DALAM praktek praperadilan, sejak KUHAP diundangkan lebih dari dua tahun lalu, baru kali ini seorang pengacara "dipukul balik" polisi. Pengacara Soewigyo Tanusubroto, Senin pekan lalu, diperiksa polisi Poltabes Bandung sebagai tersangka, setelah ia gagal menggugat polisi melalui praperadilan. Anggota Peradin itu kini diusut karena dituduh memberikan sumpah dan keterangan palsu di forum praperadilan. Nasib jelek itu menimpa Tanu dalam menjalankan profesinya sebagai kuasa seorang tersangka, Djamaluddin Malik, yang dituduh membunuh. Pada 27 Januari, Djamaluddin ditangkap polisi Bandung, karena dtuduh terlibat membunuh Nyonya Epon, Nyonya Icih, dan Ganasyah, yang merupakan mertua, bibi, dan keponakan tertuduh sendiri. Beberapa hari setelah Djamaluddin ditangkap, tiga orang anggota Polri mendatangi rumah istri Djamaluddin, Nyonya Mara Komara. Menurut Nyonya Komara, ketiga polisi yang dipimpin Sersan Mayor Eman Sulaeman itu menggeledah rumahnya, tanpa minta izin dan tidak memperlihatkan surat tugas. Dan, yang juga bertentangan dengan KUHAP, seperti dituduhkan Tanu dipraperadilan, penggeledahan itu tidak berdasarkan izin pengadilan dan tidak dilaporkan ke RT dan RW setempat. Untuk menguatkan gugatannya, belakangan Tanu melampirkan pula surat yang ditandatangani ketua RW, Dayat, dan ketua RT, Endi Kata, yang menyatakan tidak tahu-menahu mengenai penggeledahan itu. Selain soal penggeledahan, Tanu, selaku kuasa Nyonya Komara, dalam sidang praperadilan juga meminta hakim agar menyatakan polisi melanggar KUHAP karena tidak memberikan surat tembusan penangkapan Djamaluddin kepada istrinya, dan kemudian menyiksa tersangka di tahanan. Berdasarkan itu, Tanu meminta hakim menghukum polisi untuk membayar ganti rugi Rp 3 juta. Dalam sidang praperadilan, dari tanggal 20 sampai 24 Maret lalu, Tanu, yang sebelumnya pernah memenangkan tiga dari empat perkara praperadilan yang diajukannya tersandung. Hakim Djaja A. Djaelani lebih mempercayai keterangan polisi bahwa kedatangan polisi ke rumah Nyonya Komara bukan dalam rangka penggeledahan, melainkan dalam rangka "penyidikan lanjutan". Tentang cara penangkapan dan perlakuan polisi kepada Djamaluddin di dalam tahanan, menurut Hakim, Tanu tidak pula bisa membuktikan tuduhan-tuduhannya. Sebab itu, semua isi gugatan Tanu itu ditolak Hakim. Ternyata, polisi belum puas dengan kemenangannya itu. Polisi Bandung kemudian menuduh Tanu melakukan tindak pidana: memberikan sumpah dan keterangan palsu. Menurut komandan Reserse Bandung Mayor Polisi Teddy Djuanda Prawira, ternyata Tanu memberikan, pengarahan dan membujuk saksi-saksi untuk memberikan keterangan tidak benar di praperadilan. "Buktinya, kami dimenangkan hakim," ujar Teddy. Tapi soal mengarahkan saksi-saksi itu pula yang tidak bisa diterima Tanu sebagai dasar polisi untuk mengusutnya. Sebagai pengacara ia merasa berhak mengarahkan saksi. "Sepanjang mengenai pembelaan dan pengajuan bukti-bukti dalam rangka membela klien, hak pengacara dijamin undang-undang," ujar Tanu. Jika semua keterangan itu terbukti palsu, menurut Tanu, para saksi itulah yang seharusnya dituntut. Karena merasa benar itulah Tanu berniat mengundang belasan koleganya, pengacara "beken", untuk membelanya. Di antaranya Yap Thiam Hien, Harjono Tjitrosubono, Mulya Lubis, O.C. Kaligis, Rusdi Nurima, Venny Kailiman, Yan Apul, dan Ronggur Hutagalung. Pembela Tanu di Bandung, Ronggur Hutagalung, masih belum mengerti tuduhan polisi pada kliennya itu. "Ini merupakan dilema. Jika semua pengacara yang kalah di praperadilan bisa diperkarakan, kami semua akan mendapat giliran," ujar Hutagalung. Hakim Djaja A. Djaelani sendiri mengatakan bahwa dasar untuk menolak gugatan Tanu bukan karena soal laporan palsu. Tapi "Karena soal sah atau tidaknya penggeledahan tidak diatur dalam undang-undang mengenai praperadilan," katanya. Menuru Djaelani, hakim praperadilan hanya memeriksa soal sah tidaknya penangkapan dan penahanan, atau sah tidaknya penghentian penyidikan polisi. Soal berikutnya, ganti rugi atau rehabilitasi, bila penggugat dimenangkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini