Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Muhammadiyah dan Pluralisme

Organisasi Islam tua ini kembali menegaskan asas keislaman. Akankah menjadi eksklusif?

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Meski tidak mengejutkan, ada yang menarik perhatian da lam Muktamar Muhammadiyah pekan silam. Pertemuan nasional lima tahunan organisasi massa Islam itu memutuskan kembali menerapkan asas Islam. Muhammadiyah, seperti semua organisasi lain, ormas ataupun partai politik, mengadopsi asas Pancasila pada 1980-an. Langkah baru itu membuat sejumlah orang—khususnya non-muslim ataupun muslim yang menyatakan diri sekuler dan agnostik—khawatir. Mereka bertanya, tidakkah Muhammadiyah tengah membuat dirinya kian eksklusif dengan mencopot ideologi terbuka (Pancasila) serta mengenakan kembali ideologi sempit (Islam)? Tidakkah Muhammadiyah akan berwatak lebih sektarian? Kekhawatiran seperti itu bisa dipahami dalam konteks situasi terakhir di Maluku, misalnya, tempat agama menjadi dalih orang untuk saling membunuh. Namun, kendati peristiwa di Maluku benar-benar menyesakkan, mencurigai asas Islam sebagai biang keladi konflik dan kekerasan adalah sebuah penyederhanaan. Asas Islam—seperti juga asas Kristen, Hindu, atau Konghucu—adalah "non-issue" dalam upaya kita, yang datang dari semua etnis serta agama, untuk bisa hidup berdampingan secara damai. Kembalinya Muhammadiyah ke asas Islam tak kan mengubah apa-apa selain "kulit". Sebagian kalangan Muhammadiyah sendiri, dalam jumlah yang signifikan, memahami itu (lihat wawancara Ahmad Syafi'i Ma'arif). Mereka melihat penerapan asas Islam tak lain sebuah redundancy. Bukankah sudah sejak awal dan hingga sekarang Muhammadiyah menyatakan diri sebagai gerakan Islam? Bagaimanapun, langkah baru itu bisa dipahami sebagai "gelombang arus balik" di era reformasi sekarang. Muhammadiyah tidak sendirian. Partai Persatuan Pembangunan sudah melakukannya lebih dahulu, demikian pula dengan organisasi Islam lainnya. Pada 1980-an, Muhammadiyah, seperti semua organisasi kala itu, tak bisa lain kecuali menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas jika ingin bertahan hidup. Kini terbukti, asas tunggal Pancasila menjadi legitimasi sistem politik-sosial yang monolitik. Bahkan bangkrut. Di tangan Orde Baru, Pancasila telah menjadi simbol persatuan yang semu. Penyeragaman secara paksa tidak membantu kita hidup lebih toleran justru karena kita tidak boleh berbeda-beda. Karena itu, menegaskan kembali identitas—agama atau etnis—mungkin bukan cuma bentuk perlawanan terhadap penyeragaman, tapi juga penyelamatan. Hanya dengan memahami diri kita masing-masing, dan kepentingan masing-masing, kita bisa mulai belajar bagaimana melakukan tawar-menawar secara damai dengan orang lain. Harapan besar adalah Muhammadiyah memiliki para pemimpin yang mampu menjadi duta bagi kepentingan para warganya dalam tawar-menawar secara bermartabat dengan kelompok masyarakat lain. Tak hanya dengan kalangan non-muslim, tapi juga kelompok lain Islam sendiri (Islam bukanlah suatu sistem yang monolitik). Dan Ahmad Syafi'i Ma'arif, seorang pemikir Islam yang terbuka dan percaya pada pluralisme, yang tidak sependapat dengan penerapan kembali asas Islam tapi tetap terpilih menjadi Ketua Umum Muhammadiyah untuk kedua kali, adalah duta yang tepat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus