EPISODE Sumantri-Sukosrono selalu siap untuk diciptakan kembali.
Cerita tragis tentang dua bersaudara ini --agaknya salah satu
cerita terindah dalarn rangkaian wayang -- bukan saja dikenal
baik oleh hampir setiap anak di Jawa, tapi juga amat kaya untuk
pelbagai interpretasi. Tentu saja bagi imajinasi yang subur.
Dan penari Sal Murgiyanto, 32 tahun, agaknya memiliki imajinasi
yang seperti itu, ketika pekan lalu (24 s/d 26 Maret) ia
menyajikan karyanya pertama di Taman Ismail Marzuki berdasarkan
kisah tersebut. Dalam pelbagai hal, cerita Sumantri - Sukosrono
memang mengundang sebuah karya tari di dalamnya terpadu pelbagai
kontras sosok serta gerak, variasi karakter serta konflik. Dan
langenbeksa agaknya memberi kesempatan yang lebih bagus. Seperti
yang sejak 5 tahun yang silam tumbuh lewat Teater Arena Taman
Ismail Marzuki, karya-karya langenbeksa, yang dikerjakan para
penari muda, berhasil mengelak dari kekakuan plot wayang orang,
dan sekaligus bisa merasuk ke dalam esensi bcksan secara lebih
intens daripada sendratari. Tanpa terlepas dari semangat
dramatik.
Antara Yogya - Solo: Prambanan
Maka di sini rasanya tak relevan lagi berbicara tentang gaya
Sala atau Yogya: para penari seperti Sardono W. Kusumo, Sal
Muriyanto, Sentot dan isterinya Retno Maruti yang pertama kali
berkenalan dengan pentas besar di Prambanan, waktu sendratari
Ramayana di tahun 1960-an awal, telah jauh berkembang melintasi
Yogya-Sala. Dan Jakarta, di mana mereka bergabung dengan penari
seperti S. Kardjono dan kelompok Jaya Budaya, memang agak jauh
dari kedua pusat kebudayaan Jawa tadi--bukan saja secara
geografis.
Agaknya di sini pula terletak keleluasaan, yang memang sudah
nampak sejak grup penari muda yang bukan saja rukun tapi kreatif
ini menampilkan Ngrenaswra, berdasarkan cerita Panji.
Keleluasaan itu akhirnya membuka kekayaan batin. Dan ini
terlihat lagi dalam Sukosrono-Sumantri-nya Murgiyanto. Mengolah
koreografi dan tembangnya selama kira-kira 4 bulan, Murgiyanto
berhasil menambah satu nilai tinggi lagi buat deretan
karya-karya langenbeksa.
Ia memilih pendekatan dramatik yang efektif: diringkasnya cerita
ini, dan dimulainya dengan adegan yang paling besar. Yakni
ketika Sumantri kembali dari kemenangannya memboyong Dewi
Citrawati untuk Harjuna Sasrabahu. Kemeriahan ini secara tak
kentara segera berkembang ke suasana lain, ketika Sumantri
menantang Harjuna Sasrabahu bertanding. Adegan perang yang
menyusul, antara Harjuna Sasrabahu (Sulistyo Sukmadi), dengan
Sumantri (di malam pertama dan terakhir dimainkan oleh B
Suharto dan di malam kedua oleh Sudarsono), merupakan hasil
penataan dan penyajian yang mengesankan. Di sini gerak
ketegangan,keuletan, berpadu dalam stilisasi dan keluwesan.
Yang mungkin agak kurang sampai adalah perubahan Harjuna
Sasrabahu-lewat tiwikrama -- menjadi Braholo (Sardono W.
Kusumo). Suasana seram yang hendak ditumbuhkan melalui iringan
gending kurang terasa, tapi barangkali adegan ini berhasil
sebagai warna lain dalam keseluruhan bagian awal.
Sentakan Liris
Mempermainkan variasi dengan tempo yang kena memang merupakan
ujian bagi penata tari untuk pementasan yang satu setengah jam.
Tapi dalam banyak hai Murgiyanto berhasil. Memang, di sana-sini
palu pengrapian. Agak terlalu mendadak ialah perubahan suasana,
ketika Citrawati menari sendirian di tengah Taman Sriwedari --
sementara bedaya-bedaya bergerak di sekitarnya dalam gerak pohon
dan rumpun--dan tiba-tiba Sukosrono muncul dengan wajahnya yang
jelek dan seram. Murgiyanto sendiri mengakui kekurangan ini.
Yang juga bisa diintensifkan mungkin bagian akhir peperangan
antara Rahwana (Kardjono) dengan Sumantri, setdah Sumantri
menyadari bahwa saat ajalnya sampai,setelah ia terkejut sebentar
melihat wajah Sukosrono di balik lawannya.
Tapi memang mengharukan: Sumantri bersiap mati, melepaskan
segala pakaian perangnya untuk maju kembali ke gelanggang tanpa
perlawanan. Dan Murgiyanto membuktikan kemampuannya untuk
menyelipkan satu sentakan yang liris di bagian akhir- adegan
Sumantri menari dengan adiknya kembali--suatu ulangan di alam
lain dari adegan masa kanak, yang di bagian introduksi cuma
disugestikan dalam hening.
Namun jelas Murgiyanto akan sulit mencapai itu semua tanpa
materi pemain Jaya Budaya yang ada. Bahkan ia menyusun karyanya
ini, seperti dikatakannya, dengan mengatur peran-perannya di
kepala sambil sekaligus melihat siapa yang akan memainkannya.
Untung, grup Jaya Budaya yang pementasannya selalu diluberi
penonton, terutama yang terakhir ini, memiliki sejumlah penari
bagus yang sering bekerja sama.
Maka dalam Sumantri-Sukosrono kita bukan saja menyaksikan pentas
yang rapi dengan kostum yang artistik, yang mengkombinasikan
sekitar 25 penari dengan padu, tapi juga--dan terutama --
penari-penari individuil yang tampil hampir sempurna untuk
perannya. S. Kardjono sebagai Rahwana adalah contoh yang paling
menonjol. Sulistyo Sukmadi jauh lebih mengesankan di sini dari
waktu ia main sebagai Wong Agung dalam Menak Cina. Dan B.
Suharto sebagai Sumantri --kecuali vokalnya yang agak lirih,
memang sukar digantikan.
Dengan tubuhnya yang kecil, tinggi tak sampai 1.60, sudah bisa
dibayangkan kenapa Sal Murgiyanto memilih lakon ini dan
memilih peran Sokosrono untuk dirinya. "Mungkin karena sewaktu
kecil saya dulu sering diejek karena potongan saya ini,"
katanya. "Saya lalu mau membuktikan bahwa penampilan fisik bisa
diimbangi oleh suatu kemampuan yang lain." Dalam hidupnya,
kemampuan itu adalah menari.
Sejak umur 10 tahun, sewaktu masih di Sragen, Jawa Tengah, ia
sudah belajar menari dari seorang guru, yang mengajarnya dengan
didahului latihan silat. Kemudian ia belajar pada R.M. Djoko
Suhardjo dan R.T. Kusumo-Kesowo. Tapi ia sendiri belum juga
berniat untuk hidup sebagai penari. Satu tahun ia masuk Fak.
Teknik UGM. Kemudian pindah ke Sekolah Tinggi Perkebunan Yogya,
sampai dapat titel BSc. Meskipun sementara itu ia belajar di
Akademi Seni Tari Indonesia dengan guru R.M. Ng. Wignyo Hambegso
dan dapat gelar Sarjana Muda juga, keputusannya untuk jadi
penari baru kemudian, setelah ia bergabung dengan grupnya
Sardono W. Kusumo. Sardono ini yang menurut Sal banyak membantu
dirinya jadi seorang penari.
Tapi mungkin memang ke sanalah Sal harus pergi. Cucu juragan
wayang orang Sriwedari ini hampir tak pernah lepas dari dunianya
yang sekarang. Ia pernah ikut dengan grup pertunjukan keliling,
mengunjungi pabrik-pabrik gula di hari Cengbeng. Selama dalam
mobil di perjalanan ke tempat pertunjukan itu ia "belajar
vokal". Dalam peran Sukosrono itu, vokalnya dalam menembang
memang mengesankan --tak banyak disangka oleh orang yang hanya
mengenalnya dalam hidup sehari-hari.
Di tahun 1975, ia dapat gelar sarjana tari penuh, dan mendapat
beasiswa Fullbright untuk belajar di Departement of Theatre and
Dance di Universitas Colorado. Gelar MA-nya ia peroleh dengan
angka bagus. Sekembalinya ke tanahair, ia bekerja di Dewan
Kesenian Jakarta dan Lembaga Pendidikan Keseniannya. Dan ia
menikah dengan Endang Nrangwesti, yang juga menari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini