dengan didahului latihan silat. Kemudian ia belajar pada R.M. Djoko Suhardjo dan R.T. Kusumo-Kesowo. Tapi ia sendiri belum juga berniat untuk hidup sebagai penari. Satu tahun ia masuk Fak. Teknik UGM. Kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Perkebunan Yogya, sampai dapat titel BSc. Meskipun sementara itu ia belajar di Akademi Seni Tari Indonesia dengan guru R.M. Ng. Wignyo Hambegso dan dapat gelar Sarjana Muda juga, keputusannya untuk jadi penari baru kemudian, setelah ia bergabung dengan grupnya Sardono W. Kusumo. Sardono ini yang menurut Sal banyak membantu dirinya jadi seorang penari. Tapi mungkin memang ke sanalah Sal harus pergi. Cucu juragan wayang orang Sriwedari ini hampir tak pernah lepas dari dunianya yang sekarang. Ia pernah ikut dengan grup pertunjukan keliling, mengunjungi pabrik-pabrik gula di hari Cengbeng. Selama dalam mobil di perjalanan ke tempat pertunjukan itu ia "belajar vokal". Dalam peran Sukosrono itu, vokalnya dalam menembang memang mengesankan --tak banyak disangka oleh orang yang hanya mengenalnya dalam hidup sehari-hari. Di tahun 1975, ia dapat gelar sarjana tari penuh, dan mendapat beasiswa Fullbright untuk belajar di Departement of Theatre and Dance di Universitas Colorado. Gelar MA-nya ia peroleh dengan angka bagus. Sekembalinya ke tanahair, ia bekerja di Dewan Kesenian Jakarta dan Lembaga Pendidikan Keseniannya. Dan ia menikah dengan Endang Nrangwesti, yang juga menari.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus