Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keputusan Kongres yang tertuang dalam The Omnibus Spending Bill itu menyebut ada enam hal yang harus dikerjakan Indonesia untuk bisa lolos dari embargo. Dua di antaranya adalah melakukan tindakan efektif mengadili anggota TNI dan milisi yang terbukti melanggar hak asasi manusia serta mengizinkan pengungsi kembali ke rumah mereka di Tim-Tim. Selama ini, Indonesia dianggap masih kurang serius menangani kasus kerusuhan pasca-jajak pendapat di Timor itu.
Kebijakan pemerintah AS menjual senjata ke negara lain memang dibarengi sejumlah syarat. Selain harus ada izin dari Kongres, senjata itu tidak boleh dijual kepada pemerintah yang melakukan pelanggaran hak asasi terhadap warganya. "Kongres AS sudah lama marah kepada Indonesia, bahkan sebelum peristiwa Santa Cruz," ujar pengamat militer Letjen (Purn.) Hasnan Habib. Apalagi, kata Hasnan, banyak anggota Kongres yang keturunan Portugis, negara yang punya hubungan sejarah dengan Tim-Tim.
Indonesia sebenarnya cukup serius menangani masalah pengungsi Tim-Tim, yang kini diperkirakan ada 140 ribu. Namun, berbagai kendala menghadangnya. Selain soal dana, di antara pengungsi itu ada yang tidak mau kembali. "Sekitar 60 persen dari mereka ingin menetap di Indonesia," kata Menteri Luar Negeri Alwi Shihab.
Sebaliknya, pengusutan terhadap para jenderal yang diduga terlibat dalam aksi kerusuhan pasca-jajak pendapat, hingga kini, memang tidak beranjak jauh. Hasil penyelidikan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Tim-Tim yang diserahkan kepada Jaksa Agung pertengahan Maret silam belum menuai satu pun tersangka. Pemeriksaan Wiranto, mantan Panglima TNI, dan sejumlah jenderal TNI serta polisi seolah terlupakan oleh hiruk-pikuk isu penangkapan sejumlah elite politik belakangan ini.
Pemerintah, menurut Alwi Shihab, kini sedang menawar agar Kongres segera mencabut keputusan perpanjangan itu. Jika tidak berhasil, apa akibatnya bagi TNI? "Wallahualam," kata Marsekal Muda Graito Usodo, Kepala Pusat Penerangan TNI.
Embargo itu punya pengaruh yang tidak kecil terhadap TNI. "Setidaknya sekitar 60 persen persenjataan kita dipasok oleh Amerika," kata Hasnan. Menurut data World Military Expenditure and Arms Transfer1991 sampai 1994besarnya uang belanja senjata ke AS mencapai US$ 160 juta.
Pasokan suku cadang pesawat tempur, misalnya, untuk jenis apa saja, 100 persen bergantung pada luar negeri. Dari jumlah itu, mayoritas dipasok oleh Amerika. Pesawat tempur jenis Hawk yang dibeli dari Inggris, misalnya, komponennya sebagian adalah produksi AS. "Peralatan generator dan radar, misalnya, buatan Amerika," ujar Graito.
Dalam wawancara dengan The Washington Post beberapa waktu lalu, Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono mengatakan, akibat embargo itu, sejumlah pesawat angkut dan kapal patroli terpaksa "disimpan" sehingga menghambat mobilitas prajurit TNI. Penanganan tragedi Maluku dan Poso, yang memerlukan segera tambahan pasukan, ikut pula terimbas embargo tersebut.
Meski menolak bahwa embargo sudah mempengaruhi mobilitas prajurit, Graito mengakui pihak TNI saat ini mulai membatasi beberapa kegiatan. "Biasanya sebulan pesawat terbang 20 jam, kita kurangi menjadi 10 jam," katanya. Selain itu, upaya "kanibalisme" juga sudah mulai dilakukan. "Kalau ada pesawat nongkrong karena spare-part kecilnya rusak, kita pakai suku cadang pesawat lain," ujar Graito. Satu skuadron, 10 buah F-16, yang selama ini menjadi andalan untuk menjaga wilayah udara, juga tidak bisa dioperasikan maksimal. "Hanya lima yang dilengkapi persenjataan karena TNI-AU kesulitan suku cadang," katanya.
Ketergantungan Indonesia terhadap senjata luar negeri memang parah. PT Perindustrian Angkatan Darat (Pindad) cuma bisa menghasilkan senjata ringan seperti pistol. Sementara itu, membeli senjata melalui pasar gelap juga bukan pilihan yang enak. "Membeli senjata dan suku cadang di pasar gelap harus tunai," kata Hasnan Habib.
Dalam jangka pendek, tak banyak pilihan kecuali menyeret para jenderal yang bertanggung jawab atas kerusuhan di Tim-Tim ke mahkamah. Pilihan ini terhitung murah dari segi uang, tapi mungkin mahal secara politik. Dalam jangka panjang, tak ada pilihan selain memperkecil ketergantungan jika negeri ini tak ingin didikte negara lain.
Johan Budi S.P., Purwani Diyah Prabandari, Tomi Lebang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo