Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Antara Politik dan Amar Ma'ruf

Muhammadiyah tetap bertekad menjaga jarak dari politik praktis. Bisakah?

16 Juli 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AHMAD Syafi'i Ma'arif tersenyum. Peluh jatuh dari jidatnya yang licin. Ketika Muktamar Ke-44 Muhammadiyah, Selasa pekan lalu, menetapkannya kembali menjadi ketua umum organisasi massa Islam itu, ia berusaha tetap kalem—meski suara tepuk tangan dan teriakan pendukungnya menggema di ruang pertemuan Padepokan Pencak Silat Taman Mini Indonesia Indah, tempat perhelatan akbar itu dilaksanakan. Inilah kepemimpinan Syafi'i yang kedua. Dua tahun lalu, ia dikukuhkan memegang komando organisasi yang kini telah berusia 88 tahun itu setelah Amien Rais, ketua sebelumnya, mundur karena menjadi Ketua Partai Amanat Nasional. Organisasi yang dipimpin oleh Syafi'i ini memang tidak main-main. Muhammadiyah bisa diibaratkan sebagai pohon besar dengan daun yang rimbun dan jaring akar yang telah merambat ke mana-mana. Organisasi ini punya 1.768 madrasah, 26 universitas, 42 sekolah tinggi, 312 rumah sakit, dan 240 panti asuhan, yang tersebar ke seluruh pelosok. Massanya besar dan kadernya—seperti Ketua MPR Amien Rais—telah mentas ke panggung politik nasional. Itulah sebabnya kekhawatiran paling besar yang mengemuka dalam muktamar lalu adalah bisakah Muhammadiyah bertahan sebagai organisasi dakwah dan sosial tanpa ikut terlibat dalam hiruk-pikuk politik praktis. Ini memang problem yang dilematis. Menurut Ketua Pemuda Muhammadiyah, Imam Addaqurutni, di satu pihak, ada dorongan agar Muhammadiyah masuk ke dunia politik karena hanya melalui politiklah gagasan amar ma'ruf nahi munkar (menegakkan kebenaran dan melawan kejahatan), yang selama ini diusung Muhammadiyah, bisa diperjuangkan. Tapi, di sisi lain, kedekatan dengan kekuatan politik bisa menjerumuskan karena jika partai yang disokong Muhammadiyah jatuh, organisasi itu bisa ikut-ikutan ambruk. Muhammadiyah bukan tidak pernah punya kaitan langsung dengan politik. Di awal kemerdekaan, organisasi ini menjadi penyokong Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi). Buya Hamka, salah seorang tokoh penting Muhammadiyah ketika itu, menggambarkan kedekatan antara Muhammadiyah dan Masyumi dengan perumpamaan yang tepat: "Bagaikan kuku dan daging, saling membutuhkan dan tak dapat dipisahkan." Tapi, dalam konstituante, setelah Pemilu 1955, peran Masyumi ternyata kendur. Muhammadiyah sendiri ikut-ikutan kedodoran karena hanya mendapat 22 persen jatah kursi Masyumi di Majelis Konstituante. Belakangan, fakta ini disadari Hamka sebagai kekeliruan. "Apa keuntungan yang kita dapat dengan bekerja sama dengan Masyumi? Rakyat kita kerahkan untuk menusuk Masyumi. Tapi, setelah pemilu, yang kita dapati kekalahan melulu," katanya. Itulah sebabnya, untuk menghindari kenyataan ini, muktamar pekan lalu itu tetap—seperti yang dulu-dulu—menyerahkan perjuangan politik kepada kader Muhammadiyah dan bukan kepada organisasi. Artinya, sebagai pribadi, tiap anggota Muhammadiyah dipersilakan masuk partai. Namun, "Secara formal, kita punya komitmen untuk menjaga jarak yang sama kepada semua partai," kata Syafi'i Ma'arif. Pertanyaannya: bisakah itu dilakukan? Tidak selalu mudah. Sidang tanwir Muhammadiyah di Semarang dua tahun lalu jelas-jelas memberikan amanat kepada organisasi yang didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan itu untuk melakukan ijtihad politik. Bentuk ijtihad itu adalah membiarkan Ketua Muhammadiyah Amien Rais membentuk Partai Amanat Nasional (PAN). Jika bukan anak kandung, PAN adalah anak angkat Muhammadiyah, seperti Partai Kebangkitan Bangsa adalah anak angkat Nahdlatul Ulama. Meski anggota Muhammadiyah hingga kini tersebar sebagai simpatisan berbagai partai, khususnya Partai Persatuan Pembangunan dan bahkan Partai Demokrasi Indonesia, PAN memang segera menjadi partai favorit. Beberapa posisi kunci PAN di pusat dan daerah diisi oleh kader Muhammadiyah. K.H. Abdulrahim Noer, Ketua Muhammadiyah Jawa Timur, misalnya, adalah juga Ketua PAN. Syafi'i memperkirakan 70 persen aktivis PAN berasal dari Muhammadiyah. "Di DPR, saya hitung ada seratusan anggota Muhammadiyah. Paling banyak di PAN," kata Imam, yang juga anggota DPR dari PAN. Kedekatan ini ditambah lagi dengan sosok Amien Rais yang tidak bisa dipisahkan dari Muhammadiyah. Personifikasi ini membuat ide "kader boleh berpolitik tapi organisasi tidak" menjadi sulit dipraktekkan. "Pak Amien sendiri sudah merupakan pusat gaya tarik di tubuh Muhammadiyah," kata Imam. Dalam konteks hubungan antara Abdurrahman Wahid (Nahdlatul Ulama) dan Amien Rais (Muhammadiyah) yang memburuk akhir-akhir ini, personifikasi itu pun meninggalkan bom waktu. Jika terus meruncing, tak mustahil—seperti yang dikhawatirkan Nurcholish Madjid—konflik itu bisa meledak di lapis bawah. Menghadapi tantangan inilah harapan digantungkan pada Syafi'i. Lulusan Ohio State University, Amerika Serikat, itu selama ini terkesan jauh dari ingar-bingar low politics—istilah yang pernah dipakai Amien Rais untuk menggambarkan politik praktis. Bukan tugas yang selalu mudah. Politik—suka atau tidak—tak pernah bisa dipisahkan sama sekali dari kehidupan. Arif Zulkifli, Arif A. Kuswardono, Darmawan Sepriyossa, Levi Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus