Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Prancis baru berpesta setelah tim sepak bola nasionalnya meraih Piala Euro 2000 awal bulan ini. Tapi kegembiraan di Bumi Anggur itu masih jauh dari usai. Bukan mabuk kemenangan, tapi ada keramaian yang tak kalah asyik yang mengikutinya, yaitu Tour de France. Turnamen balap sepeda terbesar ini memasuki tahun penyelenggaraan ke-87. Di tiap kota ataupun pedesaan yang dilalui, kemeriahan selalu tersulut. Apalagi bila rute yang dilewati berupa pegunungan, sehingga pembalap harus melakukan honking—mengayuh dengan berdiri. Sorak-sorai penonton menyemangati pembalap berkaus hijau, tanda untuk pembalap yang berhak berjuluk ”raja gunung” yang beraksi. Ditambah lagi dengan barisan mobil pendamping yang aneka bentuk dan warna, yang membuat lomba ini ibarat karnaval dari hari ke hari.
Di balik kemeriahan itu, ada ironi tersendiri buat Prancis, karena mereka tampaknya hanya akan kembali jadi tuan rumah dan penonton yang baik. Para pembalapnya tampil melempen. Pembalap Prancis yang terakhir kali jadi juara adalah Bernard Hinault pada 1985. Tahun ini, sampai etape ke-12 dari 22 yang diperlombakan, dominasi pembalap dari luar Prancis masih terasa kental. Juara tahun lalu, Lance Armstrong (Amerika Serikat) dari tim US Postal Service, masih memimpin dan berhak memakai kaus kuning. Dua kandidat serius yang diperkirakan bisa mendongkelnya adalah juara tahun 1998 Marco Pantani (Italia) dari tim Mercatone Uno, dan juara tahun 1997 Jan Ullrich (Jerman) dari tim Telekom.
Armstrong tak keburu besar kepala. ”Lomba masih jauh dari selesai,” ujar pembalap berusia 28 tahun ini. Ia betul, karena segala kemungkinan masih terbuka lebar. Namun, bila tak ada hal luar biasa terjadi, peluang Armstrong diyakini masih yang terbesar. Ia cepat dalam nomor time trial dan tangguh di pegunungan. Namun, modalnya tentu bukan cuma itu, karena para pembalap lain tak kalah berbakatnya. Mental bertandingnya yang ciamik yang membuatnya selangkah di depan. Tahun lalu ia bisa menang padahal baru saja sembuh dari perawatan kanker testikel.
Bila Armstrong kembali menang, peluangnya untuk tercatat sebagai salah satu legenda terbuka lebar. Sebelumnya, lima pembalap yang dianggap terbesar adalah Jacques Anquetil (Prancis), Eddy Merckx (Amerika Serikat), Bernard Hinault (Prancis), Greg Lemmond (AS), dan Miguel Indurain (Spanyol).
Kelima pembalap ini masing-masing punya keunikan. Anquetil (juara tahun 1957, 1961, 1962, 1963, dan 1964) punya gagasan menarik tentang latihan: beberapa sloki wiski, rokok putih, dan wanita sintal. Merckx (juara tahun 1969, 1970, 1971, 1972, dan 1974), yang 34 kali naik podium sebagai juara etape, diyakini sebagai pembalap terbesar sampai saat ini. Julukannya adalah Si Cannibal karena nafsu makan dagingnya yang luar biasa. Hinault (juara tahun 1978, 1979, 1981, 1982, dan 1985) terkenal kontroversial karena gaya sodoknya yang terkenal. Lemmond hanya menang tiga kali (1986, 1989, dan 1990), juara etape pun hanya diraihnya lima kali. Namun, kemenangannya yang terakhir membuatnya dikenang karena baru saja sembuh setelah tertembak dalam kecelakaan berburu. Sementara itu, Indurain tercatat sebagai pembalap yang jadi juara lima kali secara berturut-turut (1991, 1992, 1993, 1994, dan 1995). Kehidupannya di luar balap nyaris asketis. Gaya balapnya membosankan, tapi kondisi fisiknya dahsyat. Paru-paru Indurain bisa menampung delapan liter. Pembalap Spanyol ini juga berhasil meraih emas pada Olimpiade Atlanta 1996.
Di sisi lain, persaingan yang menarik disimak bukan hanya antarpembalap, tapi juga antara sportivitas dan kecurangan. Maklum, dalam tiga tahun terakhir, ada saja pembalap yang tercokok menggunakan doping. Skandal terbesar terjadi pada 1998, ketika di mobil tim Festina ditemukan EPO (Erythropoietin), zat yang bisa meningkatkan kekuatan hingga 15 persen tapi berpotensi serius merusak jantung. Yang membuat makin gemas, zat ini mirip hormon alami, sehingga pendeteksiannya sulit. Dalam pernyataan resmi, para pembalap tentu menyatakan perang terhadap doping. Tapi iming-iming hadiah uang jutaan dolar sebagai pemenang bukan tak mungkin membuat mereka tergelincir di ”tikungan”.
Yusi A. Pareanom
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo